Hingga kini sejumlah warga lansia tidak mampu mengakses layanan kesehatan karena keterbatasan yang dimiliki.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menyambut Hari Lanjut Usia Internasional yang diperingati setiap 1 Oktober, Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan mendorong Kementerian Kesehatan untuk melibatkan perempuan lanjut usia, pendamping, dan lembaga nasional hak asasi manusia dalam penyusunan Peraturan Pemerintah tentang Kesehatan Lanjut Usia.
Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) juga mendorong Kementerian Sosial segera merevisi UU Kesejahteraan Lanjut Usia dengan melibatkan lembaga HAM dan organisasi masyarakat sipil dalam Rencana Aksi Nasional Kesehatan Lanjut Usia (RAN Kesehatan Lansia) 2020-2024. Selain itu, Komnas juga mendorong lembaga penyedia layanan untuk mendokumentasikan kekerasan terhadap perempuan lansia sebagai suara korban yang harus didengar dan disikapi oleh negara.
Perhatian negara terhadap lansia sejalan dengan amanat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. UU tersebut mengategorikan kalangan lanjut usia (lansia) sebagai salah satu kelompok masyarakat rentan yang berhak atas penyediaan akses pelayanan kesehatan primer dan pelayanan kesehatan lanjutan.
Kesejahteraan perempuan lansia perlu diarahkan kepada pemandirian lansia, termasuk dalam menghadapi digitalisasi global dan perubahan nilai atau pandangan hidup.
”Setiap orang lansia berhak memperoleh akses ke fasilitas pelayanan kesehatan dan pelayanan kesehatan yang sesuai dengan standar, aman, bermutu, dan terjangkau. Termasuk hak pemenuhan gizi lansia, sarana dan prasarana umum yang layak, seperti sarana ibadah, tempat parkir, ruang tunggu, atau kamar mandi yang aman bagi lansia,” ujar Siti Aminah Tardi, komisioner Komnas Perempuan, Minggu (1/10/2023), dalam siaran pers.
Bahkan, dalam UU Kesehatan, terkait jaminan kesehatan terhadap lansia diatur dalam satu paragraf tentang kesehatan lansia. Layanan kesehatan lansia tersebut ditujukan untuk menjaga agar tetap hidup sehat, berkualitas, dan produktif sesuai dengan martabat kemanusiaan, yang dilakukan sejak seseorang berusia 60 tahun.
Rainy Hutabarat, komisioner Komnas Perempuan, menegaskan, kondisi warga lansia secara alamiah juga memengaruhi kapasitas fisik dan mental. Semakin lansia seseorang, semakin tinggi tingkat ketergantungan kepada orang lain, tak hanya ketergantungan finansial.
Tak hanya itu, lansia juga rentan menjadi penyandang disabilitas baik karena penyakit seperti serangan stroke, yang mengakibatkan kelumpuhan anggota tubuh, maupun penurunan kondisi fisik, seperti pendengaran, penglihatan, dan kemampuan berpikir.
”Dengan demikian, kerentanan perempuan lansia semakin berlapis, baik karena jendernya, usianya, kondisi ekonominya, maupun kondisi fisik yang berakibat diskriminasi secara sosial,” ujar Rainy.
Karena itu, Komnas Perempuan memandang penting keterlibatan negara dalam pemenuhan hak-hak perempuan lansia. Penyelenggaraan kesehatan warga lansia ini menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, pemerintah daerah, keluarga, dan masyarakat yang selanjutnya akan diatur dengan peraturan pemerintah.
Kesehatan warga lansia masih diabaikan
Catatan pemantauan Komnas Perempuan menemukan, kesehatan warga lansia masih diabaikan oleh negara termasuk dari sisi anggaran. Layanan kesehatan belum ramah lansia khususnya digitalisasi yang menghambat lansia dalam mengakses karena gagap teknologi.
Hal ini justru menambah ketergantungan perempuan lansia pada orang lain dan sekaligus merentankannya terhadap kekerasan. Jumlah posyandu lansia di tingkat rukun warga juga masih terbatas dan program lebih difokuskan pada anak balita.
”UU Kesejahteraan Lansia perlu ditinjau ulang agar selaras dengan UU Kesehatan dan mampu merespons perubahan pesat sosial budaya, teknologi digital, dan internet. Kesejahteraan perempuan lansia perlu diarahkan kepada pemandirian lansia, termasuk dalam menghadapi digitalisasi global dan perubahan nilai atau pandangan hidup,” ujar Rainy.
Terkait status tinggal lansia, pada satu sisi merupakan kearifan kultural di mana keluarga bertanggung jawab untuk merawat orangtua mereka yang lansia. Keluarga dipandang sebagai tiang penopang dan ruang aman untuk menjalani masa lansia. Sebuah survei menyatakan bahwa anak menjadi sandaran hidup utama lansia di Indonesia.
”Status tinggal sedemikian dapat merupakan kekuatan tetapi sekaligus juga kerentanan lansia khususnya terhadap kekerasan berbasis jender dan usia,” kata Retty Ratnawaty, komisioner Komnas Perempuan.
Pada Catatan Tahunan Tahun 2022 Komnas Perempuan, misalnya, terdapat 127 pengaduan perempuan lansia yang mengalami ragam bentuk kekerasan fisik, psikis, seksual, dan ekonomi. Kekerasan ekonomi berupa penelantaran, eksploitasi finansial, dan perampasan aset. Terbanyak adalah di ranah domestik yang mencapai 100 orang.
Meskipun demikian, ranah publik juga bukan ruang aman bagi warga lansia, tercatat 24 perempuan lansia mengalami kekerasan sedangkan di ranah negara tercatat 2 perempuan. Sementara itu, pengaduan ke lembaga layanan mencatat 47 perempuan lansia korban kekerasan, terbanyak di ranah domestik (42 orang) dan 5 orang di ranah publik.
KDRT sasar lansia
Hal ini menunjukkan kekerasan rumah tangga juga menyasar warga lansia, faktor ekonomi, bahkan juga menjadi penyebab KDRT terhadap warga lansia. ”Tentu data ini bersifat fenomena gunung es karena bagaimanapun perempuan lansia mengalami berbagai hambatan untuk mengadukan kekerasan yang dialaminya, terlebih mereka memiliki ketergantungan perawatan,” jelas Retty.
Badan Pusat Statistik (2022) mencatat persentase penduduk lansia di Indonesia sebanyak 10,48 persen, dengan rincian 65,56 persen lansia muda (60-69 tahun), 26,76 persen lansia madya (70-79 tahun), dan 7,69 persen sisanya lansia tua (80 tahun ke atas).
Berdasarkan jenis kelaminnya, 51,81 persen lansia berjenis kelamin perempuan, lebih tinggi dibandingkan laki-laki lansia sebesar 48,19 persen. Adapun status tinggal lansia sebanyak 40 persen hidup bersama tiga generasi, sebanyak 47 persen bersama pasangan/keluarga (keluarga anaknya atau keluarga besar), 9,38 persen tinggal sendiri dan 2,66 persen lainnya.
Dukungan semua pihak pada warga lansia juga ditunjukkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA). Menteri PPPA I Gusti Ayu Bintang Darmawati dalam berbagai kesempatan mengingatkan pentingnya perlindungan terhadap perempuan lansia dari berbagai kekerasan, serta mendorong upaya pemberdayaan dalam menciptakan lansia yang produktif dan mandiri.