Deteksi Dini Kanker Kelenjar Getah Bening Perlu Penguatan Faskes
Benjolan yang muncul di tubuh tidak boleh dianggap enteng. Itu berpotensi menjadi gejala awal kanker limfoma atau pembesaran kelenjar getah bening yang bisa mengakibatkan kematian.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kesadaran masyarakat untuk melakukan deteksi dini kanker limfoma atau pembesaran kelenjar getah bening masih rendah. Kebanyakan orang masih menganggap enteng saat muncul benjolan di tubuh mereka. Padahal, itu berpotensi menjadi gejala awal limfoma yang bisa mengakibatkan kematian. Perlu kemudahan akses bagi masyarakat agar bisa mendeteksi kanker tertinggi ke-7 dari 10 jenis kanker di Indonesia ini.
Konsultan Hematologi dan Onkologi Medik dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta, Andika Rachman, memaparkan, gejala awal kanker kelenjar getah bening bisa dilihat jika ada pembesaran kelenjar getah bening di leher, ketiak, atau pangkal paha. Biasanya disertai juga dengan demam di atas 38 derajat celsius, berkeringat pada malam hari, pembesaran amandel, penurunan bobot lebih dari 10 persen selama enam bulan, gatal-gatal, dan kelelahan yang luar biasa.
Namun, mengalami satu atau lebih gejala limfoma Hodgkin tidak selalu berarti menderita penyakit ini. Pemeriksaan ke dokter tetap perlu dilakukan sebagai deteksi dini. Dokter akan menanyakan gejala serta riwayat kesehatan pasien dan keluarganya, diikuti dengan pemeriksaan fisik menyeluruh. Kemudian, dilakukan pula pemeriksaan penunjang seperti tes darah, pemindaian dengan rontgen, CT-scan, MRI, atau PET-scan, serta biopsi.
”Jangan menganggap enteng benjolan. Benjolan itu perlu didiagnostik sampai ketemu diagnosisnya apa. Masalahnya adalah ketika benjolan itu sudah besar atau stadiumnya sudah lebih lanjut. Kalau sudah stadium lanjut akan mudah untuk relaps atau terulang kembali,” kata Andika dalam diskusi peringatan Hari Kesadaran Limfoma Sedunia 2023 yang digelar oleh Cancer Information Support Center (CISC) dan Takeda di Hotel JS Luwansa, Jakarta, Jumat (15/9/2023).
Limfoma sendiri dibagi menjadi dua, yakni limfoma hodgkin dan limfoma non-Hodgkin. Limfoma Hodgkin terjadi karena adanya mutasi sel B pada sistem limfatik, dengan hasil deteksi yaitu dengan adanya sel abnormal Reed-Stenberg dalam sel kanker. Sementara limfoma non-Hodgkin terjadi karena adanya mutasi DNA pada sel B dan sel T pada sistem limfatik.
Kanker limfoma Hodgkin umumnya menyebar bertahap melalui pembuluh getah bening. Pada stadium lanjut bisa menyebar melalui aliran darah ke organ vital seperti hati, paru-paru, dan sumsum tulang belakang meski sangat jarang.
Limfoma biasa menjangkiti usia muda antara 15 tahun dan 30 tahun. Namun, usia dewasa akhir atau di atas 55 tahun juga berisiko. Secara biologis, penyakitnya berbeda dengan yang terjadi di usia muda. Ditengarai ada keterlibatan dari berbagai faktor, termasuk histologi selularitas, virus Epstein-Barr, dan lain-lain.
”Kasus limfoma Hodgkin banyak ditemukan di usia muda karena sistem imun belum terbentuk secara matang sehingga mudah mengalami perubahan,” ujarnya.
Jangan menganggap enteng benjolan. Benjolan itu perlu didiagnostik sampai ketemu diagnosisnya apa.
Selain itu, pemerintah juga perlu memperkuat layanan kesehatan primer agar semua bisa mendiagnosis kanker limfoma dengan tepat. Penyintas limfoma Hodgkin, Intan Khasanah, bercerita, dia pernah didiagnosis dan diberikan obat tuberkulosis selama delapan bulan sejak awal memeriksakan diri ke rumah sakit dengan gejala demam tinggi dan benjolan kecil di leher. Padahal, setelah pemeriksaan ulang, ternyata dia terkena kanker limfoma.
”Karena delapan bulan salah minum obat ya sudah telanjur stadium empat, sudah menyebar ke mana-mana kankernya. Namun, waktu akhirnya didiagnosis kanker, ya alhamdulillah karena akhirnya misteri terpecahkan. Jadi tinggal menjalani solusi pengobatannya,” kata Intan.
Intan menjalani terapi selama hampir tujuh tahun untuk kanker limfoma stadium 4 yang menjangkitinya. Pada 2018, setelah menjalani 26 kali kemoterapi, 70 kali radiasi, dan 5 kali operasi, Intan dinyatakan bebas dari kanker. Hingga pada tahun 2018, dia bisa menyelesaikan kuliahnya dengan baik.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Eva Susanti mengatakan, deteksi dini menjadi permasalahan utama penyakit kanker di Indonesia. Hampir 70 persen kasus kanker ditemukan pada stadium lanjut, padahal jika diagnosis bisa dilakukan lebih awal, 9 dari 10 penderita bisa bertahan hidup lima tahun setelah diagnosis. Namun, jika kasus baru ditemukan pada stadium lanjut, peluangnya menurun menjadi 1 dari 10.
Untuk memperkuat layanan primer agar bisa mendeteksi dini kanker, Eva menyebut Kemenkes tengah melakukan perbaikan laboratorium kesehatan masyarakat. Kemenkes juga sedang menyusun daftar obat-obatan yang sulit diakses agar stoknya selalu tersedia bagi masyarakat.
”Kami kejar seluruh kabupaten/kota minimal bisa melakukan pelayanan dasar, tetapi pada tahun 2024 target 50 persen minimal madya, baik dari peralatan, tenaga kesehatannya, kemudian 100 persen pada 2027 di seluruh kabupaten/kota. Jadi tidak jauh untuk melakukan pemeriksaan. Bahkan di minimal di level provinsi ada pelayanan yang paripurna atau bahkan berskala internasional,” kata Eva.
Meski begitu, kanker limfoma bisa dicegah dengan menjaga berat badan yang ideal atau menurunkan berat badan berlebih, mengonsumsi makanan yang sehat dan bergizi seimbang setiap hari, berolahraga rutin, tidak berganti-ganti pasangan seksual, menggunakan kondom saat berhubungan seksual, berhenti merokok, dan menghindari penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan obat terlarang.