”Kalau Hanya Kanker, Operasi Berapa Kali Pun Akan Saya Hadapi”
Berbagai tantangan harus dihadapi para pasien kanker dalam mencari kesembuhan. Ada kendala biaya, akses fasilitas kesehatan, juga dukungan orang-orang terdekat.
Seorang perempuan paruh baya memasuki ruangan berukuran sekitar 4 meter x 5 meter. Sambil tersenyum, Tini (50), perempuan asal Serang, Banten, itu berjalan sembari merapikan jilbabnya yang agak berantakan. Ia merupakan pasien kanker tiroid atau kelenjar getah bening sejak 2012.
Dengan sedikit terbata, dia menceritakan perjalanannya menjalani berkali-kali operasi. Pada 2008-2009, misalnya, ia menjalani operasi pengangkatan rahim akibat penyakit miom yang membuatnya diprediksi tidak bisa memiliki keturunan. Operasi juga dijalaninya ketika pertama kali didiagnosis kanker tiroid 11 tahun silam.
”Saya tidak takut dengan operasi apa pun karena sudah biasa. Kalau hanya kanker, operasi berapa kali pun akan saya hadapi. Saya ternyata bisa punya anak, pasti kanker juga bisa sembuh,” ujarnya sambil sesekali mengusap perutnya di rumah singgah Cancer Information and Support Center (CISC), Kecamatan Senen, Jakarta Pusat, Senin (8/5/2023).
Perjalanan pengobatan kanker Tini dimulai ketika operasi di Rumah Sakit Ajidarmo, Rangkasbitung, Banten. Bekas luka jahitan terlihat jelas di bagian atas dadanya ketika kain kerudungnya beberapa kali tersibak. Luka itu menjadi semacam tanda bahwa dirinya telah menjalani operasi.
Baca juga: Pasien Rujukan Rumah Sakit Kanker di Jakarta Memerlukan Rumah Singgah
Setelah operasi, dia dirujuk ke Rumah Sakit Umum Pusat Nasional (RSUPN) Cipto Mangunkusumo untuk pengobatan lanjutan karena fasilitas di Rangkasbitung tidak memadai. Saat itulah dirinya kesulitan karena harus bolak-balik ke rumah sakit dari Serang ke Jakarta. Saat ini, perempuan lima anak itu tidak didampingi satu pun anggota keluarga padahal ia harus menerima terapi ablasi nuklir sebagai pengobatan lanjutan.
”Terapi nuklir ini tidak boleh dihadiri siapa pun, kecuali saya sendiri karena akan diisolasi beberapa hari. Jadi, ketika tidak ada pendamping pun saya tidak masalah. Memang, awalnya suami saya menemani, tetapi karena harus bekerja, saya akhirnya ditinggal,” tutur Tini.
Di sebelah Tini duduk seorang perempuan dengan uban yang menutupi hampir seluruh kepalanya. Ia tersenyum lebar menyimak kisah hidup Tini dengan mata berkaca-kaca. Perempuan tersebut, Megawati Tanto, merupakan penyintas kanker. Perempuan berusia 77 tahun itu pernah hidup dengan kanker kolon atau usus besar dan kanker paru.
Kanker usus besar telah menggerogoti Megawati sejak 2007. Tiga tahun setelah dinyatakan sembuh dari kanker usus besar, perempuan lanjut usia itu kembali didagnosis kanker paru stadium lanjut. Dia mengetahui kanker keduanya itu di pengujung 2010 saat melakukan pemeriksaan rutin enam bulan sekali setelah kesembuhan kanker pertama.
Dua kanker primer pada satu pasien seperti yang dialami Megawati tersebut merupakan kasus yang sangat jarang terjadi. Awalnya, dia takut sebab sang ibu juga didiganosis kanker paru dan hanya bertahan enam bulan. ”Melihat ibu saya meninggal, nyali saya ciut. Saya sampai takut mati,” ujarnya diiringi tawanya yang sedikit terbahak.
Baca juga: Meski Telah Terdeteksi di Awal, Masyarakat Masih Takut Terdiagnosis Kanker
Namun, demi dapat sembuh, perempuan dua anak itu harus kembali menjalani perawatan medis berupa pengangkatan sel kanker dan kemoterapi di RSUPN Cipto Mangunkusumo. Sayangnya, dua tulang rusuknya patah saat menjalani operasi pengangkatan tersebut.
Pulang dan pergi ke rumah sakit menjadi rutinitas baru bagi Mega, begitu Megawati dipanggil. Setidaknya 10 terapi terpaksa ditempuh demi terlepas dari ganasnya kanker yang menggerogoti tubuhnya. Kondisi yang tak lagi prima membuatnya mengalami pendarahan dari hidung dan gusi hingga membuatnya kesulitan menjaga kebersihan gigi layaknya orang normal.
Perempuan yang berasal dari Jakarta Utara ini selalu menyebut dirinya manusia spesial dan terpilih karena mampu menanggung beban dua kanker sekaligus dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama. Pikiran positif itulah yang memampukan dirinya menjalani setiap sesi pengobatan hingga sembuh.
”Saya ini spesial, pilihan. Suami saya bahkan sudah meninggal lebih dulu. Tinggallah saya sekarang bersama empat anak, dua anak kandung dan dua menantu. Sampai sekarang, saya selalu bersyukur masih bernapas,” ujar Mega.
Kalau hanya kanker, operasi berapa kali pun akan saya hadapi.
Beban ekonomi
Kisah lain dibagikan Osten L Tobing, pasien kanker di RS Dharmais asal Batam yang tinggal di rumah singgah Hati Mulia, RT 001 RW 009, Kota Bambu, Jakarta Barat, sejak 5 Maret 2022. Osten merupakan pasien kanker tenggorokan yang dirujuk dari Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Batam dan didampingi istrinya, Flora (48).
Rumah tersebut merupakan rumah singgah mandiri yang diurus sekelompok warga untuk membantu pasien kanker yang tidak mampu mengontrak rumah selama menjalani terapi di RS Dharmais. Di bangunan tipe 36 meter persegi itu Osten dan Flora tinggal dengan delapan orang lainnya, yakni empat pasien kanker tenggorokan, serviks, dan payudara, serta empat pendamping. Salah seorang di antaranya Ami Amalia, pasien kanker serviks yang rutin menjalani kemoterapi tiga bulan sekali.
Rumah yang hanya memiliki dua kamar dan satu kamar mandi itu tidak mampu menampung pasien dan pendampingnya. Meksi begitu, Ami mencoba bertahan hingga nanti diperbolehkan kembali ke daerah asalnya di Riau jika pengobatan sudah selesai. ”Kami, kadang tujuh atau delapan orang, tidur di lantai ini (ruang tamu) dengan beralaskan karpet saja. Sisanya tidur di dalam kamar,” kata Ami.
Baca juga: Berobat ke Jakarta, Pasien dari Aceh Disediakan Rumah Singgah
Sebagai fasilitas kesehatan rujukan nasional untuk penanganan kanker, RS Dharmais menerima banyak pasien dari luar Jawa. Para pasien dan pendampingnya, mau tidak mau, harus keluar biaya untuk transportasi dari daerah ke Jakarta, sewa hunian selama menjalani terapi, dan kebutuhan sehari-hari selama menjalani pengobatan di Dharmais. Padahal, banyak pasien yang merupakan keluarga tidak mampu. Sekalipun mereka memiliki cukup biaya, durasi terapi yang memakan waktu berbulan-bulan tetap akan memberatkan mereka.
Hambatan biaya di atas terpaksa harus ditanggung sendiri sebab tidak ada jalan lain bagi para pasien kanker untuk bisa berobat di rumah sakit pemerintah dengan fasilitas penanganan kanker yang lengkap di Jakarta.
Dalam kondisi yang serba berat itu, CISC hadir memberikan dukungan. Tidak cuma dukungan materi dan rumah singgah, organisasi dukungan pasien ini juga memberikan dukungan penguatan psikologis bagi pasien kanker. Ada beberapa orang dari CISC yang berperan sebagai patient navigator atau pendamping pasien. Salah satu di antaranya Lindawati Gunawan. Linda bukanlah pasien ataupun penyintas kanker, melainkan sukarelawan. Memastikan kesinambungan penanganan dan pengobatan pasien kanker merupakan fokus utamanya.
Baca juga: Bekasi Terapkan Jam Malam, Warga yang Membangkang Diinapkan di Rumah Singgah
”Saya bergabung dengan CISC sejak 2014, saat ulang tahun ke-1 CISC. Kami perlu mengajak penyintas masuk ke dalam support group yang tepat. Mereka harus mendapatkan dukungan, bimbingan, informasi, motivasi demi membangun harapan hidup yang lebih berarti,” tutur Linda saat dihubungi di Jakarta, Rabu (10/5/2023).
Masih terbatas
Saat peringatan hari ulang tahun ke-20 CISC di Anjungan Sarinah, Jakarta Pusat, Minggu (7/5/2023), dokter spesialis onkologi dan radiologi di RSUPN Cipto Mangunkusumo, Gregorius Ben Prajogi, mengatakan, pelayanan kanker di rumah sakit Indonesia memang belum merata hingga ke daerah pelosok.
”Tingginya kasus kanker yang terdeteksi di kota-kota besar, seperti DKI Jakarta dan Yogyakarta, memang karena pola hidup yang tidak sehat dan genetik. Namun, yang perlu digarisbawahi, masyarakat di kota-kota besar lebih mudah datang ke rumah sakit karena ada fasilitas di sana. Berbeda dengan masyarakat di daerah pelosok, seperti Papua dan Maluku,” ujar Ben.
Baca juga: Jangan Takut Terdiagnosis Kanker
Di Indonesia terdapat 396.914 kasus kanker baru di tahun 2020 yang sama dengan sebagian besar pasien datang berobat pada stadium lanjut. Oleh sebab itu, penting sekali kerja sama dengan Kementerian Kesehatan dan asosiasi kedokteran untuk meningkatkan pelayanan kesehatan di seluruh wilayah Indonesia tanpa terkecuali.
Ketersediaan rumah sakit dan dokter yang tak merata membuat pasien kanker akan terus dirujuk ke kota-kota besar dengan biaya perjalanan yang tak murah. Berbagai kendala yang dihadapi para pasien kanker menjadi bukti betapa pemerintah perlu berperan lebih kuat menyediakan fasilitas kesehatan yang merata untuk memenuhi hak warga negara mendapat layanan kesehatan yang setara.