PLN Digugat Buka Data Emisi PLTU Suralaya dan Ombilin
Gugatan ini seharusnya dimanfaatkan PLN untuk membuktikan operasionalisasi PLTU tidak mencemari lingkungan kepada publik. Jika data tersebut terus ditutupi, publik akan terus berasumsi.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN digugat ke Komisi Informasi Pusat untuk membuka data emisi yang dihasilkan oleh pengoperasian Pembangkit Listrik Tenaga Uap Suralaya di Cilegon, Banten, dan PLTU Ombilin di Padang, Sumatera Barat, kepada publik. Saksi dan ahli saat sidang menyatakan bahwa data tersebut bukan data rahasia dan seharusnya bisa diakses masyarakat.
Sidang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) dengan nomor sengketa 009/II/KIP-PSI/2023 ini diajukan oleh Margaretha Quina kepada PLN karena berbagai upaya yang sebelumnya dilakukan Margaretha ditolak oleh PLN dan pemerintah. Sidang dipimpin oleh ketua majelis komisioner Syawaludin bersama anggota majelis komisioner Arya Sandhiyudha dan Handoko Agung Saputro di Ruang Sidang Komisi Informasi Pusat RI, Jakarta, Rabu (13/9/2023).
”Saya sudah melakukan beberapa permohonan informasi, tidak hanya ke PLN, tetapi juga ke dinas lingkungan hidup mulai dari kabupaten, provinsi, sampai ke Kementerian LHK, dan memang karena kesalahan di sistem ini jadi responsnya tidak memuaskan. Kami makanya (menggugat) ke PLN karena mereka punya data yang terkonsolidasi,” kata Margaretha di kantor Komisi Informasi Pusat, Jakarta, Rabu (13/9/2023).
Beberapa data yang dimohon Margaretha adalah laporan hasil pengukuran sistem pemantauan emisi periode 2015-2022 dan laporan pengelolaan limbah B3, khususnya limbah B409 dan B410 periode 2012-2021 dari cerobong PLTU Suralaya unit 1-8 dan PLTU Ombilin. Margaretha membutuhkan data tersebut untuk meneliti dampak dari berbagai aspek yang disebabkan oleh emisi PLTU terhadap masyarakat di Cilegon dan Padang.
”Tanpa informasi yang akurat tentang performa pengendalian emisi, performa abunya, dan lain-lain itu butuh data, tidak bisa dengan investigasi lapangan, dan kalau kami mau kampanye secara bertanggung jawab, ya harus dengan analisis data,” ucapnya.
Dalam sidang, perwakilan PLN beralasan data tidak bisa diberikan karena dikecualikan dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang KIP dan UU No 30/2000 tentang Rahasia Dagang. Pihak PLN juga khawatir data akan digunakan pihak tidak berwenang dan tidak berkompeten untuk memberikan ancaman.
Ancaman itu mulai dari ancaman gugatan terhadap operasionalisasi PLTU, munculnya opini publik yang sesat dan hoaks atas akibat evaluasi informasi yang salah oleh pihak lain. Kemudian, khawatir menimbulkan keresahan masyarakat, memobilisasi pelarangan operasionaliasi PLTU, gejolak sosial atau chaos, gangguan pengoperasian PLTU lain, hingga ancaman penghentian operasionalisasi PLTU, baik sementara maupun permanen, yang berpotensi terjadi defisit daya dan pemadaman listrik.
Padahal, menurut keterangan ahli keterbukaan informasi sektor lingkungan hidup, Astrid Debora Meliala, data yang diminta oleh Margaretha adalah data yang harus terbuka kepada publik dan tidak termasuk dalam informasi rahasia perusahaan ataupun negara. Berbagai instrumen hukum seperti UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Peraturan Menteri LHK Nomor P.18/MENLHK/SETJEN/KUM.1/5/2018 tentang Pelayanan Informasi Publik, dan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 menjamin hak masyarakat atas kebutuhan informasi dan hak hidup yang sehat.
Astrid berpandangan, gugatan ini seharusnya dimanfaatkan dengan baik oleh PLN sebagai pengelola PLTU untuk membuktikan kinerja mereka sudah sesuai dengan regulasi yang berlaku dan tidak mencemari lingkungan. Jika data tersebut terus ditutupi, publik akan terus berasumsi.
”Kalau mereka (PLN) bisa membuktikan itu dengan mengeluarkan laporannya yang ternyata patuh, ya sudah, itu berarti bukti valid bahwa rumor tersebut tidak benar. Mereka justru seharusnya memanfaatkan momentum ini. Kalau begini, kan, mereka membiarkan bola panas di luar,” kata Astrid.
Dia menambahkan, sederet kekhawatiran PLN juga dinilai terlalu jauh, sebab penelitian yang akan dilakukan Margaretha bisa jadi bermanfaat bagi PLN untuk melayani kebutuhan listrik negara dengan prinsip keberlanjutan. Di sisi lain, data tersebut juga bisa memitigasi dampak dari operasionalisasi PLTU terhadap masyarakat di sekitar PLTU.
Hal ini sudah dibuktikan oleh Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Barat yang pernah mendapatkan data serupa dari Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Indramayu untuk menganalisis dampak dari operasionalisasi PLTU Indramayu pada 2016. Dari analisis yang mereka lakukan, mereka mengedukasi masyarakat Desa Tegaltaman, Sukra, Indramayu, untuk memitigasi secara mandiri atas berbagai dampak lingkungan dan kesehatan yang mengintai mereka sebagai orang yang paling dekat dengan PLTU.
Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat Meiki W Paendong mengungkapkan, saat itu permohonan data berlangsung relatif mudah, hanya dengan surat yang menjelaskan tujuan permohonan data dan melampirkan salinan identitas pemohon. Dalam tiga hari kerja, DLH Kabupaten Indramayu langsung memberikan data yang mereka minta.
”Namun, seharusnya esensi keterbukaan informasi publik dipublikasi di website PLN serta-merta, tanpa izin. Jadi publik bisa menilai pengelolaan (PLTU) sudah baik atau belum,” kata Meiki yang bersaksi dalam sidang ini.
Dari pengalaman ini, Meiki berpandangan, PLN tidak seharusnya menolak permohonan data yang diminta oleh Margaretha. Bahkan, PLN seyogianya membuka sendiri akses masyarakat terhadap data tersebut secara berkala sebagai tanggung jawab perusahaan.
Kompas sudah berupaya menghubungi juru bicara PLN, Gregorius Adi Trianto, untuk mengonfirmasi berbagai alasan gugatan ke PLN tersebut. Namun, hingga berita ini ditayangkan belum ada jawaban dari yang bersangkutan.