Kepatuhan Standar Baku Mutu Akan Menurunkan Pencemaran Udara
Standar baku mutu kualitas udara Indonesia tidak seketat negara lain, seperti China, Uni Eropa, dan Korea Selatan. Hal ini semakin memperburuk pencemaran atau polusi udara di Tanah Air.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Laporan Center for Research on Energy and Clean Air (CREA) menyebutkan emisi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Suralaya di Banten melebihi baku mutu yang ditetapkan pemerintah. Namun, manajemen PLTU Suralaya mengklaim emisi yang dihasilkan pembangkitnya tidak melewati ambang batas itu. Pemerintah didorong memastikan setiap PLTU mematuhi standar baku mutu tersebut untuk menurunkan pencemaran udara yang telah merugikan masyarakat.
Analis kualitas udara CREA, yang juga penulis laporan itu, Jamie Kelly, mengatakan, pihaknya menemukan indikasi pelanggaran baku mutu emisi pencemar dari kompleks PLTU Suralaya. Tiga bahan pencemar udara yang melebihi standar baku mutu adalah nitrogen oksida (NOx), sulfur dioksida (SO2), dan partikel debu PM 2,5.
”Kalau kita bisa memastikan kompleks PLTU ini mematuhi aturan standar baku mutu yang ada, ini bisa menyebabkan menurunnya pencemaran udara,” ujarnya dalam diskusi dan publikasi laporan ”Dampak Polusi Udara di Kawasan PLTU Suralaya, Banten” yang digelar secara daring, Selasa (12/9/2023).
Jamie mengatakan, pembakaran batubara PLTU tidak hanya berdampak terhadap pencemaran udara, tetapi juga pada aspek ekonomi dan kesehatan masyarakat. Pihaknya pun mendapatkan laporan dari masyarakat mengenai dampak negatif tersebut.
Studi itu menggunakan sejumlah skenario. Pertama, memantau emisi yang dihasilkan di kompleks PLTU. Kedua, mengamati tingkat kepatuhan terhadap baku mutu. Ketiga, melihat apa yang terjadi jika PLTU Suralaya menggunakan teknologi terbaik.
Pengukuran tingkat emisi dimasukkan ke model atmospheric. Kemudian dilakukan simulasi emisi dan bagaimana emisi tersebut disebarluaskan di atmosfer. Dari situ para peneliti bisa menghitung tingkat keterpaparan emisi pada manusia dan dampaknya terhadap kesehatan.
”Dampak kesehatan juga bisa dilihat dari jumlah hari cuti yang harus diambil karena sakit. Kami menghitung rata-rata lebih dari 742.000 hari sakit. Jika dihitung, biaya kerugian kesehatan tahunan mencapai lebih dari 1 miliar dollar AS (Amerika Serikat),” katanya.
Pembakaran batubara PLTU tidak hanya berdampak terhadap pencemaran udara, tetapi juga pada aspek ekonomi dan kesehatan masyarakat. Pihaknya pun mendapatkan laporan dari masyarakat mengenai dampak negatif tersebut.
Jamie mengatakan, penyebaran bahan pencemar terpusat di sekitar kompleks PLTU. Namun, dapat menyebar cukup jauh karena partikel-partikel pencemar bisa berada di udara selama 1-2 minggu.
”Artinya, yang terdampak (PM 2,5) bukan hanya masyarakat lokal, melainkan juga regional. Penduduk di sekitar kompleks PLTU terpapar 1 mikrogram meter kubik. Sementara masyarakat lebih luas, termasuk Jakarta, terpapar 0,2-0,4 mikrogram meter kubik. Ini hanya dari satu sumber saja. Masih ada sumber-sumber pencemar lain,” jelasnya.
Jamie menambahkan, standar baku mutu Indonesia tidak seketat negara lain, seperti China, Uni Eropa, dan Korea Selatan. Hal ini semakin memperburuk pencemaran atau polusi udara di Tanah Air.
”Kami merekomendasikan pemerintah agar membuat standar nasional yang lebih ketat dan memasang teknologi terbaru,” ucapnya.
General Manager PLTU Suralaya Irwan Edi Syahputra Lubis mengatakan, pihaknya selalu memperhatikan baku mutu dan pelestarian lingkungan. Menurut dia, emisi yang dihasilkan PLTU tersebut tidak melebihi ambang batas yang ditetapkan pemerintah.
”PLTU Suralaya sangat memperhatikan emisi gas buang dari pembangkit. Selama 39 tahun PLTU Suralaya beroperasi kami selalu berusaha menekan emisi semaksimal mungkin serta memonitor secara real time,” katanya.
Irwan menambahkan, pihaknya juga menggunakan teknologi ramah lingkungan guna menekan emisi dari pembangkit listrik berbasis batubara. Teknologi tersebut seperti electrostatic precipitator (ESP) dan continuous emission monitoring system (CEMS).