Polusi Udara Picu Lonjakan Kasus ISPA di Jabodetabek
Kasus ISPA meningkat di tengah tingginya polusi udara di kawasan Jabodetabek. Ibu hamil, warga lanjut usia, anak-anak, dan orang dengan komorbid jadi kelompok rentan yang perlu proteksi khusus.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Polusi udara turut memicu lonjakan kasus infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) di kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Masyarakat diimbau menerapkan protokol kesehatan, seperti memeriksa kualitas udara secara rutin, menghindari sumber polusi udara dan asap rokok, serta mengurangi aktivitas di luar ruangan saat polusi udara tinggi.
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Maxi Rein Rondonuwu mengatakan, data surveilans dalam enam bulan terakhir menunjukkan peningkatan kasus ISPA di Jabodetabek. Hingga pertengahan 2023, jumlahnya rata-rata melebihi 100.000 kasus per bulan.
“Memang di Jabodetabek terjadi peningkatan untuk masalah bahan-bahan terkait polusi udara. Seiring dengan itu, data kami di surveilans penyakit menunjukkan ada peningkatan kasus ISPA yang dilaporkan di puskesmas maupun rumah sakit di Jabodetabek dengan jumlah 200.000 kasus pada Agustus 2023,” ujarnya dalam konferensi pers ‘Penanganan Dampak Polusi Udara bagi Kesehatan Masyarakat’ di Jakarta, Senin (28/8/2023).
Maxi mengatakan, penanganan masalah polusi udara memerlukan kerja sama lintas kementerian dan lembaga. Pihaknya akan fokus pada aspek edukasi dan pencegahan, salah satunya melalui protokol kesehatan 6M dan 1S.
Protokol ini meliputi memeriksa kualitas udara, mengurangi aktivitas luar ruangan, menggunakan penjernih udara dalam ruangan, menghindari sumber polusi, memakai masker saat polusi udara tinggi, menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat, serta segera berkonsultasi dengan tenaga kesehatan jika muncul keluhan pernapasan.
Surveilans cemaran PM 2,5 juga dilakukan dengan memasang sensor udara di sejumlah lokasi. Upaya ini bekerja sama dengan kementerian dan lembaga terkait yang juga memantau kualitas udara.
“Bahkan, kami menginventarisasi kemampuan rumah sakit yang bisa menangani pneumonia, khususnya di Jabodetabek. Respons cepat kami membentuk Komite Penanggulangan Penyakit Respirasi dan Dampak Polusi Udara (PPRDPU).
Polusi adalah faktor risiko kematian kelima tertinggi di Indonesia setelah tekanan darah tinggi, gula darah, merokok, dan obesitas.
Maxi menilai, penyemprotan air untuk mengatasi polusi udara dalam skala luas tidak efektif. Pihaknya mengimbau warga menggunakan masker saat polusi udara tinggi.
Ketua Komite PPRDPU Prof Agus Dwi Susanto mengatakan, polusi udara merupakan kontaminasi udara akibat satu atau lebih substansi fisik, kimia, atau biologi di atmosfer dalam jumlah yang dapat membahayakan kesehatan. Sumbernya berasal dari industri, kendaraan bermotor, rumah tangga, termasuk dari asap rokok.
Secara umum, sumber polutan terbagi menjadi dua, yaitu gas dan partikel. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), PM 2,5 merupakan partikel yang terbukti berdampak luas dan membahayakan kesehatan manusia.
Agus menuturkan, kasus ISPA di Jabodetabek pada Agustus 2023 meningkat menjadi di atas 200.000 kasus per bulan. Padahal, jumlah rata-rata tahun lalu di bawah 100.000 kasus per bulan.
“Hal ini terjadi seiring peningkatan polutan di Jakarta. Ini memberikan pola bahwa ketika polutan meningkat, terjadi peningkatan kasus ISPA,” jelasnya.
Agus menyebutkan, lima penyakit respirasi yang paling sering terjadi adalah tuberkulosis, PPOK (penyakit paru obstruktif kronis), kanker paru-paru, pneumonia, dan asma. Beban pembiayaan kelima penyakit ini pada 2022 hampir mencapai Rp 10 triliun.
“Polusi adalah faktor risiko kematian kelima tertinggi di Indonesia setelah tekanan darah tinggi, gula darah, merokok, dan obesitas,” katanya.
Masyarakat didorong menerapkan protokol kesehatan 6M dan 1S untuk mencegah dampak kesehatan akibat polusi udara. Terdapat empat kelompok masyarakat yang masuk populasi rentan sehingga memerlukan proteksi khusus, yaitu ibu hamil, warga lanjut usia, anak-anak, dan orang dengan komorbid atau penyakit penyerta.
“Meski tidak menjamin 100 persen karena terjadinya ISPA itu bisa bukan karena polusi. Polusi berperan 12,5 persen sampai 36 persen. Sisanya bisa saja terinfeksi dari saudara atau teman yang lagi sakit,” jelasnya.
Agus menambahkan, pihaknya juga menyiapkan sistem peringatan dini untuk menginformasikan hasil pemantauan kualitas udara secara berkala. Sistem ini rencananya terintegrasi dengan platform Satu Sehat.
“Peringatan akan diberikan pada masyarakat ketika kualitas udara jelek. Nanti akan keluar notifikasi dan apa yang harus dilakukan. Kami sedang menyiapkan konsepnya,” ujarnya.