Syair Madihin Pengingat Identitas Orang Banjar
Melalui madihin, seniman di Banjarmasin menyampaikan keresahan akan keberlanjutan budaya pasar terapung. Identitas sebagai ”orang sungai” kini bergeser menjadi ”orang darat”.
Sehabis shalat Subuh, menunaikan ibadah kepada Tuhan.
Perut sudah keroncongan, turunlah saya ke bantaran sungai menaiki sampan.
Menukar bobonko lawan makanan, nasi kuning tiada ketinggalan.
Di atas sungai, gelombang kiri dan kanan.
Tetapi kenapa sekarang tinggal kenangan, kemana pasar tarapungku engkau menghilang?
Bait demi bait syair dilantunkan Ahmad Syarani ditemani matahari yang mulai tenggelam di tepian Sungai Barito. Beberapa anak, laki-laki dan perempuan, menari mengikuti irama terbangyang ditabuhnya, sementara anak lain duduk menonton dan membayangkan indahnya kebudayaan kampung mereka, Kampung Muara Kuin, di masa lalu.
Ahmad tak kuasa membayangkan jika budaya mamasar apung di Pasar Terapung Muara Kuin benar-benar punah. Saat ini saja hanya tersisa belasan pedagang yang masih bertahan berjualan di atas jukung atau sampan dalam bahasa Banjar.
Dengan menjadi pamadihinan, dia ingin mengenalkan kepada anak muda agar terus melestarikan budaya yang ada sejak abad ke-14 dan semakin besar saat Kerajaan Banjar berdiri pada pertengahan abad ke-16 tersebut. Pamadihinan merupakan sebutan bagi seniman madihin di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
”Saya terbayang, ketika pulang ke kampung, pinjam jukung lalu ke sini, mana pasarnya ini? Mana suara pedagang basirih, banyiur, apam paranggi, babongko, katupatnya ey, sudah tidak terdengar lagi,” kata Ahmad di Dermaga Pasar Terapung Muara Kuin, Banjarmasin, Sabtu (9/9/2023).
Madihin berasal dari kata madah, dalam bahasa Arab artinya nasihat atau bisa juga berarti pujian. Madihin berarti seni menyampaikan nasihat, informasi, dakwah, dan mengumpulkan masyarakat dengan bersyair atau berpantun.
Seorang pamadihinan biasanya juga seorang pemain terbang, alat musik seperti rebana bergaris tengah sekitar 30 sentimeter, untuk mengiringi syairnya. Bahannya dari kayu pohon jingah, bisa juga pohon nangka. Gendangnya terbuat dari kulit kambing, dikencangkan dengan lingkaran rotan.
Irama musik yang dimainkan mempunyai notasi yang datar atau monoton, kecuali pada saat-saat prolog dan epilog iramanya bisa berubah sebagai penanda awal dan akhir kesenian madihin itu disajikan.
Suku Banjar secara historis sebenarnya adalah hasil pembauran bangsa Melayu dengan penduduk asli Kalimantan, yaitu Maanyan, Lawangan, Bukit atau Ngaju. Maka, tak heran jika akulturasi budaya membuat kebiasaan bersyair dan berpantun sampai ke Tanah Borneo. Madihin sendiri konon mulai berkembang sejak usai perang Banjar, 300-an tahun lalu.
Baca juga: Sungai Dilupakan, Musibah Kerap Menyambangi Kota Banjarmasin
Pamadihinan tua dahulu melantunkan syair madihin dengan berbahasa asli Banjar. Namun, saat ini Ahmad lebih memilih untuk mencampurnya dengan bahasa Indonesia agar pesannya mudah ditangkap generasi masa kini, tanpa mengurangi nilai kebudayaan madihin.
Lantunan madihin Ahmad tidak hanya terdengar di Banjarmasin. Pria berusia 47 tahun itu sudah sering diundang untuk tampil di berbagai negara, mulai dari Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura, hingga Arab Saudi. Bahkan, pekan ini dia berencana tampil di Hong Kong.
”Melalui madihin, saya menyampaikan kondisi pasar tarapung kita ini sekarang menuju punah,” ucap seniman Banjar yang juga pegawai negeri sipil di Kementerian Agama Kota Banjarmasin itu.
Sekitar satu jam Ahmad tampil mengisi acara Sambang Sore Hari, bagian dari acara residensi Pekan Kebudayaan Nasional (PKN) 2023 di Dermaga Pasar Terapung Muara Kuin, Banjarmasin. Syairnya penuh kritik atas pembangunan yang semakin masif melunturkan kebudayaan.
Baca juga: Angkutan Penyeberangan Sungai Barito di Kalimantan Selatan
Seniman madihin, Ahmad Syarani, saat ditemui di Dermaga Pasar Terapung Muara Kuin, Banjarmasin, Sabtu (9/9/2023).
Menurut Ahmad, budaya mamasar apung mulai ditinggalkan generasi muda seiring dengan pembangunan infrastruktur di darat, terutama sejak berdiri Jembatan Barito pada 1997. Jembatan yang menghubungkan Kabupaten Barito Kuala dan Kota Banjarmasin itu mengubah kebiasaan dagang antardaerah.
Saat ini, generasi muda lebih banyak menggunakan motor dan mobil daripada jukung untuk beraktivitas. Jalur-jalur sungai dan kanal di kota berjuluk ”Seribu Sungai” ini pun mulai ditinggalkan.
Sejak saat itu, orang dari Kecamatan Anjir yang dulunya berjualan ke Pasar Tarapung Muara Kuin pakai jukung, kini sudah menggunakan motor berjualan di darat. Belum lagi sekarang ada kios waralaba modern semacam Indomaret dan Alfamart serta lokapasar daring yang semakin mengancam budaya mamasar apung.
”Boleh kita di darat, tetapi jangan meninggalkan yang di sungai, ini harus mengakar. Jadi bukan hanya festival, festival itu hanya penampilan, tidak mengakar pada kultur masyarakat sini,” tutur Ahmad.
Dia berharap pemerintah bisa membangkitkan kembali budaya mamasar apung, dengan menghidupkan kembali sungai sebagai denyut nadi peradaban Kota Banjarmasin. PKN 2023 berupaya mengumpulkan berbagai wacana kebudayaan di daerah untuk terus dilestarikan.
Baca juga: Perjalanan Memabukkan ke Batas Negeri
PKN 2023 mengangkat tema ”Merawat Bumi, Merawat Kebudayaan” yang dibagi dalam tiga fase, yaitu rawat, panen, dan bagi. Fase rawat merupakan pra-acara berupa residensi dan penelitian sejak Juni lalu.
”Acara di Banjarmasin ini termasuk dalam kuratorial Laku Hidup dalam fase rawat. PKN adalah salah satu cara untuk menyampaikan masalah-masalah kehidupan budaya di Indonesia hari ini. Pelan-pelan, kami menyampaikan permasalahan sosial melalui cara kebudayaan, mudah-mudahan ini berlanjut,” kata Pranata Humas Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Darmawati.
Setelah itu diikuti fase panen pada Juli-Agustus dengan mengumpulkan, mendokumentasikan, dan mengarsipkan berbagai kebudayaan di sejumlah daerah. Kemudian dilanjutkan dengan fase bagi pada September-Oktober saat seluruh karya dibagikan melalui pameran, tur, perjamuan, pergelaran, konferensi, dan lokakarya yang dapat disaksikan publik.
Kuratorial lainnya adalah Temu Jalar, Rantai Bunyi, Gerakan Kalcer, Jejaring, Rimpang, Berliterasi Alam dan Budaya, Pendidikan yang Berkebudayaan, dan Sedekah Bumi Project. Puncak acara pada fase bagi digelar pada 20-29 Oktober 2023 dengan serangkaian pameran. Lokasinya tersebar di 38 titik di Jakarta yang terdiri dari ruang-ruang publik dan ruang komunitas.
Baca juga: Menghidupkan Kembali Budaya Mamasar Apung Muara Kuin