Pasal Kriminalisasi Perempuan Korban Kekerasan Mendesak Dihapus
UU ITE mendesak direvisi untuk mencegah perempuan korban kekerasan berbasis jender dikriminalisasi.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik mendesak dilakukan. Tujuannya, untuk mencegah kriminalisasi korban kekerasan berbasis jender secara daring/ berbasis elektronik, terutama perempuan dan anak perempuan.
Selama empat tahun terakhir (2018-2021), Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Jakarta telah menangani 783 kasus kekerasan seksual berbasis daring, baik yang diadukan secara daring maupun luring.
”Pasal 27 Ayat 1 dan 3 UU Nomor 11 Tahun 2008 harus dihapus karena sudah diatur dalam UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Jika dipertahankan, pasal ini sangat berbahaya, bisa mengkriminalkan korban,” ujar Uli Arta Pangaribuan, Direktur LBH APIK Jakarta pada Diskusi Publik dan Konferensi Pers ”Membedah Pembahasan Tertutup Revisi UU ITE 2.0” di kantor Amnesty Internasional Jakarta, Senin (11/9/2023).
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Eddy Hiariej, yang hadir pada diskusi itu, menegaskan, dalam pidatonya saat membuka Rapat Pimpinan TNI Polri 15 Februari 2022, Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa UU ITE mengandung pasal karet. Oleh karena itu, pemerintah akan mengajukan revisi sesegera mungkin.
”Pasal 27 Ayat 1 dan 3 UU Nomor 11 Tahun 2008 harus dihapus karena sudah diatur dalam UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Jika dipertahankan pasal ini sangat berbahaya, bisa mengkriminalkan korban. ”
Itu berarti, tidak hanya implementasi, tetapi juga secara substansi beberapa pasal dalam UU ITE, seperti Pasal 27, 28, 29, dan 36, dalam konteks Hukum Pidana tidak memenuhi istilah ”nullum crimen, nulla poena sine lege certa” (tidak ada perbuatan pidana tanpa ketentuan undang-Undang yang jelas).
”Jadi, memang pasal-pasal itu bermasalah sehingga diinterprestasi lain. Dan celakanya, tidak adanya keseragaman dalam penerapan hukum. Oleh karena itu, Presiden meminta revisi dan sekarang tengah dilakukan DPR,” kata Eddy.
Uli menegaskan, ada persoalan dalam penerapan Pasal 27 Ayat (1) dan (3) UU ITE. Selama ini, jika korban kekerasan berbasis jender daring melaporkan kasusnya seperti dalam Pasal 27 Ayat (1) dia justru mengalami kriminalisasi. Begitu juga Pasal 27 Ayat (3) sangat rentan dimaknai pencemaran nama baik/penghinaan ketika korban mengeluhkan kekerasan berbasis jender melalui platform digital/media sosial.
Adapun bentuk kekerasan seksual berbasis elektronik, antara lain, perekaman foto dan video tanpa diketahui/tanpa izin yang bernuansa seksual; ancaman penyebaran suara/gambar (foto dan video) bernuansa seksual; serta penyebaran suara, gambar, foto, video bernuansa seksual; modifikasi gambar, suara, foto, teks, video atau dokumentasi elektronik lainnya sehingga dokumen tersebut bermuatan pornografi.
”Dampaknya pada perempuan dan anak, mereka menjadi korban baik sebagai pelapor/terlapor, mengingat kecepatan transmisi dan distribusi dokumen elektronik yang tak terkendali menjadi alat pelaku menyerang perempuan korban,” ujar Uli.
Oleh karena itu, Uli menegaskan, tidak ada alasan bagi pemerintah dan DPR untuk tidak menghapus Pasal 27 Ayat 1 dan 3 UU Nomor 11 Tahun 2008, yang selama ini menjerat para korban kekerasan berbasis jender daring yang seharusnya mendapat perlindungan hukum.
Masyarakat yang berolahraga di Jalan MH Thamrin, Jakarta, ikut menyuarakan dan mendukung aksi Paguyuban Korban Kriminalisasi UU ITE (Paku ITE) dengan menuliskan surat dan tanda tangan dukungan menuntut Revisi Total UU ITE di Jakarta, Minggu (28/5/2023).
Pemahaman minim
Sementara korban mengalami trauma berkepanjangan, ketika menghadapi proses hukum mereka juga sering mengalami hambatan di tingkat penyidikan hingga persidangan. Selain berhadapan dengan aparat penegak hukum yang belum berperspektif korban, selama proses hukum korban juga harus menyiapkan mental dan keuangan yang cukup.
Mohamad Haikal, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa-Keluarga Mahasiswa Unpad 2023, mencontohkan, ada sejumlah mahasiswa yang menjadi korban kekerasan seksual yang dipaksa dan diancam pelaku untuk menyebarluaskan konten seksual di media sosial. Namun, ketika melapor kepada kepolisian justru ditolak karena dianggap belum terjadi. ”Mental di ranah penegak hukum ketika mencoba melapor,” katanya.
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu sependapat bahwa untuk melindungi para korban kekerasan berbasis elekronik, ketentuan-ketentuan seperti Pasal 27 Ayat (1) UU ITE, harus dihapus karena menjadi ancaman bagi korban. Selain itu, UU Pornografi juga harus direvisi dan menyesuaikan dengan KUHP baru dan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
”Implementasi juga perlu, khususnya kemampuan aparat penegak hukum dalam memahami kasus-kasus kekerasan seksual, termasuk dalam konteks korban yang bersuara dan terancam pasal-pasal penghinaan,” kata Erasmus.
Karena itu, selain substansi hukum diperbaiki, yang perlu dilakukan untuk melindungi para korban kekerasan berbasis elektronik adalah juga memperkuat pemahaman penegak hukum, sistem insentif dan pengawasan yang ketat termasuk reward and punishment, serta mengedukasi masyarakat.
”Ini pekerjaan besar, tapi harus dituntuskan karena aparat penegak hukum sering kali mengikuti mau publik. Semuanya mendesak dilakukan, tetapi minimal mencabut Pasal 27 Ayat 1 UU ITE itu. Lalu memperkuat implementasi KUHP dan UU TPKS serta mengedukasi publik soal bahaya kekerasan seksual dan kekerasan berbasis jender daring,” tegas Erasmus.