Angka kasus kematian akibat demam berdarah dengue di Indonesia meningkat selama lima tahun terakhir. Diagnosis yang tepat dan penanganan yang cepat perlu dilakukan untuk menekan kematian akibat DBD.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Angka kasus kematian akibat demam berdarah dengue dalam lima tahun terakhir semakin meningkat. Keterlambatan penanganan serta pemantauan yang kurang baik bisa menjadi penyebabnya. Penularan dengue pun semakin menjadi ancaman akibat dampak dari perubahan iklim.
Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono menyampaikan, dengan adanya perubahan iklim dan perubahan ekosistem di lingkungan, peningkatan kasus dengue tidak lagi terjadi setiap lima atau sepuluh tahun bersamaan dengan siklus musim hujan. Kasus dengue kini ditemukan sepanjang tahun. Kondisi El Nino pun akan berdampak pada tingginya kasus dengue karena dapat memicu perkembangan nyamuk yang lebih cepat dan membuat frekuensi menggigit nyamuk menjadi lebih sering.
Angka kasus kematian (case fatality rate) demam berdarah dengue bahkan dilaporkan meningkat. Pada 2017, angka kasus kematian dengue sebesar 0,71 persen dan pada 2022 dilaporkan mencapai 0,86 persen.
”Kondisi ini bisa terjadi karena rujukan yang terlambat serta kurangnya kewaspadaan akan tanda dan gejala sejak dini. Karena itu, masyarakat perlu lebih sadar dan kita juga bersama memperbaiki fasilitas kesehatan agar angka kematian bisa ditekan,” tuturnya dalam acara peluncuran Koalisi Bersama ”Kobar” Lawan Dengue di Jakarta, Jumat (8/9/2023).
Data Kementerian Kesehatan pada 2022 menunjukkan, total kematian akibat dengue sebanyak 1.236 kasus, dengan 63 persen kematian di antaranya terjadi pada anak usia 0–14 tahun. Adapun daerah dengan kasus kematian tertinggi adalah Jawa Barat (305 kasus), Jawa Tengah (260 kasus), Jawa Timur (151 kasus), Sumatera Utara (60 kasus), dan Kalimantan Timur (39 kasus).
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan Imran Pambudi menyampaikan, tidak ada obat yang spesifik untuk dengue. Pengobatan hanya diberikan untuk menangani gejala yang muncul. Penanganan pada pasien umumnya dilakukan dengan memberikan terapi cairan. Untuk itu, pemantauan kondisi pasien menjadi amat penting untuk memastikan penanganan tidak terlambat diberikan, terutama saat pasien masuk dalam fase kritis.
Gerakan satu rumah satu jumantik akan lebih diperkuat.
Ia mengatakan, fase kritis dari infeksi dengue biasanya terjadi setelah hari keempat gejala demam muncul. Pada saat tersebut, demam yang dialami pasien cenderung akan menurun. Kondisi ini justru yang perlu diwaspadai karena jika tidak ditangani dengan baik, risiko kematian bisa terjadi. Apalagi apabila pasien menunjukkan tanda bahaya, seperti nyeri pada ulu hati, lemas, dan muntah.
”Jadi, sekalipun setelah didiagnosis demam dengue pasien diperbolehkan untuk pulang, monitoring tetap diperlukan. Penanganan harus cepat diberikan untuk mencegah risiko kematian,” kata Imran.
Ia menyampaikan, upaya penguatan deteksi dengue telah dilakukan oleh Kementerian Kesehatan dengan menyiapkan tes deteksi cepat dengue di setiap puskesmas. Alat ini diharapkan dapat mendukung upaya deteksi dini serta peningkatan mutu diagnosis dan penangan pada pasien dengue.
Target
Dante menyampaikan, sejalan dengan target yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pemerintah telah berkomitmen untuk bisa menurunkan angka kematian menjadi nol persen pada 2030. Sejumlah strategi pun telah disusun untuk bisa mencapai target tersebut, termasuk memperkuat pemberdayaan masyarakat dalam pemantauan vektor nyamuk.
”Gerakan satu rumah satu jumantik akan lebih diperkuat. Program ini dilakukan dengan meluangkan waktu setiap jam 10 selama 10 menit setiap minggu dalam 10 minggu berturut-turut untuk mengamati jentik yang ada di rumah. Gerakan ini merupakan gerakan yang mengikutsertakan masyarakat, dari masyarakat dan untuk masyarakat,” ujarnya.
Pemerintah pun telah menetapkan strategi penanggulangan dengue 2021-2025. Setidaknya ada enam hal utama yang akan dilakukan dalam strategi tersebut. Itu meliputi penguatan manajemen vektor yang efektif, aman, dan berkesinambungan, kemudian peningkatan akses dan mutu tata laksana dengue, penguatan surveilans dengue yang komprehensif, peningkatan partisipasi masyarakat dan institusi, penguatan kebijakan manajemen program, serta pengembangan kajian, penelitian, dan inovasi.
Dante mengatakan, salah satu inovasi yang kian masif dilakukan adalah dengan pemanfaatan bakteri Wolbachia untuk melumpuhkan virus dengue pada nyamuk Aedes aegypti. Inovasi tersebut telah digunakan sebagai pelengkap program pengendalian dengue yang sudah ada, seperti pemantauan sarang nyamuk dan gerakan satu rumah satu jumantik.
Selain itu, vaksin dengue pun sudah diproduksi oleh PT Bio Farma sehingga bisa dimanfaatkan oleh masyarakat di Indonesia. Namun, vaksin ini belum menjadi program nasional. Penjajakan dan kajian untuk memanfaatkan vaksin dengue sebagai program nasional masih dilakukan.