Penularan demam berdarah tetap menjadi ancaman yang harus diwaspadai masyarakat. Kewaspadaan tersebut perlu ditingkatkan pada risiko koinfeksi antara demam berdarah dan Covid-19 yang terjadi secara bersamaan.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS -- Di tengah situasi penularan Covid-19 yang terus melonjak, masyarakat diharapkan tidak abai pada risiko penularan demam berdarah. Upaya pengendalian vektor serta kesadaran akan gejala yang timbul tetap diperlukan. Kejadian koinfeksi antara Covid-19 dan demam berdarah pun patut diwaspadai.
Data Kementerian Kesehatan hingga minggu ke-27 tahun 2021 menunjukkan, total kasus demam berdarah dengue sebanyak 20.290 kasus dengan 171 kematian. Kasus tertinggi dilaporkan terjadi di Jawa Barat (3.007 kasus), Jawa Timur (2.943 kasus), dan Bali (1.732 kasus). Sementara kasus tertinggi di tingkat kabupaten/kota terjadi di Kota Bekasi (Jawa Barat), Kabupaten Buleleng (Bali), dan Kota Kupang (Nusa Tenggara Timur).
Staf Divisi Penyakit Tropik Infeksi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (FKUI/RSCM) Sharifah Shakinah ketika dihubungi di Jakarta, Selasa (13/7/2021) mengatakan, gejala awal pada pasien demam berdarah yang serupa dengan Covid-19 dikhawatirkan membuat upaya deteksi menjadi terlambat. Hal ini bisa berbahaya karena bisa menyebabkan perburukan pada pasien, bahkan sampai pada risiko kematian.
“Risiko itu semakin besar apabila ada kasus Covid-19 dengan demam dengue. Jadi ada koinfeksi. Saat ini banyak terjadi kasus Covid-19 sehingga lupa pada masalah dengue,” katanya.
Sebaiknya, masyarakat tidak mendiagnosis sendiri akan penyakit yang dialami. Kewaspadaan pada Covid-19 memang harus ditingkatkan tetapi jika ternyata kondisi yang dialami adalah demam berdarah, penanganan pun akan berbeda.( Sharifah Shakinah)
Sharifah menyampaikan, masyarakat diharapkan segera memeriksakan diri ke dokter apabila mengalami gejala demam. Sebaiknya, masyarakat tidak mendiagnosis sendiri akan penyakit yang dialami. Kewaspadaan pada Covid-19 memang harus ditingkatkan tetapi jika ternyata kondisi yang dialami adalah demam berdarah, penanganan pun akan berbeda.
Pada kasus Covid-19 dengan gejala berat umumnya akan ditemukan dengan kondisi gagal napas. Sementara pada demam berdarah biasanya akan ditemui dengan kadar trombosit serta tekanan darah yang rendah. Jika kondisi ini tidak segera ditangani, pasien bisa mengalami sindrom syok dengue yang memiliki risiko kematian tinggi.
Ia menambahkan, masyarakat juga perlu lebih memahami pola demam yang terjadi pada pasien demam berdarah. Umumnya, demam yang terjadi pada pasien dengue terjadi secara mendadak dengan suhu yang tinggi selama tiga hari.
Selanjutnya pada hari keempat akan terjadi penurunan suhu tubuh. Pada kondisi suhu yang mulai menurun inilah yang sebenarnya harus diwaspadai karena perburukan mulai terjadi. Itu bisa ditandai dengan kebocoran pembuluh darah dengan kadar hematokrit naik, tekanan darah rendah, sesak napas, gangguan fungsi hati, dan gangguan kesadaran. Asupan cairan tubuh pun menjadi amat penting pada fase ini.
“Dengan kondisi musim yang tidak menentu seperti saat ini, kasus demam berdarah bisa terjadi sepanjang tahun. Selain waspada pada penularan, upaya pencegahan terutama dengan pengendalian vektor yakni nyamuk Aedes aegypti juga harus diperhatikan,” kata Sharifah.
Dihubungi terpisah, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik Kementerian Kesehatan Didik Budijanto mengakui jika upaya pengendalian demam berdarah mengalami kendala selama masa pandemi Covid-19. Juru pemantau jentik (jumantik) yang biasanya secara rutin memeriksa setiap rumah di wilayahnya sudah mengurangi aktivitasnya untuk mengurangi mobilitas
Karena itulah, berbagai inovasi harus dilakukan agar upaya pengendalian demam berdarah tetap bisa berjalan. Upaya 3M plus perlu kembali dimasifkan, antara lain dengan menguras tempat penampungan air, menutup tempat penampungan air, mengubur benda yang bisa menampung air, menggunakan larvasida, serta menanam tanaman pengusir nyamuk.
Selain itu, pemberdayaan masyarakat melalui satu rumah satu jumantik perlu diperkuat kembali. Rencanya, pemantauan ini akan dilengkapi dengan pemanfaatan aplikasi khusus sebagai media pelaporan dari rumah tangga ke pusat pelayan kesehatan yang bisa langsung terintegrasi dengan dinas kesehatan setempat.
“Dengan keterbatasan yang terjadi selama masa pandemi, pemberdayaan masyarakat memang harus diutamakan. Sambil kami juga akan menata sistem informasi surveilans vektor atau Silantor yang bisa langsung dipantau oleh petugas di puskesmas,” tutur Didik.