Situasi Bumi Terkini dan Sinyal Bahaya untuk Masa Depan
Suasana bumi terkini menggelisahkan, suhu yang memanas, dan sejumlah bencana terjadi di berbagai belahan dunia. Masih ada lagi ancaman krisis pangan yang bakal lebih dalam di depan mata.
Konsentrasi gas rumah kaca, suhu permukaan laut global, dan kandungan panas lautan mencapai rekor tertinggi, sementara luas es laut Antartika mencapai rekor terendah. Kebakaran hutan meluas dan gagal panen telah memicu krisis pangan. Dengan El Nino yang masih berlangsung, kita masih harus bersiap dengan situasi yang lebih buruk di tahun-tahun mendatang.
Laporan tahunan State of the Climateke-33 mengenai iklim dunia, dipimpin ilmuwan dari National Centers for Environmental Information (NCEI) NOAA, memberikan pembaruan komprehensif tentang kondisi bumi saat ini. Diterbitkan Bulletin of the American Meteorological Society pada Rabu (6/9/2023), laporan ditulis oleh 570 ilmuwan dari 60 negara.
Data dikumpulkan oleh stasiun dan instrumen pemantauan lingkungan yang berlokasi di darat, air es, dan di luar angkasa. Ini memberi gambaran komprehensif tentang indikator iklim bumi dan peristiwa cuaca penting.
Sinyal mengenai lebih panasnya suhu saat ini sudah terlihat dari serangkaian gelombang panas di tahun 2023 ini.
”Laporan ini merupakan upaya internasional untuk lebih memahami kondisi iklim di seluruh dunia dan kapasitas kita untuk mengamatinya,” kata Direktur NCEI Derek Arndt. ”Ini seperti pemeriksaan fisik tahunan sistem bumi dan melayani generasi sekarang dan masa depan dengan mendokumentasikan dan berbagi data yang menunjukkan kondisi yang semakin ekstrem dan berubah di dunia yang memanas.”
Peningkatan emisi gas rumah kaca
Salah satu temuan penting dari laporan internasional ini adalah konsentrasi gas rumah kaca di bumi yang mencapai rekor tertinggi. Karbon dioksida, metana, dan dinitrogen oksida—gas rumah kaca utama di atmosfer bumi—sekali lagi mencapai rekor konsentrasi tertinggi pada tahun 2022.
Konsentrasi karbon dioksida atmosfer global tahunan rata-rata 417,1 bagian per juta (ppm). Jumlah ini 50 persen lebih besar dibandingkan tingkat pra-industri tahun 1850-1900 dan 2,4 ppm lebih besar dibandingkan tahun 2021. Tingkatan ini tertinggi dalam sejarah modern serta catatan paleoklimatik sejak 800.000 tahun lalu.
Konsentrasi metana atmosfer tahunan juga mencapai rekor tertinggi, meningkat 165 persen dibandingkan tingkat praindustri dan peningkatan sekitar 14 bagian per miliar (ppb) dari tahun 2021. Peningkatan tahunan sebesar 1,3 ppb untuk dinitrogen oksida pada tahun 2022 , serupa dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi pada tahun 2020 dan 2021, lebih tinggi dari rata-rata peningkatan selama tahun 2010–2019 (1,0 ± 0,2 ppb). Ini menunjukkan peningkatan emisi dinitrogen oksida dalam beberapa tahun terakhir.
Dengan meningkatnya gas rumah kaca, tren pemanasan terus berlanjut di seluruh dunia. Berbagai analisis ilmiah menunjukkan, suhu permukaan global tahunan berkisar 0,25-0,30 derajat celsius di atas rata-rata pada 1991–2020. Hal ini menempatkan tahun 2022 di antara enam tahun terpanas sejak pencatatan dimulai pada pertengahan hingga akhir tahun 1800-an.
Baca juga: Lautan Memanas Cepat hingga Mencapai Rekor Tertinggi
Meskipun 2022 termasuk dalam enam tahun terpanas yang pernah tercatat, kehadiran La Nina berdampak mendinginkan suhu global pada 2022 dibandingkan dengan tahun-tahun dengan El Nino atau El Nino–Southern Oscillation (ENSO) netral. Meskipun demikian, 2022 merupakan tahun La Nina terpanas yang pernah tercatat, melampaui rekor sebelumnya pada 2021.
Kumpulan data suhu yang digunakan untuk analisis dalam laporan ini menyimpulkan, delapan tahun terakhir (2015-2022) merupakan tahun terpanas kedelapan. Suhu permukaan rata-rata global tahunan telah meningkat dengan laju rata-rata 0,08-0,09 derajat celsius per dekade sejak 1880 dan dengan laju dua kali lebih tinggi sejak 1981.
Panas laut dan permukaan laut global mencapai rekor tertinggi. Kandungan panas lautan global, diukur dari permukaan laut hingga kedalaman 2.000 meter, terus meningkat dan mencapai rekor tertinggi baru pada 2022. Rata-rata permukaan laut global mencapai rekor tertinggi selama 11 tahun berturut-turut, mencapai sekitar 101,2 mm di atas rata-rata 1993 ketika pengukuran altimetri satelit dimulai.
Gelombang panas juga memecahkan rekor suhu di seluruh planet ini. Pada bulan Juli 2022, gelombang panas selama 14 hari melanda Eropa Barat. Sebuah stasiun cuaca di Inggris mencatat suhu 40 derajat celsius untuk pertama kalinya, lebih dari 100 stasiun di Perancis memecahkan rekor suhu sepanjang masa, dan stasiun-stasiun di setidaknya enam negara Eropa lainnya mencatat rekor panas sepanjang masa.
Suhu musim panas yang sangat tinggi di Eropa mengakibatkan mencairnya gletser di Pegunungan Alpen yang belum pernah terjadi sebelumnya dengan lebih dari 6 persen volumenya hilang di Swiss selama 2022. Panas musim panas yang memecahkan rekor di Asia Tengah dan Timur menyebabkan kekeringan parah yang berdampak pada lebih dari 38 juta orang dan menyebabkan kerugian ekonomi langsung 4,75 miliar dolar AS.
Sementara itu, Arktik mengalami tahun terpanas kelima dalam rekor 123 tahun terakhir. Tahun 2022 menandai tahun kesembilan berturut-turut anomali suhu Arktik yang lebih tinggi dibandingkan anomali rata-rata global. Hal ini memberikan lebih banyak bukti mengenai proses yang dikenal sebagai amplifikasi Arktik, yaitu proses fisik yang menyebabkan wilayah di Kutub Utara ini memanas lebih cepat dibandingkan wilayah lain di planet ini. Sejak tahun 2012, Arktik hampir tidak memiliki es yang berusia lebih dari empat tahun.
Baca juga : Asia Terpanggang Panas Ekstrem, Suhu Tertinggi Indonesia Tercatat di Ciputat
Dampak dari perubahan di bumi itu juga terlihat dari meningkatnya intensitas siklon tropis. Meskipun frekuensi siklon tropis pada 2022 mendekati rata-rata, dampaknya lebih kuat membawa kehancuran. Terdapat 85 badai tropis selama musim badai di belahan bumi utara dan selatan tahun lalu. Di Atlantik Utara, Badai Fiona menjadi siklon tropis atau pascatropis yang paling intens dan paling merusak dalam sejarah Atlantik Kanada.
Badai Ian menewaskan lebih 100 orang dan menjadi bencana paling merugikan ketiga di Amerika Serikat mencapai 113 miliar dollar AS. Di Samudra Hindia Selatan, Siklon Tropis Batsirai menurunkan curah hujan 2.044 mm di Kawah Commerson di Réunion. Badai itu menyebabkan 121 korban jiwa di Madagaskar.
Direktur Eksekutif American Meteorological Society Paul Higgins mengatakan, laporan Keadaan Iklim pada 2022 ini bisa membantu memahami sistem iklim, dampak manusia terhadap iklim, dan potensi konsekuensinya. ”Laporan ini (seharusnya) dapat membantu menginformasikan keputusan yang diperlukan untuk memberdayakan umat manusia dan semua kehidupan untuk berkembang bagi generasi yang akan datang,” kata dia.
Lebih ekstrem
Kondisi pada 2022 menunjukkan menguatnya berbagai parameter pemanasan global. Apa yang kita saksikan pada tahun 2023 bahkan lebih ekstrem lagi. Bulan Juli 2023 merupakan bulan terpanas yang pernah tercatat, dengan panas terik di banyak wilayah belahan bumi utara dan hal ini berlanjut hingga Agustus.
Kebakaran hutan telah melanda sebagian besar wilayah Kanada, menyebabkan kehancuran dan kematian yang tragis di Hawaii, dan menimbulkan kerusakan besar dan korban jiwa di wilayah Mediterania. Hal ini menyebabkan tingkat kualitas udara yang berbahaya bagi jutaan orang, dan mengirimkan gumpalan asap melintasi Atlantik dan ke Kutub Utara.
Dengan munculnya kembali El Nino pada 2023, suhu rata-rata global tahun ini diperkirakan akan melebihi suhu rata-rata global pada 2022. Sinyal mengenai lebih panasnya suhu saat ini sudah terlihat dari serangkaian gelombang panas di tahun 2023 ini.
Laporan terpisah oleh Copernicus Climate Change Service (C3S)-Uni Eropa menyebutkan, bumi baru saja mengalami rekor tiga bulan terpanas sejak Juni hingga Agustus 2023. Menurut laporan ini, bulan Agustus 2023 mencapai rekor suhu terpanas yang pernah tercatat, dengan selisih yang besar, dan bulan terpanas kedua setelah Juli 2023. Secara keseluruhan suhu Agustus sekitar 1,5 derajat celsius lebih hangat dibandingkan rata-rata praindustri pada 1850-1900.
Baca juga: Bumi Mengalami Tiga Bulan Terpanas dan Es Laut Antartika di Titik Terendah
Sekretaris Jenderal Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) Petteri Taalas mengatakan, situasi ke depan dikhawatirkan akan lebih ekstrem lagi, mengingat dampak El Nino saat ini masih belum mencapai puncaknya. ”Patut dicatat bahwa hal ini (rekor suhu) terjadi sebelum kita melihat dampak pemanasan penuh dari peristiwa El Nino, yang biasanya terjadi pada tahun kedua setelah terjadinya,” ujarnya.
Laporan pada bulan Mei 2023 lalu dari WMO menyebutkan, ada kemungkinan 98 persen bahwa setidaknya satu dari lima tahun ke depan akan menjadi rekor terpanas dan 66 persen kemungkinan kenaikan suhu melebihi 1,5 derajat celsius di atas suhu tahun 1850-1900 untuk setidaknya satu dari lima tahun.
Dampak krisis iklim saat ini saja telah memukul sektor pangan dengan dahsyat. India telah menghentikan ekspor beras putih non-basmati pada akhir Juli 2023 untuk mengendalikan lonjakan harga di dalam negeri karena penurunan ketersediaan lokal akibat serangkaian bencana terkait cuaca. Panen gandum Australia juga terdampak, menambah kekurangan pangan dan lonjakan harga yang disebabkan oleh perang di Ukraina.
Melihat tren saat ini, situasi iklim ke depan sepertinya bakal lebih muram. Selain menguatnya dampak langsung terhadap cuaca ekstrem, krisis pangan bakal lebih dalam.