Menimbang Potensi Perdagangan Karbon dalam Penurunan Emisi
Perdagangan karbon menjadi salah satu upaya Indonesia dalam mempercepat penurunan emisi dan mengatasi krisis iklim. Namun, implementasi perdagangan karbon masih memiliki sejumlah catatan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
Perdagangan karbon bukanlah barang baru karena sudah dibahas dan diatur dalam Protokol Kyoto yang mulai berlaku efektif 2005. Dalam perjanjian internasional tersebut, perdagangan karbon merupakan salah satu upaya yang dapat diterapkan untuk mengurangi emisi selain implementasi bersama dan mekanisme pembangunan bersih.
Secara umum, perdagangan karbon merupakan kegiatan jual beli sertifikat pengurangan emisi karbon sebagai upaya mitigasi perubahan iklim yang dilakukan pelaku usaha maupun pihak lain. Melalui skema ini, pelaku usahayang mampu menekan emisidapat menjual kredit karbon mereka ke perusahaan yang melampaui batas emisi.
Merujuk namanya, perdagangan karbon melibatkan pihak penjual dan pembeli. Pihak penjual kredit karbon, yakni perusahaan atau negara yang kegiatannya mampu menyerap dan menghasilkan sedikit emisi. Adapun pihak pembeli kredit karbon adalah perusahaan atau negara yang menghasilkan emisi dalam jumlah tinggi.
Mekanisme perdagangan karbon di Indonesia saat ini telah dituangkan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 14 Tahun 2023 tentang Perdagangan Karbon melalui Bursa Karbon yang baru diterbitkan akhir Agustus lalu. Peraturan OJK No 14/2023 ini menjadi bagian guna mendukung upaya pemerintah dalam penurunan emisi.
Implementasi perdagangan karbon tidak memadai karena memiliki semacam lisensi untuk tetap mencemari dengan membeli dan menyeimbangkan jejak karbon.
Dalam peraturan ini diatur unit karbon yang diperdagangkan melalui bursa karbon terlebih dahulu harus terdaftar di Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN-PPI) dan Penyelenggara Bursa Karbon. Pihak yang dapat menyelenggarakan kegiatan usaha sebagai bursa karbon merupakan penyelenggara pasar yang telah memiliki izin usaha sebagai penyelenggara bursa karbon dari OJK.
Aturan ini juga menekankan bahwa penyelenggaraan perdagangan karbon melalui bursa karbon wajib diselenggarakan secara teratur, wajar, dan efisien.Kemudianpenyelenggara bursa karbon wajib memiliki modal disetor paling sedikit Rp 100 miliar dan dilarang berasal dari pinjaman.
Kepala Eksekutif Pengawas Pengawas Pasar Modal Keuangan Derivatif dan Bursa Karbon Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Inarno Djajadi menyampaikan, saat ini OJK tengah mempersiapkan dan melakukan finalisasi terkait ketentuan teknis atau peraturan turunan pelaksana Peraturan OJK No 14/2023. Aturan tersebut nantinya akan berbentuk surat edaran.
Menurut Inarno, sampai sekarang belum ada satu pun pelaku usaha yang mengajukan dokumen terkait perdagangan karbon ini karena mereka masih menunggu aturan detail yang tertuang dalam surat edaran. Sebanyak 99 perusahaan pembangkit listrik tenaga uap (UAP) batubara berpotensi turut serta dalam skema perdagangan karbon ini.
Pada tahap awal, pihak yang baru bisa berpartisipasi adalah pelaku usaha yang telah memiliki persetujuan teknis batas atas emisi pelaku usaha (PTBAE-PU)dan sertifikat pengurangan emisi gas rumah kaca (SPE-GRK). Sertifikat tersebut juga harus tercatat dalamSRN-PPI oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Selain itu, kata Inarno, pada tahap awal ini pelaku usaha ritel juga masih belum dapat berpartisipasi dalam skema perdagangan karbon. Namun, tidak menutup kemungkinan ke depan pelaku ritel bisa turut serta, tetapi khusus untuk produk-produk turunannya.
”Dalam jangka pendek, perdagangan karbon bisa dilakukan secara domestik bagi pelaku usaha yang memiliki PTBAE-PU dan SPEGRK. Untuk jangka menengah dan panjang, diharapkan pelaku usaha luar negeri juga dapat melakukan jual beli unit karbon di bursa karbon Indonesia,” ujarnya dalam konferensi pers secara daring, Selasa (5/9/2023).
Sejumlah catatan
Terlepas dari potensinya yang bisa menurunkan emisi, implementasi perdagangan karbon juga masih memiliki sejumlah catatan dari praktisi dan pemerhati lingkungan. Beberapa di antaranya terkait dengan efektivitas dalam memitigasi krisis iklim, tidak adanya peta jalan yang jelas, hingga kegiatan yang seolah melegalkan pencemaran lingkungan.
Senior Campaign Strategist Greenpeace International Tata Mustasya menilai, perdagangan karbon lebih mudah diimplementasikan daripada harus membatasi emisi bagi pihak pencemar. Akan tetapi, implementasi yang mudah dilakukan ini pada dasarnya juga lebih memiliki hasil atau dampak yang kecil dibandingkan upaya penurunan emisi lainnya.
Selain itu, perdagangan karbon ini juga dipandang hanya solusi tingkat kedua dalam menurunkan emisi dan memitigasi krisis iklim karena masih memiliki banyak kelemahan. Implementasi perdagangan karbon ini juga tidak menyelesaikan persoalan sebenarnya terkait emisi yang terus meningkat dan dihasilkan oleh pihak pencemar.
”Secara prinsip, implementasi perdagangan karbon tidak memadai karena memiliki semacam lisensi untuk tetap mencemari dengan membeli dan menyeimbangkan jejak karbon. Mendorong perdagangan karbon masih jauh berada di jalur yang tepat untuk memitigasi krisis iklim,” ucapnya.
Tata mengatakan, dari aspek kebijakan, upaya menurunkan emisi dan memitigasi krisis iklim seharusnya dilakukan dengan reformasi fiskal, yakni menerapkan transisi hijau dari sektor ekonomi pencemar ke sektor bersih. Adapun implementasinya dapat berupa kebijakan yang konsisten untuk disinsentif untuk sektor pencemar dan insentif untuk sektor bersih.
”Disinsentif untuk sektor pencemar, misalnya, pajak karbon atau pajak produksi untuk kegiatan pertambangan juga harus mencerminkan eksternalitasnya. Jadi, pajak karbon ini tidak boleh rendah sehingga nanti sektor pencemar akan beralih ke sektor bersih,” tuturnya.
Menurut Tata, saat ini beberapa perusahaan besar di dunia juga sudah memiliki kesadaran untuk meninggalkan skema penyeimbangan jejak karbon dan beralih ke pengurangan emisi dalam operasional perusahaan. Cara ini dipandang lebih efektif dan fundamental dalam mengurangi emisi dibandingkan mendorong perusahaan melakukan perdagangan karbon.
”Peran negara sangat besar dan penting untuk mendorong atau mengarahkan hal ini, bukan justru menyerahkannya ke market dalam bentuk perdagangan karbon,” ujarnya.