Perdagangan Karbon Berpotensi Picu Permasalahan Lingkungan Baru
Perdagangan karbon dipandang bukan solusi paling tepat untuk menurunkan emisi dan mengatasi perubahan iklim. Sebaliknya, penerapannya justru potensial memicu masalah lingkungan dan sosial baru.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perdagangan karbon yang merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan nilai ekonomi karbon dipandang bukan sebagai sebuah solusi paling tepat untuk menurunkan emisi dan mengatasi perubahan iklim. Sebaliknya, penerapan perdagangan karbon justru berpotensi memicu permasalahan lingkungan dan sosial baru.
Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Melky Nahar menilai, perdagangan karbon tidak akan berdampak pada upaya mengatasi krisis iklim. Penyelenggaraan perdagangan karbon justru berpotensi memunculkan berbagai masalah baru, seperti penguasaan kawasan hutan dan menyingkirkan masyarakat adat.
”Banyak kajian, seperti jutaan warga di Kongo juga disingkirkan karena imbas dari perdagangan karbon. Hal ini karena perusahaan diberi konsesi untuk kemudian mengurus dan menjaga kawasan hutan. Jadi, ini semacam upaya untuk mempertahankan ekstraktivisme,” ujarnya dalam konferensi pers di Kantor Walhi, Jakarta, Jumat (4/8/2023).
Menurut Melky, krisis iklim telah berdampak terhadap seluruh lapisan masyarakat. Namun, perumusan solusi untuk mengatasi krisis iklim ini justru tidak melibatkan masyarakat. Bahkan, perdagangan karbon yang dicanangkan juga tidak berkaitan langsung dengan masyarakat karena sebagian besar dilakukan oleh industri.
Penyelenggaraan perdagangan karbon sebagai jalan sesat untuk mengatasi krisis iklim.
”Secara kasar, perdagangan karbon memberikan hak bagi perusahaan untuk melepaskan emisi. Namun, di saat yang sama harus membayar emisi tersebut. Kami melihat ini sebagai langkah kompromistis antara negara dan industri. Solusi yang ditawarkan sekadar urusan ekonomi dan tidak ada perlindungan masyarakat,” ujarnya.
Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Indonesia (Walhi) Uli Arta Siagian mengemukakan, Walhi melihat penyelenggaraan perdagangan karbon sebagai jalan sesat untuk mengatasi krisis iklim. Sebab, perdagangan karbon sama sekali tidak menjawab akar permasalahan krisis iklim.
”Situasi krisis iklim saat ini merupakan akumulasi dari proses pelepasan emisi fosil yang sudah sangat lama sehingga mengendap di atmosfer. Kemudian hutan justru ditempatkan sebagai suatu komoditas untuk menyerap semua emisi,” ucapnya.
Meski baru akan dimulai pada September mendatang, kata Uli, saat ini sejumlah pihak sudah mulai bergerak memberikan nota kesepahaman kepada masyarakat di sejumlah daerah terkait penyelenggaraan perdagangan karbon. Padahal, masyarakat belum banyak mengetahui dengan jelas skema ataupun manfaat dari perdagangan karbon ini.
Menurut Uli, berbagai skema yang ada membuat perdagangan karbon seolah-olah menjadi sebuah izin bagi sejumlah pihak, khususnya industri, untuk melepas emisi karbon. Bahkan, jika diterapkan, perdagangan karbon lebih terkesan seperti sebuah upaya perusahaan untuk mencitrakan dirinya ramah lingkungan kepada publik atau greenwashing.
Alih-alih mengizinkan industri terus melepaskan emisi, Uli memandang, seharusnya pemerintah mulai tegas untuk menghentikan kegiatan ekstraktif yang tidak ramah lingkungan. Semua pihak juga didorong untuk mengurangi konsumsi energi fosil.
”Hal terpenting lainnya, yaitu kita harus merekognisi hak masyarakat adat dan masyarakat lokal serta melindungi praktik yang dilakukan mereka dalam menjaga hutan. Kami menyebut upaya ini sebagai keselamatan berbasis hak, baik hak rakyatnya maupun hak lingkungan itu sendiri untuk tetap aman dan terlindungi,” ujar Uli.
Mekanisme perdagangan karbon
Sebelumnya, Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Agus Justianto menyebut, pengendalian perubahan iklim di Indonesia dilakukan, salah satunya, melalui nilai ekonomi karbon (NEK). Adapun pelaksanaan NEK meliputi perdagangan karbon, pembayaran berbasis kinerja, pungutan atas karbon oleh menteri keuangan, serta mekanisme lainnya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Perdagangan karbon juga memiliki mekanismenya sendiri, di antaranya perdagangan emisi dan offset emisi. Dalam perdagangan emisi atau sistem cap and trade, para pelaku usaha dituntut untuk mengurangi emisi sesuai batas atas emisi atau emission cap. Sementara offset emisi menitikberatkan pada jual beli hasil penurunan emisi atau peningkatan penyerapan atau penyimpanan karbon.
Selain itu, pemerintah juga akan membentuk bursa karbon sehingga perdagangan karbon akan lebih terbuka bagi semua pihak atau mereka yang hendak berkontribusi dalam mengurangi emisi. Bahkan, investor individu ataupun ritel bisa melakukannya. Saat bursa karbon direalisasikan, upaya menekan emisi gas rumah kaca diharapkan bisa semakin dipacu.