Organisasi masyarakat sipil berharap pemimpin ASEAN mengakomodasi aspirasi masyarakat sipil pada penyelenggaraan KTT Ke-43 ASEAN di Jakarta.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Forum KTT Ke-43 ASEAN yang berlangsung di Jakarta pada 5-7 September 2023 seharusnya menjadi momentum bagi pemimpin negara di ASEAN untuk mendengarkan situasi sulit yang dialami rakyat. Apalagi kawasan tersebut dihantam krisis multidimensi akibat pandemi Covid-19.
Selain situasi demokrasi di kawasan ASEAN sedang dalam ancaman dan ruang kebebasan masyarakat sipil menyempit, saat ini sebagian besar penduduk di Asia Tenggara menghadapi masalah kemiskinan, kerusakan lingkungan, serta kekerasan terhadap perempuan dan ketidakadilan,
“Kondisi makin berat dirasakan perempuan, anak, masyarakat adat, dan penyandang disabilitas,“ ucap Direktur Lingkaran Pendidikan Alternatif Perempuan (Kapal Perempuan) Budhis Utami, di Jakarta, Selasa (6/9/2023) petang, saat membacakan Pernyataan Masyarakat Sipil Indonesia, menyikapi KTT Ke-43 ASEAN.
Situasi serupa juga dialami kelompok marjinal. Mereka selama ini dipinggirkan karena identitas, orientasi seksual, status kewarganegaraan, dan status minoritas lainnya.
Selain itu, ASEAN juga menghadapi tantangan terkait keamanan non-tradisional, seperti krisis kesehatan masyarakat perubahan iklim, ketahanan pangan dan sumber daya air, sertakeamanan digital.
Kawasan tersebut juga menghadapi persoalan terkait kejahatan lintas batas negara (perdagangan manusia, ekstremisme kekerasan, terorisme, dan pencucian uang). Kondisi tersebut mengharuskan ASEAN mengedepankan pendekatan keamanan insani.
Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia Mike Verawati mengutarakan, Keketuaan Indonesia dalam ASEAN amat minim melibatkan masyarakat sipil. Padahal, narasi yang dibangun masyarakat sipil amat kuat.
Bahkan, berbagai upaya dilakukan oleh masyarakat sipil di Indonesia terkait dengan mengangkat isu di ASEAN, seperti perdagangan orang, pekerja migran, ekonomi perawatan, dan perubahan iklim.
“Gerakan perempuan di kawasan ASEAN membicarakan upaya melawan kekerasan berbasis jender dibuat sistemik,” kata Mike. Karena itu, Keketuaan Indonesia di ASEAN 2023 seharusnya bisa memberikan ruang lebih luas untuk mendengarkan aspirasi masyarakat sipil.
Namun, hingga hari kedua KTT Ke-43 ASEAN berlangsung, Selasa (6/9/2023), forum ASEAN tersebut hampir sama sekali tidak menyebut peran dan kontribusi dari masyarakat sipil yang bekerja di berbagai isu yang diadopsi KTT ASEAN.
Gerakan perempuan di kawasan ASEAN membicarakan upaya melawan kekerasan berbasis jender dibuat sistemik.
Padahal, sampai 5 September 2023, selain melahirkan Jakarta Declaration on ASEAN Matters: Epicentrum of Growth (ASEAN Concorde IV), KTT ASEAN juga telah mengadopsi berbagai deklarasi terkait sejumlah isu yang selama ini dikerjakan masyarakat sipil.
Isu tersebut meliputi, antara lain, pertumbuhan ekonomi, perubahan iklim, kesetaraan jender, dan penguatan keluarga, perlindungan perempuan dan anak, kebencanaan dan resiliensi, ketahanan pangan, serta transformasi digital.
“Meski pembukaan Piagam ASEAN berbunyi ’We The People’, hampir tak ada ruang partisipasi bermakna bagi rakyat di ASEAN untuk memberi masukan substantif dalam agenda keketuaan Indonesia bagi ASEAN,” kata Ruby Kholifah, Country Representative Asian Muslim Action Network Indonesia.
ASEAN terlalu tertutup
Sikap tertutup ASEAN terhadap aspirasi masyarakat sipil dipertanyakan organisasi masyarakat sipil. Sebab, dalam berbagai kesempatan, Presiden Joko Widodo dan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia menegaskan ASEAN harus inklusif dan memberi manfaat bagi rakyat di kawasan ASEAN.
“Kenyataannya ASEAN tidak memberi ruang dan kesempatan luas bagi rakyat di kawasan ASEAN untuk menyampaikan aspirasi dan keluh kesahnya. Begitupun juga suara rakyat marginal yang selama ini terpinggirkan,” kata Rubi.
Padahal, menurut Wahyu Susilo, Direktur Eksekutif Migrant Care, sepanjang masa keketuaan Indonesia untuk ASEAN 2023, masyarakat sipil Indonesia proaktif untuk mendorong agar Keketuaan Indonesia tetap membuat ASEAN relevan dan bermanfaat bagi rakyat di kawasan ASEAN.
Sejumlah usulan disampaikan organisasi masyarakat sipil terkait ASEAN, mulai dari persoalan pekerja migran dan perdagangan orang, ekonomi perawatan berkeadilan jender, serta transisi energi yang cepat, adil dan transformatif.
Beberapa usulan lainnya meliputi bisnis berkelanjutan dan inklusif, hingga agenda perempuan, perdamaian dan keamanan, kesetaraan dan keadilan jender serta perwujudan ASEAN sebagai kawasan ramah hak asasi manusia (HAM) dan bebas dari ketimpangan.
Masyarakat sipil Indonesia juga memberi usulan konkret tentang penyelesaian krisis di Myanmar berorientasi pada penghormatan hak asasi manusia dan demokrasi.
“Namun, inisiatif masyarakat sipil untuk ASEAN yang lebih baik ini masih dianggap sebelah mata oleh Pemerintah Indonesia yang menjadi ketua ASEAN,” ujar Angelika Fortuna Dewi, Program Officer For SDGs, International NGO Forum on Indonesian Development (INFID).
Akan tetapi, lanjut Ketua Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Hariyanto, kegiatan KTT ASEAN dan dalam dokumen-dokumen deklarasi dinilai tidak menyebut peran dan kontribusi dari masyarakat sipil.
“Hal itu menjauhkan cita-cita dan keinginan ASEAN sebagai komunitas yang inklusif dan dimiliki semua, no one left behind on ASEAN matters,” ujarnya.