Mendesak, Segera Ratifikasi Konvensi Perlindungan dari Penghilangan Orang secara Paksa
Korban penghilangan paksa berhak untuk mengetahui kebenaran dari peristiwa pelanggaran HAM. Keluarga korban juga berhak untuk mengetahui nasib keluarganya.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah didesak segera meratifikasi Konvensi Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa serta memastikan nasib dan keberadaan orang-orang yang dihilangkan secara paksa. Pemerintah juga diminta mengintegrasikan pendekatan jender dalam setiap proses penyelesaian kasus penghilangan paksa, termasuk pencarian kebenaran, pembentukan komisi kebenaran, dan pemulihan bagi korban.
”Korban berhak untuk mengetahui kebenaran dari peristiwa pelanggaran HAM dan keluarga juga memiliki hak untuk mengetahui nasib keluarganya,” ujar Andy Yentriyani, Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) pada diskusi publik bertajuk ”Sampai Kapan Ditunda Ratifikasi Konvensi Penghilangan Orang secara Paksa?” pada Selasa (5/9/2023), di Jakarta.
Diskusi digelar Komnas Perempuan dan Koalisi Masyarakat Sipil Anti Penghilangan Paksa dalam rangka merespons Hari Anti Penghilangan Paksa Sedunia 2023 yang diperingati setiap tanggal 30 Agustus.
Alasan perlindungan diperlukan antara lain karena penghilangan paksa masih terjadi terhadap warga negara Indonesia.
Dalam diskusi tersebut, Andy menegaskan pentingnya percepatan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengesahan Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Ratifikasi konvensi ini akan memberikan jalan terang bagi kepastian hukum para korban penghilangan paksa dan keluarganya. Korban penghilangan paksa berhak atas kebenaran dari peristiwa pelanggaran HAM, ratifikasi konvensi tersebut juga menjadi bagian dari hak atas kebenaran.
”Akan memberikan kepastian status orang hilang dan menjadi dasar administrasi kependudukan, proses sosial atas orang hilang. Selain itu, mendorong proses hukum dan memutus impunitas, serta yang paling utama adalah jaminan peristiwa tidak berulang di masa depan,” ujar Andy.
Ia mengambil contoh testimoni dari D, anak salah satu keluarga korban. Ayahnya menjadi korban penghilangan paksa di Aceh. D mengungkapkan, ketika ada pendataan dari dinas kependudukan setempat, ibunya tidak pernah merasa menjadi janda sebab dia tidak pernah menguburkan jasad sang suami.
Komnas Perempuan mendokumentasikan pengalaman perempuan atas kekerasan dan diskriminasi dalam berbagai konteks konflik, termasuk pergolakan politik. Sejarah panjang Indonesia dalam peristiwa penghilangan paksa terjadi sejak tahun 1965, operasi militer di Timor Timur pada 1975-1999, operasi militer di Aceh pada 1976-2005, hingga situasi konflik di Papua.
Perempuan mengalami dampak penghilangan paksa, seperti korban langsung yang dihilangkan, dikembalikan, ditemukan kembali, atau berhasil melepaskan diri; anggota keluarga dari korban penghilangan paksa; dan anggota komunitas dari korban penghilangan paksa.
Di Indonesia, perempuan korban langsung penghilangan paksa berhadapan dengan berbagai kekerasan, seperti kekerasan fisik (penyekapan, penganiayaan, dan kelaparan), kekerasan psikis (intimidasi/ancaman, pelecehan, stigma, dan pengasingan), kekerasan seksual (pelecehan seksual, perkosaan, dan eksploitasi seksual), serta diskriminasi (dalam mengakses pendidikan, informasi, dan kesehatan).
Mengenai RUU Pengesahan Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa, perkembangannya pada 9 Juni 2022 lalu, Komisi I DPR menyetujui untuk membahas RUU dan sudah beberapa kali dilakukan pembahasan. Terakhir berlangsung rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan pakar/akademisi/organisasi masyarakat sipil pada 19 Juni 2023. Komnas Perempuan menjadi salah satu pihak yang dimintai pendapat terkait ratifikasi RUU ini melalui RDPU tersebut.
Memberikan perlindungan
Dimas Bagus Arya, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), menyatakan, Indonesia penting meratifikasi Konvensi Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa. Alasannya, konvensi tersebut memberikan perlindungan kepada masyarakat.
Konvensi tersebut mengatur, siapa pun tidak boleh dihilangkan secara paksa tanpa kecuali, bahkan pada saat perang atau keadaan darurat publik. Negara wajib menjadikan penghilangan paksa sebagai tindak pidana sehingga tindakan ini dapat dihukum.
Konvensi juga mengatur bahwa penghilangan paksa yang dilakukan secara luas atau sistematis adalah kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) serta mewajibkan negara pihak mencari orang-orang yang hilang, menginvestigasi penghilangan mereka, dan memberi para korban akses pada keadilan dan reparasi.
”Alasan perlindungan diperlukan antara lain karena penghilangan paksa masih terjadi terhadap warga negara Indonesia. Selain itu, Indonesia belum memiliki definisi dan pengaturan khusus mengenai kejahatan penghilangan paksa,” kata Dimas.
Mugiyanto, Tenaga Ahli Madya Kantor Staf Presiden, mengatakan, percepatan ratifikasi Konvensi Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa merupakan komitmen Presiden Joko Widodo. Melalui pidato pada Hari HAM Sedunia, 10 Desember 2021, Presiden Jokowi menyatakan, pemerintah berkomitmen untuk menuntaskan dan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat dengan mengedepankan prinsip-prinsip keadilan bagi korban dan bagi yang diduga menjadi pelaku pelanggaran HAM berat.
Menurut Mugiyanto, tahun 2023 adalah momentum baik untuk meratifikasi Konvensi Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa karena bertepatan dengan Hari HAM Sedunia pada 10 Desember 2023.
”Cuma memang menjadi tantangan adalah persoalan politik di Indonesia, karena proses ratifikasi tidak bisa dilakukan sendiri oleh pemerintah, harus dengan DPR,” katanya. Ia pun mengingatkan, ratifikasi bukan hanya kepentingan korban dan organisasi HAM atau pemerintah, melainkan juga penting bagi Indonesia sebagai sebuah negara.