Alih Fungsi Lahan Mempersulit Survei Populasi Hewan Terancam Punah
Peneliti sering kali menemukan jejak manusia tidak jauh dari jejak harimau, gajah, dan orangutan yang sedang diamati. Mereka khawatir penegakan hukum yang belum tegas semakin mengancam populasi satwa liar.
Oleh
Stephanus Aranditio
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upaya-upaya untuk menghitung harimau, gajah, dan orangutan yang tersisa di alam liar menemui tantangan baru karena lahan habitat mereka sudah banyak beralih fungsi menjadi perkebunan masyarakat dan industri. Penelitian sulit dilakukan karena hewan langka itu bergerak semakin jauh dari titik perkiraan peneliti. Selain itu, peneliti juga sulit mendapatkan akses ke lahan tersebut.
Peneliti dari Forum Harimau Kita, Tarmizi, misalnya, sering kali menemui adanya aktivitas ilegal manusia di Taman Nasional Gunung Leuser, Aceh, saat melakukan survei menghitung jumlah populasi harimau sumatera. Aktivitas ilegal itu terekam kamera tersembunyi (camera trap) yang disebar di beberapa titik. Kebanyakan dari mereka terlihat membawa senapan yang terindikasi kuat sebagai pemburu yang mengancam ekosistem hewan di sana.
”Ini susah buat kami kalau menemukan foto orang ilegal di dalam kawasan. Ini kami menemukan mereka jauh di tengah hutan, membawa senapan dan jerat. Kami khawatir karena dalam foto beberapa waktu sebelumnya di titik yang sama ada foto harimau tertangkap kamera,” tutur Tarmizi dalam diskusi daring yang digelar Belantara Foundation, Rabu (30/8/2023).
Cerita kematian harimau seperti hampir menjadi berita rutin di Aceh. Data Lembaga Suar Galang Keadilan menunjukkan, pada 2019-2022 ada 19 harimau sumatera mati. Penyebab kematian terbanyak adalah perburuan. Populasi harimau sumatera diperkirakan 500-600 ekor, dengan 150-200 ekor di antaranya berada di Aceh.
Saat perencanaan di peta, kami melihat petanya masih hijau hutan, tetapi saat di lapangan sudah menjadi kebun warga. Alih fungsi lahan ini membuat habitat orangutan menjadi terganggu.
Oleh karena itu, Tarmizi berharap pembangunan yang dilakukan pemerintah tetap memprioritaskan keberlanjutan dari ekosistem satwa liar. Pembangunan yang berkembang saat ini lebih cenderung merusak habitat satwa liar sehingga perlu perencanaan yang lebih matang.
”Artinya, yang paling penting sinergi pembangunan, termasuk pemekaran wilayah yang berdampak pada habitat satwa liar,” ucapnya.
Peneliti orangutan Magister Biologi Universitas Nasional, Prima Lady, menambahkan, alih fungsi lahan juga mengganggu proses penelitian dalam menghitung populasi hewan liar, termasuk orangutan. Dalam beberapa kali survei yang dia lakukan di Kalimantan, kondisi alam sudah berbeda jauh dengan gambaran alam di peta yang dipegang peneliti.
”Di lapangan kelihatan sekali. Saat perencanaan di peta itu, kami melihat petanya masih hijau hutan, tetapi saat di lapangan sudah menjadi kebun warga. Alih fungsi lahan ini membuat habitat orangutan menjadi terganggu,” tutur Prima.
Borneo Orangutan Survival (BOS) Foundation mencatat, populasi orangutan kalimantan saat ini berkisar 57.350 individu yang tersebar di 16 juta hektar areal hutan. Luas wilayah habitat orangutan tersebut tidak hanya di dalam kawasan konservasi, tetapi juga masuk area konsesi perusahaan.
Hal yang sama juga dirasakan Dwi Adhari Nugraha, peneliti dari Forum Konservasi Gajah Indonesia. Dwi mengatakan, hampir setiap kali mereka melakukan survei populasi gajah ke alam liar, banyak ditemukan tanda-tanda perburuan, seperti jerat gajah. Jumlah populasi gajah sumatera saat ini diperkirakan sekitar 928-1.379 ekor.
Dari analisis Sistem Informasi Geografis diketahui 85 persen populasi gajah sumatera hidup di luar kawasan konservasi yang rentan dialihfungsikan menjadi areal produksi, seperti perkebunan, pertambangan, jalan, dan permukiman. Perusahaan yang mendapat izin hak pengelolaan hutan produksi wajib untuk melindungi keberadaan satwa liar dilindungi, termasuk gajah sumatera.
”Perlu sinergi multipihak. Kalau habitat yang konteksnya bentang alam itu tidak hanya bicara dengan satu pihak saja, misalnya KLHK otoritas kawasan konservasi, mungkin juga ada HGU (hak guna usaha), HPL (hak pengelolaan), atau hutan produksi,” ucapnya.