Flora dan Fauna Pulau Wawonii Terancam Tambang Nikel
Tidak kurang dari 1.000 jenis tumbuhan dan ratusan hewan, antara lain penyu, kura-kura batok, dan burung maleo, makin terancam habitatnya oleh aktivitas pertambangan nikel di Pulau Wawonii yang termasuk pulau kecil.
Oleh
Stephanus Aranditio
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional atau BRIN mengkhawatirkan ekosistem Pulau Wawonii, Kabupaten Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara, yang semakin rusak karena aktivitas pertambangan nikel di pulau kecil tersebut. Tidak kurang dari 1.000 jenis tumbuhan dan puluhan hewan, antara lain penyu hijau dan burung-burung endemik, semakin terancam habitatnya.
Ahli Taksonomi Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi BRIN, Rugayah, mengungkapkan, Pulau Wawonii didominasi kebun kelapa, dari pantai hingga tengah pulaunya. Selain kelapa, komoditas yang sering dimanfaatkan warga Wawonii berupa cokelat, cengkeh, dan jambu mete. Selain itu, di pulau ini juga banyak tumbuh tumbuhan paku, tumbuhan monokotil (gymnospermae), dan tumbuhan dikotil (angiospermae). Beragam tanaman ini menjadi sangat berguna bagi ketersediaan pangan masyarakat lokal Pulau Wawonii agar tidak bergantung pada pasokan pangan dari luar pulau.
Kekayaan flora di Wawonii ini dicatat peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) setelah penelitian selama empat tahun dan dibukukan pada 2015 dalam buku Daftar Jenis Tumbuhan di Pulau Wawonii yang dilengkapi pada 2019 dengan buku berjudul Pulau Wawonii: Keanekaragaman Ekosistem, Flora dan Fauna. Rugayah khawatir, kondisi saat ini sudah jauh berbeda dengan yang ia temukan beberapa tahun lalu sebelum ada aktivitas tambang.
Penyu dan kura-kura batok itu dilindungi. Kalau vegetasi hutan dan pantainya rusak, ada kemungkinan hilanglah dua jenis hewan dilindungi tersebut. Jangan sampai pulau kecil ini menjadi rusak.
”Seandainya itu terganggu ekosistemnya, yang akan merasakan dampaknya adalah masyarakat. Perlu perlindungan vegetasi di Wawonii karena belum tentu pasokan pangan dari luar bisa masuk karena sulit akses akibat gelombang laut tinggi. Kalau vegetasinya baik, walaupun ada paceklik, mereka tetap bisa bertahan hidup,” kata Rugayah dalam diskusi bertajuk ”Ekosistem Hancur, Pulau Wawonii di Tengah Ancaman Tambang” di Jakarta, Selasa (22/8/2023).
Ahli Etnobitani BRIN, Mulyati Rahayu, menambahkan, salah satu tanaman berguna di Wawonii adalah okra, tanaman sejenis sayuran yang kaya akan antioksidan, vitamin A, C, dan K. Bentuk dan warnanya mirip oyong atau labu gambas, tapi agak lebih panjang dan meruncing di ujungnya.
Tanaman yang dikenal orang lokal Wawonii dengan sebutan hoinu ini biasa ditemukan tumbuh di Eropa, tetapi juga bisa tumbuh di Wawonii. Bahkan, tanaman ini diperkirakan sudah lebih dari 200 tahun ada di Wawonii yang dibawa dari Pulau Buton.
”Di Jawa, hoinu tidak ada di pasar tradisional, adanya di mal. Hoinu ini bukan hanya sebagai bahan pangan, melainkan juga untuk ritual, biasanya ditanam pada lahan yang baru dibuka sebelum ditanam padi,” ucap Mulyati.
Laode Alhamd, ahli ekologi Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi BRIN, yang juga terlibat dalam penelitian ini, mengungkapkan, selain flora, Pulau Wawonii juga sangat kaya akan keragaman fauna karena terletak di antara garis maya Wallace dan Weber, termasuk di dalam kawasan Wallacea. Setidaknya tercatat ada sekitar 37 jenis ikan air tawar, 35 jenis reptil dan amfibi seperti katak endemik, penyu hijau, dan penyu sisik.
Ada pula sekitar 70 jenis burung, 11 jenis kelelawar, dan 45 jenis serangga, sebagian termasuk dalam hewan dilindungi. Salah satunya burung maleo atau monde dalam bahasa lokal yang tergolong hewan terancam punah dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 ini.
”Penyu dan kura-kura batok itu dilindungi. Kalau vegetasi hutan dan pantainya rusak, ada kemungkinan hilanglah dua jenis hewan dilindungi tersebut. Jangan sampai pulau kecil ini menjadi rusak,” kata Laode.
Luas Pulau Wawonii hanya 715 kilometer persegi atau termasuk dalam pulau kecil sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, yang menegaskan bahwa pulau ini tidak diperuntukkan bagi pertambangan.
Yamir, salah satu warga Pulau Wawonii melaporkan, kondisi saat ini sudah jauh berbeda. Ikan di laut susah didapat, air bersih di keran warga kotor dan tercemar, hingga menimbulkan konflik sosial di masyarakat. Mereka mendesak pemerintah mencabut izin tambang PT Gema Kreasi Perdana karena terdapat pelanggaran hukum, pelanggaran hak asasi manusia, dan kerusakan lingkungan akibat pertambangan di Pulau Wawonii.
Konfirmasi perusahaan
Dikonfirmasi terkait hal ini, GM External Relations PT Gema Kreasi Perdana, Bambang Murtiyoso, membantah semua tudingan tersebut. Dia menjelaskan, pihaknya melalui Departemen Environment telah melakukan program seperti pembibitan, pemantauan dan pengelolaan kualitas udara, pemantauan kebisingan dan emisi, pemantauan dan pengelolaan kualitas air limbah tambang, pemantauan dan pengelolaan kualitas air sungai dan laut, pemantauan dan pengelolaan limbah B3, serta program reklamasi dan revegetasi.
“Klaim pengerusakan lingkungan di Wawonii ini tidak benar. Perusahaan ini memegang teguh prinsip good mining practice dalam setiap tahapan pengelolaan pertambangan. Sehingga, kehadiran kami tentu membawa dampak positif yang signifikan pada segala aspek, baik itu sosial, ekonomi, budaya, serta pengembangan lingkungan secara berkelanjutan, karena tambang bisa mengembalikan bentang alam dengan jauh lebih baik," kata Bambang, Selasa (22/8/2023).
Selain program-program tersebut, kata Bambang, sampai akhir tahun 2023, perusahaan akan mulai merintis program pemantauan dan pengelolaan keanekaragaman hayati, baik di darat, sungai, dan laut, serta mengedukasi masyarakat untuk mengelola lingkungan di area tambang."Berbagai program ini diharapkan bisa mendorong kesadaran atas keberadaan tambang yang berwawasan lingkungan ke publik," ucapnya.
Terkait dugaan cemaran air karena aktivitas tambang, perusahaan itu menyebut air keruh disebabkan tingginya curah hujan di Pulau Wawonii beberapa waktu lalu. Perusahaan telah mendistribusikan air bersih ke warga desa terdampak, membersihkan bak penampungan air warga, menurunkan tim untuk mencari sumber mata air baru, dan bersama warga membuat sumur bor sebagai alternatif lain.