Tolak Uji Materiil UU Wilayah Pesisir, Lindungi Pulau-pulau Kecil
Mahkamah Konstitusi diminta untuk menolak uji materiil Pasal 23 dan 35 UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Pengabulan uji materiil ini dapat membuka ruang untuk menjalankan aktivitas pertambangan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kelestarian lingkungan dan ruang hidup masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil kerap terancam oleh aktivitas pertambangan. Salah satu upaya melindungi wilayah ini adalah dengan menolak uji materiil sejumlah pasal yang tertuang dalam Undang-Undang tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Perlindungan terhadap wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tertuang dalam sejumlah pasal Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Beberapa waktu lalu, PT Gema Kreasi Persada (GKP) mengajukan uji materiil UU 1/2014 di Mahkamah Konstitusi (MK) karena dianggap ada ketidakkonsistenan dalam Pasal 23 dan 35. Pasal 23 menyebutkan bahwa pertambangan bukan kegiatan yang diprioritaskan di pulau-pulau kecil. Sebaliknya, Pasal 35 menyatakan terdapat celah atau ruang untuk melakukan kegiatan pertambangan dengan catatan pertimbangan teknis, sosial, dan ekologis.
PT GKP memiliki izin usaha pertambangan (IUP) seluas 850,9 hektar di Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara. Satu dari sejumlah perusahaan yang memiliki IUP Pertambangan di Wawonii ini telah melakukan produksi hingga pengangkutan bijih nikel sejak pertengahan 2022. Namun, warga dan perusahaan beberapa kali terlibat konflik karena persoalan lahan.
Menanggapi uji materiil ini, Teo Reffelsen dari Tim Advokasi Penyelamatan Pulau-pulau Kecil menyampaikan, pada intinya PT GKP merasa dirugikan dengan pasal tersebut dan meminta agar penambangan diperbolehkan sepanjang ada pertimbangan teknis, sosial, dan ekologis.
”Dari sinilah kami bersama warga Wawonii berinisiatif untuk mengajukan diri sebagai pihak terkait dalam proses persidangan ini. Proses persidangan sekarang di MK, pihak pemohon sedang melakukan perbaikan permohonan dua sehingga kami akan masuk sebelum pemeriksaan pokok perkara,” ujarnya dalam diskusi terkait keselamatan pulau-pulau kecil di Jakarta, Kamis (10/8/2023).
Selama ini, kata Teo, semua aktivitas pertambangan di pulau-pulau kecil kerap menimbulkan dampak atau krisis sosial maupun ekologis. Dalam kasus pertambangan di Pulau Wawonii, PT GKP dinilai hanya meminta pertimbangan ekologis dan mengesampingkan aspek sosial dan ekonomi karena aktivitas tambang tersebut telah merugikan masyarakat lokal.
Indonesia sudah berkomitmen untuk melindungi dan memastikan keberlanjutan perlindungan wilayah pesisir khususnya pulau-pulau kecil.
Kerugian aktivitas pertambangan ini bahkan telah dibuktikan seiring dengan kemenangan gugatan warga Wawonii terkait tata ruang dan aspek perizinan dari PT GKP di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) pada Februari lalu. Putusanmajelis hakim sepakat bahwa Pulau Wawonii tidak diperuntukkan bagi pertambangan sesuai dengan aturan yang berlaku.
Teo pun mendorong agar MK dapat menolak uji materiil Pasal 23 dan 35 UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil ini. Sebab, pengabulan uji materiil pasal ini nantinya dapat membuka ruang dan menjadi ceruk baru bagi perusahaan lain untuk menjalankan aktivitas pertambangan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
”Indonesia sudah berkomitmen untuk melindungi dan memastikan keberlanjutan perlindungan wilayah pesisir khususnya pulau-pulau kecil. Implikasi ekologis, sosial, konstitusional, dan konsep negara kepulauan ini harus diprioritaskan oleh MK untuk membuat keputusan yang memiliki perspektif keadilan dan keberlanjutan,” katanya.
Ruang hidup dikorbankan
Kepala Divisi Hukum Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Muhammad Jamil mengemukakan, Indonesia merupakan salah satu negara dengan cadangan dan potensi produksi nikel terbesar di dunia. Nikel tersebut berada di perut bumi yang mayoritas berlokasi di pesisir pulau-pulau kecil khususnya di Sulawesi hingga Papua. Dengan kondisi ini, banyak ruang hidup yang akan dikorbankan seperti di Pulau Wawonii.
”Pulau kecil ini memiliki 12 izin pertambangan, kemudian pada 2018 sebagian izin tersebut dicabut. Akan tetapi, pertambangan yang dicabut itu memang akan berakhir izinnya dan aktor politik yang menerbitkan izin masih menjabat di pemerintahan,” tuturnya.
Jamil menekankan bahwa pulau-pulau kecil perlu dilindungi karena telah menjadi tempat lahir dan identitas masyarakat lokal ataupun negara. Aktivitas pertambangan yang didukung dengan dampak perubahan iklim akan mempercepat hilangnya pulau-pulau kecil ini.
Sebelumnya, General Manager External Relations PT GKP Bambang Murtiyoso menuturkan, perusahaan telah memiliki dokumen izin lingkungan yang sesuai dengan peraturan yang ada dan berlaku. Amdal perusahaan telah terbit tahun 2008 dan telah diadendum pada 2021 yang dibuktikan dengan terbitnya perubahan izin dan kelayakan lingkungan.
Bambang pun menegaskan bahwa di pulau-pulau kecil termasuk Pulau Wamonii dapat dilakukan kegiatan penambangan dengan pertimbangan teknis, sosial, dan ekologis. Hal ini juga sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Konawe Kepulauan yang menjadikan Pulau Wawonii termasuk dalam wilayah usaha pertambangan. (Kompas.id, 3/2/2023)