Tarif JKN Tindakan Aritmia Jantung Belum Sesuai, Antrean hingga 2025
Kesenjangan tarif layanan untuk tindakan pada aritmia sangat besar dibandingkan dengan tarif yang ditanggung dalam program JKN-KIS. Perbaikan tarif dalam INA-CBGs pun mendesak agar pelayanan pasien bisa optimal.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Tarif pelayanan yang ditanggung dalam program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat pada sejumlah tindakan untuk penanganan aritmia belum sesuai. Hal ini membuat akses dan layanan pada pasien menjadi terbatas. Risiko keselamatan pasien pun dipertaruhkan.
Dewan Penasihat Perhimpunan Aritmia Indonesia (InaHRS) Dicky Armein Hanafi pada konferensi pers peringatan satu dekade InaHRS di Jakarta, Selasa (29/8/2023), mengatakan, aritmia atau gangguan irama jantung dapat terjadi apabila denyut jantung seseorang terlalu cepat, terlalu lambat, atau denyut jantung tidak teratur. Gangguan ini perlu ditangani dengan cepat dan tepat karena dapat berisiko pada kondisi kesehatan yang lebih buruk, seperti stroke, gagal jantung, dan kematian jantung mendadak (KJM).
”Aritmia yang paling sering terjadi, yakni fibrilasi atrium atau FA. Kondisi ini terjadi ketika serambi jantung hanya bergetar, tidak berdenyut. Jika tidak ditangani bisa berisiko terjadi stroke berat. Satu dari tiga pasien fibrilasi atrium mengalami stroke,” tuturnya.
Dicky menuturkan, penanganan fibrilasi atrium bisa dilakukan dengan tindakan kateter ablasi. Tindakan ini dilakukan dengan menggunakan kateter yang dimasukkan melalui pembuluh darah ke jantung.
Tindakan ablasi telah direkomendasikan sebagai pilihan pertama untuk penanganan fibrilasi atrium. Terapi melalui obat-obatan dinilai hanya meredam kemunculan gangguan irama jantung, tetapi tidak dapat menyembuhkan fibrilasi.
Kesenjangan tarif
Akan tetapi, Dicky menuturkan, cakupan pembiayaan yang ditanggung dalam program JKN-KIS untuk tindakan kateter ablasi saat ini masih jauh dari biaya yang seharusnya dibayarkan. Sebagai perbandingan, total biaya pelaksanaan untuk tindakan ablasi 3D untuk pasien fibrilasi atrium per orang sekitar Rp 186 juta. Namun, cakupan tarif yang ditanggung JKN hanya sekitar Rp 30,5 juta.
”Tidak ada coding khusus untuk tarif layanan ablasi pada fibrilasi atrium. Penanganan ablasi dimasukkan sebagai coding tindakan kardiovaskular perkutan. Itu yang membuat tarif yang ditanggung menjadi jauh dari biaya yang seharusnya,” tuturnya.
Menurut Dicky, tidak adanya kode khusus untuk tarif layanan ablasi pada tarif INA-CBGs (Indonesian-Case Based Groups) yang dibayarkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan pada rumah sakit membuat banyak rumah sakit yang tidak menerima layanan tersebut pada pasien. Sebagian besar pasien pun akhirnya dirujuk ke rumah sakit pusat rujukan nasional RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita.
Tidak ada coding khusus untuk tarif layanan ablasi pada fibrilasi atrium. Penanganan ablasi dimasukkan sebagai coding tindakan kardiovaskular perkutan. Itu yang membuat tarif yang ditanggung menjadi jauh dari biaya yang seharusnya.
Hal tersebut membuat antrean pasien di RS pusat rujukan nasional menjadi panjang sehingga layanan tidak optimal. ”Bahkan, antrean untuk tindakan ablasi di RS Jantung Harapan Kita kini sampai 2025,” kata Dicky.
Ketua InaHRS Sunu Budhi Raharjo menambahkan, selain tarif pada tindakan kateter ablasi, kesenjangan tarif dengan biaya yang tercakup dalam tarif INA-CBGs juga terjadi untuk biaya pemasangan defibrilator kardioverter implan (ICD). Alat ini sangat penting diberikan bagi pasien aritmia ventrikel untuk mencegah kematian jantung mendadak (KJM). Aritmia ventrikel merupakan gangguan impuls listrik pada ventrikel jantung.
Alat ICD pada dasarnya berfungsi untuk memberikan kejut listrik ketika terjadi gangguan irama jantung sehingga irama jantung bisa kembali normal. Dengan begitu, risiko kematian jantung mendadak bisa dicegah. Alat ini bisa ditanam di dalam dada yang dilengkapi dengan baterai yang dapat bertahan hingga delapan tahun tergantung pada frekuensi kerjanya.
”Kesenjangan tarif untuk pemasangan ICD dengan cakupan JKN juga sangat besar. Biaya untuk implantasi ICD per orang sekitar Rp 146,8 juta, sedangkan cakupan JKN hanya Rp 33 juta,” katanya.
Sunu menyampaikan, pertanggungan atau cakupan JKN untuk sejumlah tindakan pada pasien aritmia perlu ditingkatkan. Selama ini, selisih biaya dengan tarif yang ditanggung dalam program JKN akhirnya disubsidi oleh rumah sakit, seperti yang dilakukan oleh RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita. Namun, hal tersebut tentu dapat mengganggu keuangan dari rumah sakit.
Hal itu pula yang kemudian akhirnya membuat kuota yang sebelumnya diberikan untuk penanganan fibrilasi atrium dan pemasangan alat ICD menjadi dihapuskan. ”Subsidi yang diberikan oleh rumah sakit terlalu besar sehingga rumah sakit akhirnya tidak bisa menanggung biaya untuk layanan. Sejak 2021 sudah tidak dibuka lagi kuota untuk pemasangan ICD dan bulan lalu tidak ada pula kuota untuk ablasi di RS Jantung Harkit,” katanya.
Untuk itulah, Sunu mengatakan, pemerintah dan pemangku kepentingan lain diharapkan bisa mendorong peningkatan cakupan pembiayaan untuk tindakan aritmia pada program JKN-KIS. Dengan begitu, semakin banyak masyarakat yang bisa mendapatkan pelayanan kesehatan yang sesuai dengan standar. Layanan kesehatan pun bisa semakin luas dilakukan di berbagai fasilitas pelayanan kesehatan di seluruh daerah.
Sebelumnya, Direktur Utama RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Iwan Dakota menyampaikan, perbaikan tarif layanan jantung mendesak untuk dilakukan. Reklasifikasi untuk coding dalam tarif INA-CBGs telah dilakukan namun dari perubahan tarif INA-CBGs yang baru belum menunjukkan adanya perbaikan yang signifikan.
Banyak tindakan untuk layanan jantung yang tarifnya belum sesuai. Sementara teknologi kedokteran yang semakin maju telah tersedia yang diharapkan dapat meningkatkan pelayanan bagi pasien. Apabila layanan tersebut tidak dapat ditanggung dalam program JKN-KIS, pemanfaatannya pun menjadi terbatas.
Itu membuat rumah sakit pun akhirnya melakukan subsidi untuk tindakan-tindakan yang tidak mencukupi cakupan yang ditanggung oleh program JKN-KIS. Namun, solusi ini dinilai bukan solusi yang berkelanjutan karena dapat mengganggu arus keuangan rumah sakit. ”Subsidi yang kami keluarkan untuk pelayanan pasien per tahun sekitar Rp 110 miliar sampai Rp 160 miliar per tahun,” ujar Iwan.