Masa Depan Anak Terpidana Terjerat Stigma
Stigma pada anak terpidana menjadikan masa depan mereka yang masih panjang seolah sirna. Mereka masih kerap mengalami penolakan dari keluarga maupun lingkungannya.
JAKARTA, KOMPAS – Hingga saat ini setiap tahun ribuan anak di Tanah Air menjadi tahanan dan narapidana, sehingga harus mendekam di Lembaga Pembinaan Khusus Anak, Lembaga Pemasyarakatan, dan Lembaga Pemasyarakatan Perempuan. Pemidanaan penjara seharusnya merupakan upaya terakhir terhadap anak yang berkonflik dengan hukum.
Masa depan mereka dipertaruhkan. Meskipun diperlakukan berbeda dengan tahanan/narapidana orang dewasa, dan mendapat pembinaan khusus, tinggal dalam waktu tertentu di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) maupun Lembaga Pemasyarakatan (lapas), dan Lembaga Pemasyarakatan Perempuan (LPP), membawa dampak negatif bagi tumbuh kembangnya, serta rentan kekerasan berlapis.
“Berkontak dengan sistem peradilan pidana dapat menimbulkan dampak negatif pada kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan anak, serta menghalangi anak dari berbagai pilihan hidup,” ujar Feri Sahputra, Lead for Access to Justice, Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak (PUSKAPA) Universitas Indonesia, Minggu (27/8/2023).
Anak-anak yang ditaruh di situ, meskipun lembaga pembinaan, mereka sudah dimasukkan di tempat yang tiada harapan, menempatkan mereka pada sebagai orang yang paling buruk, sampah masyarakat.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang telah berumur 12 tahun, tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana.
Pada saat menjalani pembinaan di LPKA/lapas/LPP, mereka disebut sebagai anak binaan yaitu berumur 14-18 tahun. Dari data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS) Kementerian dan Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) jumlah anak dan anak binaan dalam lima tahun terakhir berfluktuatif.
Pada 2022, ada 1.896 tahanan dan narapidana anak. Pada 2021, jumlahnya 1.710 anak dan pada 2020 sebanyak 1.723 anak. Setiap tahun, jumlah anak laki-laki berkonflik dengan hukum jauh lebih banyak.
Dari sebaran wilayah, data per 20 Juni 2023 jumlah anak berkonflik dengan hukum paling banyak di LPKA Sumatera Utara (164 anak), Lampung (79 anak), dan Bandung (76). Tidak semua anak ditempatkan di LPKA, karena sesuai dengan amanat UU SPPA bahwa LPKA hanya ada satu di setiap provinsi sedangkan anak dan anak binaan tersebar pada kota/kabupaten tersebut.
Kendati ada anak berkonflik dengan hukum ditempatkan di lapas/LPP, Kemenkumham memastikan akan memperhatikan kepentingan terbaik dari anak-anak binaan tersebut, dan tidak berarti mereka dicampur begitu saja dengan tahanan/narapidana dewasa.
Adapun jenis kasusnya yang paling tinggi adalah kasus perlindungan anak (asusila) sebanyak 789 kasus, pencurian (431 kasus), narkotika (148 kasus), serta lainnya berupa penganiayaan, senjata tajam/senjata api, kriminal umum, pembunuhan, dan lain-lain.
Baca juga : Melindungi Anak dan Masa Depan Kita
“Saat ini, kasus paling dominan yang ada di LPKA adalah kasus perlindungan anak. Untuk masa pidana yang dijatuhkan kepada anak berkonflik dengan hukum sangat bervariatif, tergantung pada jenis tindak pidana yang dilakukan,” ujar Rika Aprianti, Koordinator Humas dan Protokol, Ditjen PAS Kemenkumham.
Dari data per Juni 2023, status anak berkonflik dengan hukum yang belum berkekuatan hukum tetap sebanyak 508 anak. Adapun kasus yang berkekuatan hukum terdiri dari vonis di bawah setahun (354 orang), vonis 1-2 tahun (741 orang), vonis 3-4 tahun (605)., vonis 5-6 tahun (97 orang), vonis 7-8 tahun (24 orang), dan vonis 9-10 tahun (16 orang).
Dari pengamatan tim Kompas di sejumlah LPKA, kasus-kasus asusila mendominasi. Misalnya, di LPKA Kelas I Tangerang, dari 71 anak binaan, sebanyak 41 di antaranya terkena kasus asusila.
Sedangkan di LPKA Kelas II Yogyakarta, DIY, fenomena kekerasan jalanan, yang disebut “klitih” mendominasi kasus anak di LPKA tersebut. Sisanya adalah kasus-kasus lainnya seperti pencabulan, penyalahgunaan obat-obatan terlarang, pencurian, hingga pembunuhan. Hingga Kamis (24/8/2023), jumlah anak berhadapan hukum yang dibina di LPKA tersebut mencapai 29 orang.
Banyaknya kasus-kasus asusila anak yang membawa anak dihukum penjara dikritik oleh Direktur The Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu. Hingga kini ada perdebatan soal persetubuhan anak. Dikhawatirkan kasus seperti itu akan terus menjerat anak untuk dihukum.
“Sebab, baik dalam UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual maupun KUHP tidak mengatur mengenai pengecualian tersebut, yaitu dalam hal anak yang melakukan persetubuhan dengan anak,” ujarnya.
UU SPPA belum optimal
Meskipun telah ada UU SPPA, hingga kini implementasi dari UU tersebut dinilai belum optimal diterapkan pada proses hukum dari anak berkonflik dengan hukum. Deputi Perlindungan Khusus Anak, Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Anak (PPPA), Nahar menilai ada sejumlah faktor yang memengaruhinya. Hal ini di antaranya perkembangan kebijakan dan ketentuan teknis UU SPPA yang lambat, serta minimnya sarana pendukung.
Baca juga: Refleksi Penanganan Anak Berhadapan dengan Hukum
Keterlambatan penerbitan Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Pidana dan Tindakan menjadi salah satu penyebab tidak efektifnya pelaksanaan UU SPPA dalam delapan tahun terakhir sejak berlakunya UU tersebut.
“Tentunya, ini menjadi poin evaluasi terbesar dari pelaksanaan UU SPPA. Sebab, keterlambatan ini mendatangkan banyak sekali masalah di lapangan, seperti misalnya eksesifnya penggunaan pidana penjara untuk menjawab kekaburan mekanisme pelaksanaan pidana alternatif,” kata Nahar.
Selain menghadapi stigma buruk dari masyarakat, anak-anak yang berkonflik dengan hukum harus menjalani proses hukum yang melelahkan. Mereka rentan pula mengalami kekerasan berlapis mulai dari penyidikan hingga persidangan di berbagai tingkat pengadilan.
Saat menjalani berkonflik dengan hukum pendidikan anak terancam berhenti. Ada anak yang sampai putus sekolah karena berada di LPKA/lapas/LPP, selama dalam waktu yang lama, akibat vonis pengadilan yang tinggi.
Hasil studi “Kesempatan Kedua” yang dilakukan PUSKAPA UI bersama UNICEF dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), pada November 2020, menemukan bahwa anak yang berhadapan dengan hukum menghadapi tantangan untuk berpartisipasi dalam kegiatan belajar bahkan sejak menjadi tersangka.
Proses peradilan bisa dirasakan mengintimidasi, apalagi untuk mereka yang tidak punya pengetahuan di bidang hukum, tidak familiar dengan proses peradilan.
Riset ini menguatkan studi sebelumnya pada 2014 yakni tahanan anak dengan status pelajar berisiko mengalami putus sekolah, dikeluarkan dari sekolah, atau mengulang di kelas yang sama pada tahun ajaran berikutnya. “Penjelasan ini menegaskan bahwa proses peradilan menghambat akses anak pada pendidikan dan meningkatkan risiko putus sekolah,” ujar Feri Sahputra.
Ketika anak terlibat dengan hukum, situasi anak yang sebelumnya sudah rentan akan jadi lebih rentan. Hal ini dipengaruhi oleh sejumlah faktor antara lain, proses peradilan yang umumnya melelahkan. Proses peradilan bisa dirasakan mengintimidasi, apalagi untuk mereka yang tidak punya pengetahuan di bidang hukum, tidak familiar dengan proses peradilan.
Selain itu, proses pemeriksaan baik di kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan bisa memicu trauma berlapis terhadap anak. Hal ini bisa terjadi jika proses pemeriksaannya tidak dilakukan dengan tepat dan anak tidak didampingi oleh pendamping profesional.
Anak juga akan semakin di posisi yang lebih rentan apabila orang-orang dewasa yang menangani proses peradilan ini (baik penegak hukum, penasihat hukum, dan pendamping) tidak memiliki perspektif perlindungan anak, dan tidak memahami etika dan teknik dalam mendampingi anak.
Rentan kembali terlibat kejahatan
Stigma terhadap anak yang berkonflik dengan hukum masih terjadi di tengah masyarakat. Anggapan ini semakin buruk jika anak terlibat kasus asusila. Kondisi ini berpotensi membuat anak kembali terlibat tindak kejahatan, karena mereka membutuhkan perhatian dari orangtua, keluarga, hingga lingkungan.
Kepala Balai Pemasyarakatan (Bapas) Kelas I Bandung Dasep Rana Budi, Kamis (24/8/2023) memaparkan, sebagian besar masyarakat masih sulit menerima kembali meskipun telah melaksanakan pembinaan. Meskipun tidak menghitung secara pasti, pengalaman para pembimbing kemasyarakatan (PK) masih menunjukkan kecenderungan tersebut.
Sulistyowati Irianto, Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia, menegaskan pemenjaraan anak seharusnya menjadi suatu tindakan yang paling akhir, sesudah dilakukan pembuktian yang betul-betul akurat. Jika masih ada ruang-ruang pembebasan, seharusnya itu dilakukan.
“Penggunaan nama lembaga pembinaan hanyalah eufemisme, bahasa yang dihaluskan, karena kenyataannya tetap penjara. Jadi anak-anak yang ditaruh di situ, meskipun lembaga pembinaan, mereka sudah dimasukkan di tempat yang tiada harapan, menempatkan mereka pada sebagai orang yang paling buruk, sampah masyarakat,” ujar Sulistyowati.
Banyaknya anak-anak yang dihukum pidana penjara, sebenarnya menunjukkan aparat penegak hukum di Indonesia masih terlalu legistis, yakni hanya menyandarkan proses dan putusan pengadilan pada huruf-huruf, pasal-pasal.
“Black letter of law, itulah yang mereka pikirkan harus terjadi. Mereka terlalu tekstual tidak melihat konteks, dan tidak punya perspektif, perlindungan anak yang menjadi korban,” kata Sulistyowati.