Kasus “Klitih” Mendominasi di LPKA Kelas II Yogyakarta
"Klitih" jadi sorotan bagi LPKA Kelas II Yogyakarta. Kasus itu mendominasi alasan penyebab anak mesti berhadapan hukum pada lembaga pembinaan tersebut.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·4 menit baca
GUNUNGKIDUL, KOMPAS – Fenomena kekerasan jalanan, yang disebut “klitih”, mendominasi penyebab anak-anak mesti menjalani pembinaan, di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Yogyakarta, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Kondisi lingkungan tempat tinggal diduga mampu mempengaruhi anak untuk berbuat kejahatan semacam itu. Untuk itu, perhatian khusus dibutuhkan agar anak tidak terjun lagi dalam “dunia gelap”.
Menurut data dari Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas II Yogyakarta, hingga Kamis (24/8/2023), jumlah anak berhadapan hukum yang dibina mencapai 29 orang. Paling banyak kasus kejahatan yang dilakukan terkait “klitih”, yang masuk dalam kategori gangguan ketertiban masyarakat, yakni 10 anak. Sisanya adalah kasus-kasus lain seperti pencabulan, penyalahgunaan obat-obatan terlarang, pencurian, hingga pembunuhan.
“Ada dua hal yang memengaruhi, yaitu faktor dari dalam dirinya dan di luar dirinya. Dari dalam dirinya bisa menyoal keluarganya, sedangkan dari luar dirinya itu berupa lingkungan tempat tinggal dia,” kata Sigit.
Yang tadinya di luar mereka mungkin banyak kelemahan dalam proses kehidupannya, di sini kami bekali dengan hak-hak anak seperti pendidikan dan kepribadian.
Selama pembinaan, jelas Sigit, lingkungan keluarga yang kurang harmonis membuat anak mencari tempat berlindung di luar rumahnya. Celakanya, kelompok-kelompok yang ada di luar keluarga belum tentu bisa memberikan dampak positif bagi anak. Kadang kala justru mampu menjerumuskan anak-anak itu pada tindak-tindak kejahatan seperti halnya “klitih”.
Di satu sisi, sebut Sigit, anak-anak itu sebenarnya sedang mencari jati diri sehingga membutuhkan pengakuan dari lingkungannya. Namun, pengakuan itu malah diperolehnya dari kelompok “klitih”. Pengawasan atas kegiatan anak-anak juga terasa lemah. Orangtua disibukkan dengan kegiatannya masing-masing, sedangkan guru hanya bisa mengawasi pada jam-jam sekolah.
“Nah, ini ada kecenderungan anak itu ingin eksistensi dirinya diakui lingkungan. Kebetulan lingkungannya seperti itu. Maka, dia diminta tes keberanian dengan melakukan perbuatan-perbuatan tersebut. Akhirnya malah meresahkan masyarakat,” kata Sigit.
Lantas, apabila gegara perbuatan kejahatan anak harus berhadapan dengan hukum, LPKA Kelas II Yogyakarta akan menunjukkan perannya sebagai tempat pembinaan bagi mereka. Sebelum memasuki lembaga itu, anak-anak akan dikumpulkan data berbagai data dirinya. Mulai dari pendidikan, kesehatan, karakter, kasus kejahatan yang mereka lakukan, hingga lama vonis hukuman dari pengadilan.
Data-data itu akan dikaji untuk menempatkan ruangan anak-anak berdasarkan faktor risikonya masing-masing. Biasanya, semakin panjang vonisnya anak-anak itu akan diawasi secara lebih ketat. Lebih-lebih jika mereka memiliki kecenderungan untuk membahayakan anak-anak binaan lainnya.
Oleh karenanya, terdapat sistem “reward” and “punishment” yang diterapkan guna memberi ruang gerak anak. Semakin ia patuh pada peraturan, ruang geraknya bakal kian leluasa. Tentunya, semua gerak mereka diawasi penuh oleh penjaga lembaga pembinaan tersebut.
LPKA Kelas II A Yogyakarta memiliki sedikitnya tiga bangunan sebagai tempat tinggal bagi anak-anak binaan. Masing-masing bangunan memiliki sejumlah ruangan yang bisa dijadikan tempat tidur. Satu ruangan bisa ditempati tiga orang hingga enam orang anak. Ruangan juga cukup lega untuk ditempati. Sebab, kapasitas maksimal bangunan yang bisa mencapai 100 orang hanya terisi 29 orang.
Semasa pembinaan, jelas Sigit, anak-anak akan diberikan bermacam-macam pelatihan seperti memasak, wira usaha, berkebun, mengelas, dan lain sebagainya. Anak-anak juga diwajibkan untuk melanjutkan pendidikannya. Pendampingan lain seperti psikologis hingga keagamaan turut diberikan demi membuat pribadi anak semakin baik setelah merampungkan masa hukumannya.
“Kami ingin mempersiapkan anak-anak yang berhadapan dengan hukum ini. Yang tadinya di luar mereka mungkin banyak kelemahan dalam proses kehidupannya, di sini kami bekali dengan hak-hak anak seperti pendidikan dan kepribadian supaya mereka bisa mandiri,” kata Sigit.
Identitas anak
Kepala Sub Seksi Klasifikasi dan Penilaian LPKA Kelas II Yogyakarta Bambang Sulistiyono mengatakan, pemenuhan hak anak yang coba dilakukan termasuk dalam hal identitas. Anak-anak yang masuk akan ditanyai apakah sudah memiliki kartu keluarga, kartu induk anak, maupun kartu tanda penduduk sebagai penanda identitasnya. Tak sedikit anak-anak yang masuk ke lembaga pembinaan itu belum mempunyai status yang jelas mengenai kependudukannya.
“Di sini, banyak anak-anak yang kurang terurus sama orangtuanya. Bahkan, akta kelahiran saja tidak punya. Aktanya juga ada yang bermasalah dan sebagainya. Kami sudah kerja sama dengan dukcapil (dinas kependudukan dan catatan sipil) seluruh DIY agar anak-anak bisa terpenuhi haknya 100 persen,” kata Bambang.
Sementara itu, Kepala Seksi Registrasi dan Klasifikasi LPKA Kelas II Yogyakarta Catur Hambawanto menyoroti perihal kurangnya perhatian kepada anak dari lingkungan tempat tinggalnya. Itu menjadi tantangan tersendiri bagi lembaga pembinaan. Sebab, segala upaya pembinaan yang telah dilakukan rasanya akan sia-sia jika nantinya anak-anak malah terjerumus dalam tindak kejahatan lagi.
“Ini kami sedang mencoba jejaring dengan teman-teman dari KPAI DIY hingga Dinas Sosial DIY. Sebenarnya, ada tawaran juga dari PKK, yang diketuai Ibu GKR Hemas. Ada 29 satuan kerja yang bisa digerakkan baik sosial maupun tenaga kerja. Itu termasuk potensi menjaga anak-anak yang bapak ibunya tidak ada, atau bapak ibunya berpisah, dan tidak ada tempat yang menerima mereka,” kata Catur.