Balada Kerinduan Anak Terpidana
Setiap hari, bunyi bel informasi yang berisi panggilan bagi anak-anak warga binaan LPKA menjadi sesuatu yang dinantikan. Hingga bel berhenti, petugas tidak juga memanggil namanya.
“Di waktu ku masih kecil, gembira dan senang . Tiada duka kukenal, tak kunjung mengerang . Di sore hari nan sepi, ibuku bertelut. Sujud berdoa kudengar namaku disebut. Di doa ibuku, namaku disebut . Di doa ibuku dengar, ada namaku disebut.
Lirik lagu berjudul ”Doa Ibu” ini dilantunkan perlahan oleh GN (15), remaja perempuan, salah satu anak terpidana di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas I Tangerang, Banten, saat bertemu Kompas, Rabu (23/8/2023).
Lantunan itu menjadi nyanyian sekaligus doa ketika hatinya sedih dan rindu kepada orangtua. Rasa rindu itu tetap menggelayut meski orangtuanya hingga kini tetap rutin mengunjunginya.
GN mengungkapkan kepahitan yang dialaminya sejak menjadi anak berkonflik dengan hukum pada awal 2023. Siswi SMA di Jakarta ini mengungkapkan betapa berat luka batinnya saat dia tersangkut kasus tindak pidana penganiayaan berat terhadap anak, sebut saja VD (17).
Tidur saja enggak bisa tenang. Makan enggak mood. Berat saya sampai turun, parah banget.
Dalam kasus itu, GN menjadi salah satu terdakwa dan diadili di PN di Jakarta. Sejak kasus tersebut berproses hukum, GN dirundung di media sosial dan menjadi incaran media.
Dalam persidangan, ia dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana turut serta melakukan penganiayaan berat dengan rencana terlebih dahulu. Dia divonis 3 tahun dan enam bulan penjara.
Proses hukum yang berlanjut hingga kasasi tetap mengharuskan GN menjalani pidana sama dengan putusan PN. GN yang sebelumnya dititipkan di Sentra Handayani Jakarta kemudian menjalani hukuman di LPKA Tangerang.
Tidak mudah bagi GN menerima kenyataan bahwa dia menjadi anak terpidana, apalagi kasus itu menjadi viral di media sosial. Sebagai anak, dia merasa diperlakukan tidak adil oleh publik, termasuk oleh pemberitaan media yang menempatkannya sebagai anak yang sangat buruk.
Hingga kini, dia masih trauma saat berhadapan dengan media.
Baca juga: Refleksi Penanganan Anak Berhadapan dengan Hukum
Saking traumanya, GN pun memilih diam. Ketika media memublikasikan sesuatu yang tidak sesuai fakta, GN sebenarnya ingin meluruskan, tetapi dia takut akan dirundung di media sosial.
”Saya sempat marah. Cuma kemarahan saya enggak dipublikasi. Mau berusaha klarifikasi, tetapi takutnya malah digoreng sama netizen,” ujarnya.
Pengalaman buruk saat didorong-dorong wartawan hingga kini masih lekat dalam ingatannya. Bahkan, GN ingat betul saat lehernya terlilit kabel salah satu awak televisi.
Kendati berusaha menjalani proses hukum, sebagai anak, GN mengaku mengalami masa-masa yang sangat sulit. ”Tidur saja enggak bisa tenang. Makan enggak mood. Berat saya sampai turun, parah banget,” ujar GN.
Tidak hanya trauma dengan media, sejak diperiksa di kepolisian, GN shock karena dipaksa mengingat-ingat kembali kejadian yang membuat dirinya menjadi terdakwa.
Baca juga: Melindungi Anak dan Masa Depan Kita
Yang paling berat baginya adalah saat dia dimintai keterangan untuk berita acara pemeriksaan dan mendapat pertanyaan berulang-ulang dalam waktu yang lama sampai lebih dari delapan jam. Dia menggambarkan betapa kepalanya terasa mau pecah saat ditanya berulang-ulang.
Meski cukup beruntung tersedia sekolah mandiri di LPKA Tangerang serta bakatnya bermusik dan bernyanyi terfasilitasi, ia tetap merindukan suasana sekolah sebelumnya. GN berharap setelah keluar dari LPKA nanti dia bisa meraih mimpinya menjadi musisi.
Seperti ”anak hilang”
Kunjungan keluarga menjadi pemantik semangat bagi anak penghuni di LPKA. Namun, bagi sebagian anak yang menjadi terpidana atau tahanan di LPKA Kelas II Bandung, Jawa Barat, kesempatan bertemu dengan keluarga merupakan momen sangat langka.
Setiap hari, bunyi bel informasi yang berisi panggilan bagi anak-anak warga binaan LPKA menjadi sesuatu yang dinantikan. Seperti yang dirasakan A (19), asal Sukabumi. Dia berharap ada namanya dipanggil saat bel informasi berbunyi pada Kamis (24/8) pagi.
Akan tetapi, untuk kesekian kalinya keinginannya tak berbalas. Hingga bel berhenti, petugas tidak juga memanggil namanya. Lagi-lagi A harus menerima kenyataan menjalani hari tanpa kunjungan dari sanak saudaranya.
Sudah hampir dua tahun A berada di LPKA Bandung. Saat berumur 17 tahun, dia dihukum karena terlibat kasus tawuran yang menewaskan lawannya di Sukabumi.
Berada di LPKA membuat A rindu rumah. Ia sangat merindukan kunjungan sang ayah yang bekerja sebagai guru mengaji. Hampir setahun A tidak mendengar suara orangtuanya.
Baca juga: Status Terpidana Tak Hapus Hak pada Anak
”Terakhir ada kunjungan daring tahun 2022. Setelah itu, sampai sekarang tidak ada lagi (kunjungan). Kalau kunjungan langsung belum pernah. Mungkin bapak sibuk, apalagi jarak dari rumah ke sini (Bandung) jauh,” ujarnya.
Dua tahun lalu, terutama setelah ibunya meninggal, A seperti kehilangan pegangan. Dia mudah terjerat bujuk rayu teman-temannya untuk berbuat jahat.
”Ibu meninggal saat melahirkan adik. Di sana pikiran saya sudah kacau. Beberapa hari kemudian, ada yang mengajak tawuran. Saya langsung meladeni,” kenangnya.
Kini, tidak ada lagi yang ia inginkan selain pintu maaf, terutama dari keluarga korban. A mengaku bersalah.
Rasa rindu akan keluarga juga dirasakan SA (17), anak binaan LPKA Bandung lainnya. Ia terpidana kasus asusila di daerah asalnya, Kabupaten Karawang, Jabar, Agustus 2022. SA, yang sempat menjadi korban kecanduan konten pornografi di media sosial, dihukum 3 tahun penjara.
SA hanya bertemu dengan orangtuanya yang bekerja sebagai petani beberapa kali saat di kantor polisi. Karena persidangan berlangsung daring, dia hanya bisa menatap orangtuanya dari layar monitor.
Roni dan petugas lainnya terus meyakinkan mereka bahwa keluarganya sedang sibuk sehingga tidak sempat mengunjungi.
”Sejak ditahan sampai sekarang belum ada yang datang. Kedua orangtua saya cuma petani, mungkin mahal atau tidak ada waktu ke Bandung,” ujarnya.
Selama di LPKA, SA dan kawan-kawannya mendapat berbagai keahlian, seperti membuat aneka jenis kerajinan dan pangkas rambut. Ada juga siraman rohani yang rutin disampaikan kepada penghuni LPKA. ”Walaupun di sini orang-orangnya baik, lebih enak di luar, bebas,” ujar SA.
A dan SA adalah anak-anak binaan di LPKA Bandung yang sudah lama atau tidak pernah lagi dikunjungi keluarga. Mereka bagian dari total 156 penghuni LPKA Bandung. Dari jumlah itu, sekitar 10 orang, termasuk A dan SA, mendapat sebutan ”anak hilang” karena lama tidak dikunjungi keluarga.
Kepala Seksi Pembinaan LPKA Bandung Roni Nuryadi mengakui ada sebutan ”anak hilang” itu. Namun, itu hanya istilah. Saat bertemu dengan anak-anak, Roni dan petugas lainnya terus meyakinkan mereka bahwa keluarganya sedang sibuk sehingga tidak sempat mengunjungi.
Bagi anak-anak, kehidupan di LPKA seolah menjadi siksaan tersendiri. Selain terpisah dari keluarga, bagi yang masih sekolah, mereka harus menerima kenyataan putus dari sekolah formal dan menjalani hari-hari di balik tembok jeruji. Meskipun ada peluang melanjutkan pendidikan melalui kejar paket, kebebasan saat bersekolah di luar LPKA jauh berbeda.