Penguatan Hukum Lingkungan Bantu Atasi Perubahan Iklim
Upaya mengatasi perubahan iklim perlu aspek penguatan hukum lingkungan. Di sisi lain, aspek demokrasi dan pemerintahan harus berjalan dengan baik sehingga mengoptimalkan penegakan hukum.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penguatan hukum lingkungan merupakan salah satu kunci dalam membantu mengatasi perubahan iklim. Di samping itu, aspek demokrasi dan pemerintahan harus berjalan dengan baik sehingga mengoptimalkan penegakan hukum lingkungan ini.
Hal tersebut mengemuka dalam dialog bertajuk ”Mewujudkan Hukum Perubahan Iklim yang Berkeadilan: Pembelajaran dari Gerakan Hukum Lingkungan Indonesia Masa ke Masa” yang diselenggarakan Lembaga Kajian Hukum Lingkungan Indonesia (ICEL), di Jakarta, Kamis (24/8/2023). Dialog ini merupakan rangkaian acara perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Ke-30 ICEL.
Direktur Eksekutif ICEL Raynaldo Sembiring mengemukakan, saat ini isu iklim sudah banyak menjadi perhatian publik dari berbagai kalangan seperti akademisi, penegak hukum, dan generasi muda. Kondisi ini berbeda dibandingkan puluhan tahun lalu, di mana saat itu negara-negara baru memikirkan pentingnya merespons dampak dari revolusi industri.
Penguatan perlu dilakukan dengan memperbanyak produk pengetahuan tentang implementasi hukum lingkungan.
Menurut Raynaldo, masalah lingkungan termasuk krisis iklim yang terjadi saat ini bukanlah suatu permasalahan tunggal atau tidak terjadi karena satu faktor saja. Krisis iklim ini tidak terlepas dari permasalahan lainnya termasuk sosial, hukum, dan pemerintahan.
”Permasalahan terkait dengan demokrasi, hak asasi manusia, dan tata kelola pemerintah juga memengaruhi terwujudnya cita-cita tentang keadilan iklim,” ujarnya.
Jika merujuk dari beragam faktor penyebabnya, kata Raynaldo, upaya penyelesaian terhadap masalah iklim yakni dengan memastikan faktor-faktor pendukung lainnya berjalan dengan baik dan beriringan. Faktor tersebut meliputi aspek demokrasi dan tata kelola pemerintah serta menjaga aturan hukum lingkungan yang berlaku.
Ia pun menekankan terkait pentingnya semua pihak untuk membicarakan hak atas lingkungan yang baik dan sehat seiring dengan terus gencarnya pembangunan di berbagai wilayah. Hal ini mengingat, hak atas lingkungan yang baik dan sehat telah diatur dalam konstitusi dan dituangkan kembali untuk pertama kalinya melalui Undang-Undang Nomor 4 tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Ke depan, kata Raynaldo, penguatan perlu dilakukan dengan memperbanyak produk pengetahuan tentang implementasi hukum lingkungan. Hal ini diperlukan karena sebenarnya berbagai aspek hukum lingkungan di Indonesia sudah banyak tersedia dan cukup kuat. Namun, impelementasi penegakan hukum lingkungan di lapangan masih belum optimal.
”Prinsip strict liability(pertanggungjawaban mutlak) sudah ada sejak UU 4/1982. Akan tetapi, prinsip ini baru bisa dioperasionalisasikan dengan cukup pas mungkin sekitar tahun 2015-2016 ketika banyak terjadi kasus kebakaran hutan dan lahan,” tuturnya.
Dalam konteks saat ini, ICEL juga turut berperan dalam mengawasi dan memperkuat hukum lingkungan di Indonesia. ”ICEL bersama organisasi masyarakat sipil lainnya harus terlibat dalam memperjuangkan demokrasi yang lebih baik,” kata Raynaldo.
Pembuktian ilmiah
Wakil Ketua Mahkamah Agung Sunarto dalam sambutannya mengatakan, pembuktian ilmiah dapat membantu hakim untuk mengetahui kebenaran materiil dari suatu peristiwa. Dalam konteks penanganan perkara lingkungan hidup, pembuktian ilmiah memberikan petunjuk bagaimana aktivitas manusia berkontribusi terhadap kerusakan dan pencemaran lingkungan.
”Dari kebenaran materiil yang terungkap, hakim dapat memiliki keyakinan dalam mengidentifikasi pelanggaran yang terjadi serta bagaimana hukum harus meresponnya. Oleh karena itu, pemahaman atas aspek ilmiah dan keterampilan menyusun argumentasi hukum bagi hakim dalam menangani kasus lingkungan hidup perlu berjalan beriringan,” katanya.
Mahkamah Agung saat ini tengah menyusun rancangan peraturan tentang pedoman mengadili perkara lingkungan hidup. Peraturan yang masih dalam tahap harmonisasi ini merupakan salah satu upaya untuk memberikan petunjuk bagi para hakim dalam menilai fakta dan bukti ilmiah yang diajukan dalam persidangan.
”Meskipun aspek pembuktian ilmiah telah diberikan dalam pelatihan sertifikasi hakim lingkungan, Mahkamah Agung tetap membutuhkan dukungan agar peningkatan kapasitas hakim lingkungan terkait sains dan teknologi dapat terlaksana secara berkelanjutan,” ungkapnya.
Laporan Mahkamah Agung tahun 2022 mencatat, perkara lingkungan hidup yang diterima dalam kasasi pidana khusus sebanyak 150 perkara. Potensi kontribusi terhadap keuangan negara yang berasal dari denda dan uang pengganti berdasarkan putusan perkara lingkungan hidup dan beberapa perkara lainnya sebesar Rp 3,78 triliun.