Kegagalan Luna-25 dan Pudarnya Kejayaan Teknologi Luar Angkasa Rusia
Wahana pendarat Luna-25 milik Rusia jatuh menubruk Bulan, Sabtu (19/8/2023). Peristiwa ini makin menandai kemunduran teknologi luar angkasa Rusia sejak runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1991.
Senin (21/8/2023) seharusnya menjadi hari bahagia bagi Rusia. Setelah 47 tahun absen dalam eksplorasi Bulan dan di tengah perang yang berkecamuk dengan Ukraina, wahana antariksa Luna-25 dijadwalkan mendarat di kutub selatan Bulan. Namun malang tak dapat ditolak. Dua hari sebelum hari bersejarah itu, Luna-25 hilang kendali dan jatuh menubruk Bulan.
Wahana pendarat Rusia Luna-25 itu jatuh menubruk Bulan pada Sabtu (19/8/2023). Kejadian ini dimulai dengan upaya pengendali di Bumi untuk memindahkan wahana ke orbit sebelum pendaratan pada pukul 14.10 waktu Moskwa atau 18.10 waktu Jakarta. Namun, seperti dikutip dari Reuters, 20 Agustus 2023, upaya itu justru membuat kontak dengan wahana hilang dan 47 menit kemudian, Luna-25 dinyatakan jatuh menubruk Bulan.
”Pada Sabtu (19/8/2023) pukul 14.57 waktu Moskwa (atau 18.57 waktu Jakarta), komunikasi dengan wahana antariksa Luna-25 terputus,” tulis Badan Antariksa Rusia (Roscosmos) melalui akun Telegramnya.
Selama dua hari, Roscosmos pun berusaha melakukan sejumlah tindakan untuk membangun kembali komunikasi dengan Luna-25. Namun, seperti dikutip Space, 20 Agustus 2023, upaya itu tidak membuahkan hasil.
Analisis awal menunjukkan jatuhnya Luna-25 disebabkan oleh manuver orbital yang tidak tepat dan di luar rencana sehingga wahana berada pada lintasan yang tak sesuai pengaturan awal. ”Wahana bergerak ke orbit yang tidak dapat diprediksi hingga akhirnya tidak ada lagi (komunikasi dengan wahana) karena (Luna-25) telah menubruk permukaan Bulan,” ungkap Roscosmos.
Luna-25 diluncurkan dari landas luncur 1C Bandar Antariksa atau Kosmodrom Vostochny di Amur, wilayah timur jauh Rusia, pada Jumat (11/8/2023) pukul 08.10 waktu setempat atau 06.10 WIB. Dalam perjalanan cepatnya menuju Bulan, Luna-25 berhasil mengirimkan foto-foto luar angkasa pertamanya ke Bumi pada 13 Agustus 2023, termasuk swafoto wahana berlatar belakang Bumi dan Bulan.
Baca juga: Luna-25, Wahana Pendarat Bulan Milik Rusia, Memasuki Orbit Bulan
Hanya dalam lima hari, wahana sudah memasuki orbit Bulan pada Rabu (16/8/2023). Selanjutnya, Luna-25 bergerak memutari Bulan pada jarak 100 kilometer dari satelit alami Bumi tersebut. Sembari mengorbit, wahana juga memotret sebagian permukaan Bulan yang dilaluinya untuk persiapan mendarat di Bulan.
Jika semua berjalan sesuai rencana, pada Senin (21/8/2023) Luna-25 seharusnya mendarat di permukaan Bulan di utara Kawah Boguslavsky yang masuk kutub selatan Bulan. Untuk mengantisipasi hal yang tidak diinginkan, dua tempat pendaratan cadangan juga telah disiapkan, yaitu Kawan Manzini dan Kawah Pentland A.
Wahana bergerak ke orbit yang tidak dapat diprediksi hingga akhirnya tidak ada lagi (komunikasi dengan wahana) karena (Luna-25) telah menubruk permukaan Bulan.
Jika semua jadwal itu berjalan sukses, Rusia akan menjadi negara pertama yang mendarat di kutub selatan Bulan, wilayah yang kini menjadi tujuan utama negara-negara untuk eksplorasi Bulan karena keberadaan air cair di wilayah itu. Namun, semua itu akhirnya tinggal rencana. Ambisi menjadi yang pertama mendaratkan teknologinya di wilayah yang belum pernah didaratin teknologi manusia itu harus dipendam untuk sementara waktu.
Membangkitkan sejarah
Wahana pendarat Luna-25 digagas sejak 2005 untuk menjadi tonggak kembalinya Rusia sebagai penerus Uni Soviet dalam perlombaan eksplorasi Bulan. Jika berhasil mendarat, wahana akan bekerja di Bulan selama setahun untuk berburu air es Bulan. Air es itu bisa digunakan sebagai sumber air dan bahan bakar roket untuk eksplorasi Bulan dan Planet Mars di masa depan.
Wahana Uni Soviet terakhir yang dikirim ke Bulan adalah Luna-24 pada 1976 atau empat tahun setelah Amerika Serikat mendaratkan antariksawannya untuk terakhir kali di Bulan pada 1972. Saat itu, Luna-24 mendarat di Mare (Laut) Crisium dan berhasil membawa pulang 170 gram tanah Bulan ke Bumi. Studi lanjut tanah Bulan itu menunjukkan regolith, lapisan debu tipis di permukaan Bulan sebagai hasil tumbukan meteorit terus-menerus, mengandung air.
Namun, hilangnya Luna-25 jadi pukulan besar bagi Rusia. Roscosmos ingin menjadikan Luna-25 sebagai batu loncatan untuk membangun misi-misi ke Bulan berikutnya. Luna-26 direncanakan jadi wahana pengorbit diikuti dua misi pendarat, yaitu Luna-27 untuk mengebor tanah Bulan dan Luna-28 untuk mengirim tanah regolith dari kutub selatan Bulan kembali ke Bumi. Selain itu, Rusia ingin mendaratkan antariksawannya untuk pertama kali di Bulan pada 2029.
Semua rencana itu akhirnya harus ditunda karena Roscosmos butuh waktu untuk menyelidiki dan menemukan penyebab utama jatuhnya Luna-25. Sebuah komisi untuk menyelidiki kejatuhan Luna-25 ini sedang dibentuk sehingga kegagalan yang terjadi bisa diketahui dan dipelajari untuk menjalankan misi berikutnya.
Lebih jauh dari itu, kegagalan misi prestisius ini makin menegaskan kemunduran kedigdayaan Rusia dalam penjelajahan antariksa. Jatuhnya Luna-25 menambah kegagalan misi-misi Rusia ke antariksa. Padahal, selama perang dingin, Uni Soviet telah mencatatkan banyak rekor sebagai negara pertama dalam berbagai program luar angkasa.
Uni Soviet tercatat sebagai negara pertama yang mengirimkan satelit dan mengorbit Bumi melalui Sputnik-1 pada 1957. Luna-1 menjadi wahana pertama yang terbang melintas (fly by) di dekat Bulan pada 1959. Pada tahun yang sama, penerusnya yaitu Luna-2 menjadi teknologi buatan manusia yang pertama mencapai permukaan Bulan dan Luna-3 sebagai wahana pertama yang memotret sisi belakang Bulan yang tidak pernah terlihat dari Bumi.
Tak hanya itu, antariksawan atau kosmonot Uni Soviet, Yuri Gagarin menjadi manusia pertama yang terbang ke luar angkasa tahun 1961. Luna-6 menjadi wahana yang pertama mendarat secara lembut (soft landing) di permukaan Bulan tahun 1966. Bahkan, Luna-10 juga pada tahun 1966 menjadi satelit buatan manusia pertama yang mengorbit Bulan.
Baca juga: Rusia dan Program Bulannya
Situs Badan Penerbangan dan Antariksa Nasional Amerika Serikat (NASA), 19 April 2021, menyebut Uni Soviet sebagai negara pertama yang mengoperasikan stasiun luar angkasa melalui Salyut tahun 1971.
Sementara Badan Antariksa Eropa (ESA) menempatkan Soyuz sebagai wahana peluncur atau kapsul dan roket peluncur yang paling banyak digunakan untuk mengirimkan antariksawan dan kargo ke luar angkasa, yaitu lebih dari 1.700 kali sejak 1966. Bahkan, sumber lain menyebut roket Soyuz telah digunakan lebih dari 1.900 kali sejak digunakan tahun 1966 sampai 2021.
Kemunduran beruntun
Namun, sejak keruntuhan Uni Soviet tahun 1991 dan kejayaan teknologi luar angkasanya diteruskan oleh Rusia, kedigdayaan Uni Soviet secara perlahan menurun. Sejumlah kerusakan dan kegagalan sistem membuat keandalan teknologi luar angkasa Rusia dipertanyakan hingga memutus pendapatan dan mitra.
Dikutip dari Le Monde, 21 Agustus 2023, beberapa misi Rusia ke obyek-obyek di Tata Surya sejak 1991 mengalami sejumlah kegagalan. Misi Mars-96 untuk mengeksplorasi Planet Mars pada tahun 1996 gagal memasuki orbit hingga akhirnya wahana itu masuk kembali ke atmosfer Bumi.
Ada pula misi Phobos-Grunt menuju salah satu satelit Planet Mars, yaitu Phobos pada tahun 2011. Pembakaran roket yang mengarahkan roket ini ke Mars juga gagal bekerja sehingga wahana terjebak di orbit rendah Bumi dan akhirnya jatuh ke Bumi pada 2012.
Tak hanya wahana untuk menjelajahi obyek Tata Surya, wahana untuk mengirimkan antariksawan dan kargo ke Stasiun Ruang Angkasa Internasional (ISS) juga mengalami masalah. Selama awal tahun 2023, setidaknya ada dua wahana yang menjadi perhatian yaitu kebocoran sistem pendingin pada Soyuz MS-22 dan Progress MS-21.
Kebocoran Soyuz MS-22 terjadi pada pertengahan Desember 2022 disebabkan oleh benturan dengan meteoroid mikro. Hal ini mengakibatkan kepulangan tiga antariksawan ke Bumi yang seharusnya dilakukan Februari 2023 ditunda hingga akhir September 2023. Sementara wahana yang rusak itu dipulangkan ke Bumi tanpa awak.
Untuk kebocoran Progress MS-21 belum diketahui penyebabnya. Wahana ini, seperti dikutip dari Space, 28 Maret 2023, akhirnya dideorbit atau dikeluarkan dari orbitnya dan dikembalikan ke Bumi. Daripada membawanya mendarat dengan selamat di permukaan Bumi, Roscosmos memilih membuangnya hingga akhirnya habis terbakar di atas selatan Samudra Pasifik.
Sejak berakhirnya penggunaan pesawat ulang alik tahun 2011, Soyuz menjadi satu-satunya roket peluncur dan kapsul yang digunakan untuk mengirimkan dan menjemput antariksawan serta kargo dari dan menuju ISS. Namun, masuknya SpaceX dengan roket Falcon dan kapsul Crew Dragon pada 2020 membuat AS tak lagi bergantung pada roket dan wahana Rusia. Terlebih, roket dan wahana Rusia itu telah beberapa kali mengalami kegagalan.
Tak hanya untuk urusan pengiriman antariksawan dan kargo, peluncuran satelit-satelit komersial yang dibuat oleh perusahaan Rusia atau diluncurkan menggunakan roket Rusia juga banyak mengalami kendala dan kegagalan.
Kasus ini pernah dialami satelit Telkom-3 milik PT Telkom Satelit Indonesia. Satelit ini dibuat oleh perusahaan Rusia, ISS Reshetnev, dan diluncurkan menggunakan roket Proton-M juga milik Rusia pada 2012. Kendala di roket bagian atas membuat satelit gagal mencapai orbit geostasioner dan akhirnya jatuh ke Bumi pada 2021.
Baca juga: Terbangkan Luna ke Bulan, Rusia Tegaskan Status Adidaya Antariksa
Bukan hanya itu, partisipasi Rusia dalam pengoperasian ISS juga menghadapi tantangan. Adapun ISS yang mulai ditempati antariksawan tahun 2000 dan akan berakhir pada 2030 itu dimiliki dan dikelola Amerika Serikat, Rusia, Uni Eropa, Kanada, dan Jepang. Namun, seperti dikutip SpaceNews, 4 Agustus 2023, Roscosmos menegaskan mereka akan berpartisipasi mengelola ISS hingga tahun 2028 atau mundur empat tahun dari rencana semula tahun 2024.
Selain itu, selama ini Rusia terlalu bergantung pada Bandar Antariksa atau Kosmodrom Baikonur yang terletak di Kazakhstan. Namun, Kazakhstan telah menaikkan sewa dan biaya tahunan yang membebani Rusia. Bahkan, pada Maret 2023, Kazakhstan dilaporkan telah menyita sejumlah aset Rusia di Baikonur untuk menutupi utang Roscosmos.
Untuk mengurangi ketergantungan pada Baikonur, Roscosmos mengembangkan Bandar Antariksa Vostochny di timur jauh Rusia yang letaknya berbatasan dengan China. Namun, pengerjaan proyek ini terhambat oleh persoalan konstruksi, penundaan, hingga skandal korupsi. Meski demikian, Vostochny sudah digunakan untuk meluncurkan Luna-25.
Tekanan
Berbagai persoalan itu, seperti ditulis Wired, 20 Maret 2023, membuat Roscosmos kehilangan banyak pendapatan dari peluncuran menggunakan Soyuz dan berakhirnya masa kemitraan dalam pengelolaan ISS. Gangguan pengembangan program antariksa Rusia itu diperparah oleh dampak perang dan sanksi yang ditetapkan Barat dan sekutunya.
Bruce McClintock, mantan atase pertahanan Kedutaan Besar AS di Moskwa yang kini menjabat kepala Space Enterprise Initiative dari organisasi riset Rand Corporation, menilai kegagalan-kegagalan itu sebagai kematian yang terus berlanjut dari program antariksa sipil Rusia.
Situasi itu dipicu oleh pilihan pemimpin Rusia sejak sepuluh tahun lalu yang lebih memprioritaskan pada pengembangan program antariksa militer dibandingkan untuk program antariksa sipil. Prioritas itu membuat Pemerintah Rusia lebih fokus pada pengembangan teknologi satelit dan antisatelit daripada mengembangkan roket atau wahana yang dimiliki.
Di sisi lain, teknologi luar angkasa Rusia dinilai mengalami stagnasi atau kurang inovasi. Saat ini, tren roket dan wahana yang digunakan untuk mengirimkan awak dan kargo ke luar angkasa adalah yang bisa digunakan kembali. Model teknologi membuat biaya peluncuran dan pengiriman wahana bisa ditekan cukup besar. Namun, teknologi Rusia saat ini masih banyak yang bersifat sekali pakai sehingga mahal dan butuh waktu lama untuk pembuatannya.
Sejatinya, ambisi Rusia untuk tetap eksis dalam penjelajahan luar angkasa tetap tinggi. Hal itu pula yang ditegaskan Presiden Rusia Valdimir Putin berulang kali di tengah pengucilan Barat terhadap Rusia akibat perang di Ukraina. Ambisi itu untuk membuktikan bahwa di tengah tekanan politik dan ekonomi yang dihadapi, Rusia tetap patut diperhitungkan dalam berbagai program eksplorasi antariksa.
Berbeda dengan era perang dingin yang membuat eksplorasi luar angkasa hanya didominasi oleh AS dan Uni Soviet, saat ini muncul kekuatan-kekuatan baru dengan capaian yang mengagumkan. Dengan topangan dana yang besar, kini China menjadi pesaing utama AS di luar angkasa. India pun dengan berbagai program antariksa juga menghasilkan lompatan-lompatan teknologi yang mencengangkan.
Kini, waktu yang akan membuktikan apakah kegagalan Luna-25 akan menunda misi-misi selanjutnya atau rencana Rusia untuk mendaratkan antariksawan atau kosmonotnya untuk pertama kali di Bulan pada tahun 2029 berjalan sesuai target. Jika sukses, Rusia bisa menjadi kekuatan yang mengimbangi kedigdayaan AS dan China. Namun, jika Rusia gagal bangkit, kejayaan teknologi luar angkasa Rusia bisa hanya menjadi cerita.