Rusia meluncurkan wahana antariksa ke Bulan, Jumat (11/8/2023). Itu penegasan, betapa pun ruwet urusan negara, visi dasar jangan ditinggalkan.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Dengan menggunakan roket Soyuz 2.1b, wahana angkasa Luna-25 meluncur dari Kosmodrom Vostochny, 180 km di utara Blagoveschensk, Amur, Rusia (Kompas, 12/8/2023). Sebagaimana wahana India Chandrayaan-3, wahana Rusia juga akan didaratkan di kutub selatan Bulan, yang dipercayai memiliki cadangan air berbentuk es.
Badan Kerja Sama Ruang Angkasa Rusia Roscosmos menargetkan Luna-25 mendarat di kutub selatan Bulan pada 21 Agustus 2023. Selanjutnya, Luna-25 yang seukuran mobil mini seberat 1,8 ton akan menjalankan misi selama setahun.
Meski kita terus terkenang dengan keberhasilan proyek Apollo Amerika, dan juga misi Luna Rusia sebelumnya (terakhir 1976), misi ke Bulan belum bisa dikatakan ”akan selalu berhasil”. Sebelum ini ada upaya Jepang tahun lalu, tetapi gagal. Tahun 2019 Israel juga mengirim misi yang sama, tetapi juga gagal, demikian juga India pada 2019.
Disadari, bahwa selain mahal biayanya, program angkasa membutuhkan teknologi tinggi. Pertama, tersedianya roket peluncur andal. Kedua, penguasaan navigasi angkasa yang memerlukan komunikasi canggih. Berikutnya tentu penguasaan pendaratan wahana penjelajah di Bulan. Komunikasi ke satu-satunya satelit alam Bumi yang berjarak sekitar 385.000 kilometer dari Bumi, menjadi tantangan tersendiri.
Ringkasnya, semua membutuhkan biaya besar, dan sumber daya manusia piawai yang menguasai teknologi peroketan, serta telekomunikasi mumpuni. Hal ini oleh mayoritas negara, khususnya negara berkembang, tidak atau belum menjadi prioritas, mengingat masalah sosial-ekonomi masih terus berkelanjutan tak kunjung teratasi.
Namun, bagi sejumlah negara, penguasaan teknologi antariksa menjadi keniscayaan. Pertama, teknologi peroketannya simbolik menunjukkan kemampuan rudal balistik jarak jauh, bisa pada level interkontinental. Kedua, kemampuan ini juga bisa dipakai untuk peluncuran satelit dengan berbagai macam penggunaan. Ketiga, keberhasilan di antariksa akan memberi rasa kebanggaan nasional dan membuat negara disegani.
Dalam konteks geopolitik, sukses antariksa juga akan memberi bobot politik. Rusia meluncurkan wahana Bulan ketika perang sebagai salah satu bukti, ia tidak kalah dengan negara-negara Barat. Selain memperlihatkan ketinggian kemampuan teknologi, misi Luna juga bisa untuk memberi jaminan akses Rusia di permukaan Bulan.
Sebagai bangsa besar, RI sebenarnya juga harus memiliki visi antariksa. Namun, kita prihatin, bahwa kini tidak lagi terdengar lembaga penelitian antariksa BRIN (dulu LAPAN), punya kesibukan peluncuran roket lagi di Pameungpeuk, Garut selatan.
Program astronomi dan antariksa Indonesia bisa dikatakan mati. Padahal, tidak kurang Pendiri Bangsa Ir Sukarno pernah mengatakan, bahwa kejayaan RI akan terjaga jika kita menguasai teknologi penerbangan-antariksa dan maritim.
Dewasa ini, lebih-lebih di tahun politik, nyaris tiada politisi yang mewacanakan visi masa depan RI berjaya di ruang angkasa. Kadang muncul perasaan, bahwa boleh jadi Indonesia memang tak ditakdirkan untuk menjadi bangsa berkebudayaan tinggi, sebaliknya cukup begini-begini saja