Kampanye Pemilu di Lembaga Pendidikan Disikapi Beragam
Masih dimungkinkannya kampanye pemilihan umum di lembaga pendidikan menuai pendapat beragam. Di jenjang sekolah, aturan ini dinilai tidak cocok, tapi di kampus justru jadi kesempatan untuk adu gagasan.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masih dimungkinkannya lembaga pendidikan sebagai tempat kampanye pemilihan umum, meski dengan sejumlah persyaratan, dinilai rawan disalahgunakan. Persekolahan dan rumah ibadah harus steril dari aktivitas politik praktis.
Seperti diberitakan, Mahkamah Konstitusi (MK) mengubah norma terkait yang ada pada Pasal 280 Ayat (1) Huruf h Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal tersebut melarang penggunaan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan. Namun, di bagian penjelasan pasal yang sama, ada pengecualian yang berbunyi, ”fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat digunakan jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye pemilu atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan”. Diterangkan pula, yang dimaksud dengan tempat pendidikan adalah gedung dan/halaman sekolah dan/atau perguruan tinggi.
Putusan MK melarang sepenuhnya tempat ibadah dipakai untuk kegiatan kampanye. Pelarangan ini dimaksudkan untuk mengurangi dampak negatif yang potensial terjadi, apalagi masyarakat mudah terprovokasi dan bereaksi terhadap isu berkaitan dengan politik identitas, etnis, dan agama. Dengan demikian, tidak ada perubahan untuk fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan.
Ketua Departemen Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Sumardiansyah Perdana Kusuma, di Jakarta, mengatakan, di persekolahan pendidikan politik sebenarnya sudah terintegrasi lewat Kurikulum Nasional yang direkonstruksi sedemikian rupa, seperti dalam pembelajaran Pancasila dan Kewarganegaraan, Sejarah, Ilmu Pengetahuan Sosial, maupun berbagai praktik di sekolah seperti memilih Ketua OSIS dan Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila dengan tema Suara Demokrasi.
”Tidak perlu sampai membawa para politisi untuk berkampanye di area sekolah dengan dalih mengenalkan pendidikan politik kepada anak-anak. Kami menyarankan perlu dibuatkan aturan teknis dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) atau Badan Pengawasan Pemilihan Umum (Bawaslu) yang mengatur secara lebih jelas, rinci, dan tegas mengenai karakteristik pendidikan di jenjang mana yang tepat digunakan sebagai arena kampanye,” ujar Sumardiansyah.
Sumardiansyah menilai, lembaga pendidikan TK, SD, SMP, serta SMA/SMK Kelas X dan XI kurang tepat kalau dijadikan tempat kampanye. ”Di jenjang SMA/SMK, khususnya di Kelas XII, masih dimungkinkan dengan berbagai pertimbangan, semisal tahapan berpikir anak yang sudah mulai kompleks, berada pada usia produktif pemilih pemula (17 tahun) dan secara empiris mulai bersentuhan langsung dengan masyarakat,” kata Sumardiansyah.
Adapun untuk perguruan tinggi, kata Sumardiansyah, justru baik. Kampus menjadi arena kampanye berupa debat publik untuk menguji kesiapan dan agar terjadi pertukaran gagasan di antara para politisi.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek Nizam mengatakan, keputusan MK No.65/PUU-XXI/2023 sedang dipelajari dan didalami tim Kemendikbudristek. ”Dan (sedang) dikoordinasikan juga dengan pihak-pihak terkait,” kata Nizam.
Berikan independensi
Sumardiansyah berharap kepala sekolah dan guru selalu diberi independensi dan dilindungi hak-haknya sehingga terhindar dari relasi kuasa atau politik kekuasaan yang membuat mereka tidak berdaya menolak keinginan dari kaum elit penguasa di daerah.
Secara terpisah, Kepala Bidang Advokasi Guru Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Iman Zanatul Haeri mengkhawatirkan penggunaan fasilitas pendidikan, terutama sekolah oleh tim kampanye pemilu, dapat mengganggu proses belajar dan mengajar. Penggunaan fasilitas pendidikan, jika ditafsirkan sebagai penggunaan lahan dan bangunan sekolah dan universitas, jelas akan mengganggu pembelajaran.
Menurut Iman, pernyataan ”sepanjang mendapatkan izin dari penanggung jawab tempat”, bermasalah. ”Contoh, penggunaan gedung sekolah untuk kampanye pemilu. Kepala sekolah akan sulit menolak, apalagi diperintahkan secara struktural dari pemda dan dinas pendidikan. Apalagi, jika pimpinan struktural di sekolah atau daerah sudah punya preferensi politik tertentu,” kata Iman.
P2G mengkhawatirkan penggunaan fasilitas pendidikan untuk tim kampanye pemilu ini akan membahayakan kepentingan siswa, guru, dan orangtua. Hal ini akan menjadi beban baru bagi siswa, guru, dan orangtua dalam praktik pembelajaran di sekolah. Kegiatan sekolah akan bertambah seperti sosialisasi pemilu atau sosialisasi kandidat dan pastinya akan menjadi beban psikologi bagi anak termasuk guru.
Penggunaan fasilitas pendidikan, jika ditafsirkan sebagai penggunaan lahan dan bangunan sekolah dan universitas, jelas akan mengganggu pembelajaran.
”Bayangkan ada pemilu dan pilkada yang akan dihadapi. Sekolah akan sibuk menjadi arena pertarungan politik praktis. Sekolah, guru, siswa, dan orangtua murid akan membawa politik partisan ke ruang ruang belajar. Ini bukan pendidikan politik melainkan mobilisasi politik yang akan berdampak buruk,” ujar Iman.
Kepala Bidang Penelitian dan Pengembangan Pendidikan P2G Feriansyah mengatakan, di lingkungan pendidikan yang dibutuhkan adalah edukasi politik. Menurutnya, pendidikan politik itu bagus, tetapi bukan malah menggunakan fasilitas pendidikan hanya pada saat pemilu saja. Apalagi, yang perlu ditekankan dalam edukasi politik adalah netralitas aparatur sipil negara (ASN) dalam pemilu dan kampanye.
”Misal, keterkaitannya dengan netralitas ASN. Potensi pejabat atau atasan memobilisasi ASN pada kandidat atau partai tertentu, dan kalau memang terpaksa menggunakan sarana prasarana sekolah dan lembaga pendidikan, harus diperhatikan transparansi dan akuntabilitasnya,” tambahnya.
Feriyansyah menegaskan, pendidikan politik jangan diartikan dengan sekolah dan madrasah menjadi ajang kampanye politik praktis. ”Pendidikan politik di sekolah itu harus, tapi kampanye kandidat dan partai jangan di sekolah,” ujar Feriyansyah.
Dukung pembelajaran
Pandangan berbeda justru disampaikan Ketua Dewan Pimpinan Daerah Persatuan Guru Seluruh Indonesia Kabupaten Demak Noor Salim. Menurut dia, masih diperbolehkannya fasilitas pemerintah dan pendidikan untuk sosialisasi politik atau kampanye tanpa membawa atribut partai, adalah tepat dan sesuai kondisi saat ini dengan diberlakukannya kurikulum Merdeka Belajar.
Namun, untuk pelaksanaannya perlu aturan dari KPU yang lebih jelas atas pelaksanaan dari keputusan MK tersebut. Jika di jenjang SMA/MA/SMK, aturan itu tepat karena mereka sebagian besar adalah pemilih pemula yang harus paham tentang tujuan berpolitik sebelum menentukan pilihannya. ”Sosialisasi ke sekolah juga bisa digunakan untuk pendidikan politik tentang bahaya politik uang sehingga nantinya bisa meminimalkan praktik tidak adil selama proses pemilu,” kata Salim.
Pelaksana Tugas Kepala Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat Kemendikbudristek Anang Ristanto mengatakan, saat ini Kemendikbudristek tengah mempelajari keputusan MK tersebut. ”Kami akan berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait soal putusan MK terkait penggunaan tempat pendidikan,” ujar Anang.