MK Larang Penggunaan Tempat Ibadah sebagai Ajang Kampanye
Mahkamah Konstitusi melarang sepenuhnya tempat ibadah dipakai untuk kegiatan kampanye. MK juga mengubah norma terkait yang ada pada Pasal 280 Ayat (1) Huruf h Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi melarang sepenuhnya tempat ibadah dipakai untuk kegiatan kampanye. Pelarangan ini dimaksudkan untuk mengurangi dampak negatif yang potensial terjadi, apalagi masyarakat mudah terprovokasi dan bereaksi terhadap isu berkaitan dengan politik identitas, etnis, dan agama.
MK juga mengubah norma terkait yang ada pada Pasal 280 Ayat (1) Huruf h Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Awalnya, pasal tersebut hanya melarang penggunaan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan. Namun, di bagian penjelasan pasal yang sama, ada pengecualian yang berbunyi, ”fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat digunakan jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye pemilu atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan”. Diterangkan pula, yang dimaksud dengan tempat pendidikan adalah gedung dan/halaman sekolah dan/atau perguruan tinggi.
Dengan adanya putusan MK yang dibacakan pada Selasa (15/8/202), penjelasan Pasal 280 Ayat (1) Huruf h UU Pemilu tersebut dihapus karena bertentangan dengan konstitusi. MK membetulkan bunyi huruf h pasal yang sama menjadi ”menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan, kecuali untuk fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu”.
MK mengabulkan permohonan yang diajukan oleh Handrey Mantiri, seorang karyawan swasta, dan Ong Yenny, anggota DPRD DKI Jakarta. Sidang pembacaan putusan dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman.
MK membetulkan bunyi huruf h pasal yang sama menjadi ’menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan, kecuali untuk fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu’.
Dalam pertimbangannya, MK membenarkan adanya pembatasan-pembatasan penyelenggaraan kampanye di dalam UU Pemilu demi untuk mengurangi potensi negatif yang dapat ditimbulkannya. Larangan tersebut memiliki landasan rasionalitas yang kuat, yaitu guna menjaga integritas, transparansi, dan keadilan dalam proses politik. Sebaliknya, kampanye tanpa pembatasan berpotensi menimbulkan penyebaran informasi palsu, fitnah, atau manipulasi dalam upaya memengaruhi pemilih.
Dalam konteks peserta pemilu, pembatasan kampanye dapat membantu mempertahankan kesetaraan (equality) dalam pemilu sehingga semua kandidat memiliki peluang yang setara untuk meraih dukungan. Terkait pembatasan kampanye berdasarkan lokasi, MK menilai bahwa hal tersebut didasarkan pada prinsip penting untuk menjaga netralitas dan integritas proses pemilu, mencegah gangguan terhadap aktivitaspublik di tempat tertentu, sehingga mampu mempertahankan prinsip keseimbangan. Penting dijaga pada tempat-tempat publik tertentu netral dari anasir-anasir politik praktis.
Tempat ibadah memiliki makna dan nilai spiritual yang tinggi bagi setiap umat beragama. Menggunakan tempat ibadah sebagai tempat kampanye berpotensi memicu emosi dan kontroversi serta merusak nilai-nilai agama.
”Tempat ibadah memiliki makna dan nilai spiritual yang tinggi bagi setiap umat beragama. Menggunakan tempat ibadah sebagai tempat kampanye berpotensi memicu emosi dan kontroversi serta merusak nilai-nilai agama,” tegas hakim konstitusi Saldi Isra saat membacakan pertimbangan.
Selain itu, MK juga mempertimbangkan situasi dan kondisi masyarakat yang kian mudah terprovokasi dan cepat bereaksi pada isu-isu yang berkaitan dengan politik identitas, etnis, dan agama. Hal itu dilakukan tanpa merujuk dan menilai fakta secara obyektif sehingga berpotensi memperdalam polarisasi politik dan memperlemah kohesi sosial.
Dalam pertimbangannya, larangan sepenuhnya penggunaan tempat ibadah sebagai tempat kegiatan kampanye tidak berarti MK ingin memisahkan antara agama dan institusi negara. Namun, ini lebih pada proses pembedaan fungsi antara institusi keagamaan dan ranah di luar agama, khususnya masalah yang memiliki nilai politik praktis yang sangat tinggi.
”Larangan untuk melakukan kegiatan kampanye pemilu di tempat ibadah menjadi salah satu upaya untuk mengarahkan Masyarakat menuju kondisi kehidupan politik yang ideal sesuai dengan nilai ketuhanan berdasarkan Pancasila di tengah kuatnya arus informasi dan perkembangan teknologi secara global,” ujar Saldi Isra.