Waspada Polusi Udara, Belum Saatnya Melepas Masker
Masyarakat kini diminta lagi untuk kembali menggunakan masker, terutama ketika beraktivitas di luar ruangan. Bukan untuk mencegah penularan Covid-19, tetapi untuk melindungi dari pajanan polusi udara.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Belum genap satu tahun masyarakat dibebaskan untuk melepas masker setelah pandemi Covid-19 berakhir, imbauan untuk menggunakan masker kembali disampaikan. Bukan karena Covid-19 yang kembali merebak, melainkan karena kondisi polusi udara yang sangat mengkhawatirkan.
Dalam beberapa waktu terakhir, masalah polusi udara semakin mencemaskan. Indeks kualitas udara di sejumlah wilayah dilaporkan dalam kategori tidak sehat, yakni pada indeks lebih dari 150. Daerah yang sempat dilaporkan memiliki kualitas udara yang buruk, di antaranya, Jakarta, Tangerang Selatan (Banten), Terentang (Kalimantan Barat), Mempawah (Kalimantan Barat), Serang (Banten), Banjarbaru (Kalimantan Selatan), dan Palembang (Sumatera Selatan). Bahkan, Jakarta sempat dilaporkan sebagai kota dengan kualitas udara terburuk di dunia menurut IQAir.
Polusi udara bisa bersumber dari banyak hal, seperti kebakaran hutan dan erupsi gunung berapi, gas buang kendaraan, debu di jalan raya, pembakaran bahan bakar di industri, serta pembakaran biomassa dan asap rokok. Penyebab polusi udara di setiap wilayah pun bisa berbeda-beda. Sumber polusi pun bisa berbeda tergantung musim yang terjadi.
Merujuk pada hasil kajian Source Apportionment pada 2020, sumber utama polusi di DKI Jakarta bisa berbeda di musim hujan dan di musim kemarau. Namun, baik di musim hujan maupun musim kemarau, asap knalpot kendaraan tetap menjadi sumber utama tertinggi dari polusi di DKI Jakarta, yakni sekitar 32 persen sampai 57 persen dari semua sumber polusi. Sumber lainnya bisa berasal dari pembakaran batubara, pembakaran terbuka, dan aktivitas konstruksi.
Staf pengajar Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI)-Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Persahabatan, Feni Fitriani Taufik, mengatakan, polutan di udara bisa berbentuk gas dan partikel. Umumnya, polutan yang ada di udara, antara lain, sulfur dioksida (SO2), karbon monoksida (CO), nitrogen oksida (NO), partikulat 10 (PM10) dan partikulat 2,5 (PM 2,5).
Hasil kajian inventarisasi emisi dari dinas lingkungan hidup DKI Jakarta pada 2020 menyebutkan, sumber dari polutan SO2 paling besar disebabkan oleh aktivitas industri manufaktur, sedangkan sumber dari polutan NO, CO, PM10, dan PM2.5 mayoritas disebabkan dari transportasi.
”Paparan polusi udara bisa menyebabkan berbagai gangguan kesehatan. Tidak hanya menyebabkan penurunan fungsi paru, polusi udara juga bisa menyebabkan kunjungan ke layanan emergency makin meningkat. Angka rawat inap juga makin meningkat, bahkan berakibat dengan kematian,” kata Feni dalam konferensi pers yang diadakan oleh Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) di Jakarta, Jumat (18/8/2023).
Efek kesehatan
Dalam jangka pendek, pajanan polusi udara bisa menyebabkan mata merah, hidung berair bersin, peradangan, sakit tenggorokan, batuk, infeksi saluran napas atas (ISPA), meningkatkan serangan asma, meningkatkan serangan jantung, dan berisiko menimbulkan keracunan gas toksik. Adapun efek jangka panjang pajanan polusi bisa menimbulkan penurunan fungsi paru, reaksi alergi, risiko asma, risiko penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), risiko penyakit jantung dan pembuluh darah, serta risiko kanker.
Secara terpisah, Kepala Divisi Respirologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-RS Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM) Darmawan B Setyanto menyampaikan, anak merupakan salah satu kelompok rentan dari dampak pajanan polusi udara. Hampir 600.000 anak meninggal setiap tahun disebabkan oleh penyakit yang terkait dengan polusi udara.
Tidak hanya menyebabkan penurunan fungsi paru, polusi udara bisa menyebabkan kunjungan ke layanan emergency makin meningkat. Angka rawat inap juga makin meningkat, bahkan berakibat dengan kematian.
Ia menuturkan, selain penyakit terkait pernapasan, polusi udara dapat pula menyebabkan gangguan mental, gangguan gerak motorik kasar dan halus, serta gangguan tingkah laku pada anak. Dampak jangka panjang, jika anak terlalu banyak terpajan berbagai polutan udara, pertumbuhan dan perkembangan anak di masa depan bisa terganggu.
”Semakin muda usia anak terpajan polusi, dampak negatif kerusakan yang bisa diakibatkan dari pajanan polusi akan semakin besar. Anak lebih rentan terhadap polusi udara karena laju napas anak lebih besar sehingga udara yang dihirup lebih banyak, begitu pula dengan polutan yang terhirup,” tutur Darmawan yang juga anggota Unit Kerja Koordinasi (UKK) Respirologi Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Penggunaan masker
Feni menyampaikan, penggunaan masker bisa menjadi cara untuk mencegah pajanan polusi udara yang masuk ke dalam tubuh. Dalam riset yang dilakukan oleh William Mueller dkk terkait efektivitas penggunaan masker terhadap pajanan debu akibat letusan gunung berapi, masker N95 memiliki tingkat efektivitas yang paling tinggi untuk menyaring partikel polusi. Meski begitu, masker medis juga memiliki tingkat efisiensi filtrasi yang cukup tinggi.
Itu sebabnya, penggunaan masker sangat dianjurkan bagi masyarakat yang tinggal di lingkungan dengan tingkat kualitas udara yang buruk. Setidaknya, masker yang digunakan adalah masker medis. Penggunaan masker kain tidak dianjurkan karena tingkat filtrasi yang rendah.
Anggota Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Nuryunita Nainggolan, menambahkan, masyarakat pun perlu memperhatikan cara penggunaan masker yang benar dan tepat. Penggunaan masker yang tidak benar bisa mengurangi efektivitas proteksi untuk menyaring partikel berbahaya. Masker bisa digunakan jika terpaksa harus beraktivitas di luar ruangan. Namun, sebaiknya hindari beraktivitas di luar ruangan jika kualitas udara sedang tidak sehat dengan indeks kualitas udara lebih dari 150.
Cara lain yang bisa dilakukan untuk mengurangi pajanan polusi udara, antara lain, menggunakan penyejuk udara (AC) selama berkendara. Pastikan pula mode pada AC dengan mode resirkulasi (recirculate). Akan tetapi, penggunaan kendaraan pribadi diharapkan bisa dikurangi. Sebab, kendaraan pribadi termasuk sebagai sumber penghasil polusi. Penggunaan moda transportasi massal lebih baik untuk mengurangi sumber polusi udara.
”Kenali pula gejala-gejala atau keluhan yang timbul sebagai dampak kesehatan akibat polusi udara. Pada orang dengan penyakit sebelumnya seperti penyakit jantung, asma, PPOK, dan penyakit paru lain harus bisa mengenali tanda terjadinya perburukan agar penanganan awal bisa segera dilakukan,” kata Nuryunita.
Ditemui sebelumnya, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin pada Selasa (15/8/2023) menyampaikan, Kementerian Kesehatan telah mempersiapkan upaya deteksi penyakit yang berkaitan dengan polusi udara yang lebih kuat di fasilitas pelayanan kesehatan. Setidaknya ada lima penyakit yang dinilai terkait dengan polusi udara, yakni asma, tuberkulosis, kanker paru, dan penyakit paru obstruktif kronik.
”Di setiap puskesmas kita siapkan sanitarian. Kalau (kasus) tinggi, kita edukasi masyarakat dengan bekerja sama dengan lembaga sosial masyarakat, dan kita siapkan juga dokter dan alat spirometri (alat tes untuk mengukur fungsi paru) di puskesmas,” ujarnya.