Kualitas Udara Buruk, Aktivitas Fisik di Luar Ruang Perlu Dibatasi
Kualitas udara yang buruk di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya perlu menjadi perhatian masyarakat. Paparan polusi udara bisa memicu terjadinya berbagai penyakit pada saluran pernapasan.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Beberapa hari terakhir, tingkat kualitas udara di sekitar DKI Jakarta menunjukkan angka yang buruk. Kondisi ini perlu diwaspadai oleh masyarakat sebagai pemicu terjadinya gangguan saluran pernapasan. Untuk itu, aktivitas di luar ruangan perlu dibatasi.
Mengutip data dari IQAir pada 31 Mei 2023, indeks kualitas udara di Jakarta mencapai 156. Indeks tersebut menempati peringkat tertinggi ketiga dari seluruh kota di dunia setelah Dhaka, Bangladesh; dan Kuwait. Cemaran konsentrasi PM 2,5 di Jakarta pun tercatat 65 mikrogram per meter kubik (μgram/m3) atau 13 kali lebih tinggi dari ambang batas aman yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Direktur Pascasarjana Universitas Yarsi, yang juga Ketua Majelis Kehormatan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Tjandra Yoga Aditama, di Jakarta, Selasa (30/5/2023), mengatakan, paparan dari polusi udara bisa berdampak buruk bagi kesehatan masyarakat. Dampak polusi udara bisa menyebabkan berbagai penyakit infeksi akut seperti ISPA (infeksi saluran pernapasan akut) dan bronkitis, perburukan pada penyakit kronis, serta menyebabkan penyakit paru kronis.
”Sehubungan dengan sedang tingginya kadar polutan di udara, sedapat mungkin masyarakat membatasi aktivitas fisik berat di daerah dengan polusi udara yang tinggi. Masker juga bisa membantu mencegah polutan udara masuk ke paru,” katanya.
Tjandra menambahkan, masyarakat yang memiliki penyakit kronis pernapasan juga diimbau untuk tetap mengonsumsi obat sesuai dengan aturan. Polusi udara dapat memicu terjadinya perburukan bagi seseorang dengan penyakit kronis terkait pernapasan. Untuk itu, apabila seseorang dengan penyakit tersebut mengalami perburukan atau keluhan tambahan seperti asma, sebaiknya segera konsultasi ke petugas kesehatan untuk mengatasi perburukan tersebut.
Dampak polusi udara bisa menyebabkan berbagai penyakit infeksi akut seperti ISPA (infeksi saluran pernapasan akut) dan bronkitis, perburukan pada penyakit kronis, serta menyebabkan penyakit paru kronis.
”Dampak polusi udara pada seorang yang memiliki asma bisa memicu terjadinya serangan asma kambuh. Begitu juga dengan pasien PPOK (penyakit paru obstruktif kronik) juga akan lebih mungkin mengalami eksaserbasi (gejala lanjutan PPOK) akut,” ujar Tjandra.
Secara terpisah, anggota Kelompok Kerja Asma dan PPOK PDPI, Triya Damayanti, mengatakan, dampak polusi udara sebagai penyebab PPOK tidak terjadi secara langsung. Dampak yang terjadi biasanya muncul akibat paparan dalam waktu lama.
Ia pun menyarankan agar masyarakat bisa memodifikasi perilaku ketika beraktivitas di lingkungan dengan paparan polusi yang tinggi. Itu bisa dilakukan dengan menggunakan masker saat berkendara di jalanan yang terpajan polusi langsung.
Dalam siaran pers yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan pada 4 April 2023, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan, pemerintah terus mendorong upaya promotif dan preventif untuk mencegah dampak dari polusi udara. Polusi udara menjadi salah satu faktor pemicu gangguan pada fungsi paru. Setidaknya 15-30 persen penyakit paru disebabkan oleh polusi udara.
Data Kementerian Kesehatan menunjukkan, faktor risiko polusi udara terhadap penyakit respirasi atau penyakit pada saluran pernapasan cukup tinggi. Risiko terjadinya PPOK akibat polusi udara mencapai 36,6 persen. Selain itu, risiko pneumonia mencapai 32 persen, asma 27,95 persen, kanker paru 12,5 persen, dan tuberkulosis sebesar 12,2 persen.
”Karena (polusi udara) ini merupakan permasalahan lingkungan dan kita ada di dalamnya, maka ini harus diatasi bersama-sama. Kita harap anak kita tetap dapat menghirup udara segar dan sehat serta anak-anak bisa tumbuh dan berkembang secara optimal,” kata Budi.