Polusi Udara Berdampak pada Kesehatan, Bahkan Picu Kematian
Selain berdampak pada kesehatan, polusi udara juga menimbulkan kematian hingga masalah ekonomi, Clean Air Catalyst mendorong pemerintah membuat kebijakan mencegah polusi udara dan berkolaborasi dengan kota lain.
Polusi udara menjadi masalah bersama yang mengancam kesehatan bahkan menjadi pemicu kematian, selain juga masalah perekonomian. Indonesia bersama negara-negara lainnya di kawasan regional dan global harus bersama-sama mencari solusi terbaik mengatasi polusi udara ini.
Demikian terungkap dalam bincang-bincang bertema ”Hari Udara Bersih Dunia: Menyongsong Langit Biru Jakarta”, yang dilaksanakan oleh Clean Air Catalyst, konsorsium global yang bertujuan untuk merancang solusi yang sesuai dan berbasis data untuk masalah-masalah polusi udara, secara daring dari Bangkok, Thailand, Kamis (8/9/2022).
Acara itu merupakan rangkaian acara perayaan The International Day of Clean Air for Blue Skies, atau Hari Udara Bersih Dunia Menyongsong Langit Biru ketiga, yang jatuh pada 7 September 2022. The International Day of Clean Air for Blue Skies merupakan tindak lanjut dari ajakan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terhadap negara-negara dan pihak terkait lainnya untuk mengevaluasi dan meningkatkan upaya mencapai perbaikan kualitas udara secara global.
Baca juga: Perempuan dan Anak Rentan terhadap Polusi Udara Kota
Hadir dalam bincang-bincang daring itu adalah Fadhli Zakiy, Project Manager for Air Quality and Cities World Resources Institute (WRI) Indonesia. Sementara Muhammad Shidiq, Air Quality Lead WRI Indonesia, yang juga memimpin implementasi Clean Air Catalyst di Jakarta, memberikan catatan tertulis.
Shidiq melalui keterangan tertulis menyebutkan, Studi Globcon Report di tahun 2020 menunjukkan kanker paru-paru adalah penyebab terbesar kematian yang terkait dengan kanker pada penduduk laki-laki dan perempuan di ASEAN, yaitu sejumlah 109.520. Di sisi lain, polusi udara diperkirakan memicu penurunan 1-2,5 persen produk domestik bruto (gross domestic product/GDP) di sejumlah negara Asia pada tahun 2060, berdasarkan OECD Report.
Jakarta sebagai kota yang memberikan kontribusi paling tinggi terhadap ekonomi nasional, data terakhir 2021 Jakarta menyumbang 17,19 persen terhadap ekonomi nasional, rentan terhadap polusi udara. Situasi ini mengancam 10,6 juta jiwa warganya.
Kendaraan bermotor berkontribusi 75 persen pada pencemaran udara. Kami berharap masyarakat beralih ke transportasi publik yang saat ini sudah lebih baik dan terintegrasi. Dengan begitu bisa mengurangi sumber pencemaran udara.
Dari diskusi yang juga digelar Clean Air Catalyst pada April 2022, polusi udara juga berdampak pada kesehatan perempuan dan anak. Pada kelompok perempuan, paparan polusi udara pada ibu hamil dapat memengaruhi kondisi lahir bayi.
Hasil penelitian Global Burden of Disease Study 2019 menemukan bahwa paparan polusi udara dalam jangka waktu yang panjang dapat menyebabkan kondisi lahir bayi yang tidak baik. Di antaranya berat badan lahir rendah dan kelahiran prematur.
Beberapa penelitian bahkan menemukan bahwa ada korelasi antara paparan polusi udara jangka panjang dengan kematian bayi dan stunting.
Shidiq melanjutkan, dilihat dari sumber pencemar bergerak, Jakarta dikelilingi banyak kota satelit di mana industri besar berlokasi, yaitu Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.
Di wilayah itu, terdapat pabrik-pabrik dan kepentingan manufaktur. Hal itu yang membuat orang-orang melakukan perjalanan pergi-pulang.
Baca juga: Kualitas Udara Jakarta Tidak Sehat
Lalu dari sumber pencemar nonmobile atau tidak bergerak, seperti pembangkit listrik yang kebanyakan berbasis batubara, juga terletak di kota-kota satelit yang mengelilingi Jakarta itu. Sumber pencemar nonmobile ini menghasilkan polutan udara berbahaya yang berdampak pada Jakarta.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Asep Kuswanto dalam tulisan di Kompas, 24 Juni 2022, juga menyebutkan, sumber pencemar udara di Jakarta berasal dari kendaraan bermotor, kegiatan konstruksi, industri, dan sebagainya.
”Kendaraan bermotor berkontribusi 75 persen pada pencemaran udara. Kami berharap masyarakat beralih ke transportasi publik yang saat ini sudah lebih baik dan terintegrasi. Dengan begitu bisa mengurangi sumber pencemaran udara,” katanya.
Dari kajian Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) yang termuat di Kompas, Juni 2022, juga terlihat adanya penurunan kualitas udara Jakarta. Itu terlihat dari data pantauan BMKG pada 15-24 Juni 2022.
Pada periode itu, konsentrasi PM 2,5 terpantau meningkat hingga mencapai puncak pada level 148 mikrogram per meter kubik atau µg/m3, yang berarti masuk kategori tidak sehat. Pemicunya ialah kendaraan bermotor, industri, arah angin, dan kelembaban.
Pelaksana Tugas Deputi Bidang Klimatologi BMKG Urip Haryoko dalam keterangannya tentang perkembangan terakhir kondisi kualitas udara di Jakarta dan sekitarnya, Jumat (24/6), melaporkan adanya penurunan kualitas udara di Jakarta. Tercatat sejak 15 Juni konsentrasi PM 2,5 meningkat hingga mencapai puncak pada level 148 µg/m3.
Merujuk Peraturan BMKG Nomor 2 Tahun 2022 tentang Penyediaan dan Penyebaran Informasi Kualitas Udara, pewarnaan dan rentang konsentrasi per jam PM 2,5, level 148 µg/m3 masuk kategori tidak sehat (66-150 µg/m3). Adapun rentang 0-15 µg/m3 dikategorikan baik, 16-65 µg/m3 sedang, 151-250 µg/m3 sangat tidak sehat, dan lebih dari 250 µg/m3 berbahaya.
Sementara itu, Peraturan Pemerintah No 22/2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengatur nilai baku mutu udara ambien PM 2,5 selama 24 jam sebesar 55 µg/m3.
Hasil pemantauan konsentrasi PM 2,5 di BMKG Kemayoran, Jakarta Pusat, menunjukkan, rata-rata konsentrasi PM 2,5 berada pada level 49,07 µg/m3 sepanjang Juni 2022. Konsentrasi PM 2,5 ini memperlihatkan pola diurnal yang berbeda antara siang dan malam.
Urip menyebutkan, konsentrasi PM 2,5 cenderung meningkat pada dini hari hingga pagi dan menurun pada siang hingga sore. Khusus pada beberapa hari terakhir ini, PM 2,5 melonjak dan tertinggi ada pada level 148 µg/m3 pada 15 Juni 2022.
Baca juga: Mencegah Susutnya Usia akibat Polusi Udara
Shidiq melanjutkan, solusi untuk mengatasi masalah kualitas udara di Jakarta bisa dilakukan dengan mendorong munculnya kebijakan-kebijakan pencegahan polusi udara. Di antaranya regulasi emisi kendaraan, ambang batas emisi pabrik, dan pengaturan wilayah permukiman-industri.
Selain itu, upaya mengatasi masalah juga dikerjakan dengan meningkatkan kesadaran semua pemangku kepentingan tentang bahaya polusi udara terhadap kesehatan anak-anak, dan mengurangi paparan polusi bagi anak-anak, baik indoor (dalam ruangan) maupun outdoor (luar ruangan).
Fadhly Zakiy, Project Manager for Air Quality and Cities, WRI Indonesia, mengungkapkan, upaya mencari solusi untuk mengatasi polusi udara tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri oleh setiap kota atau negara.
”Oleh karena itu, saat ini telah berlangsung sejumlah kolaborasi, antara lain Climate and Clean Air Coalition (CCAC), Asia Pacific Clean Air Partnership (APCAP), ASEAN Transboundary Haze Polution, dan (Acid Deposition Monitoring Network in East Asia (EANET), yang memiliki inisiatif di kawasan dalam melakukan upaya mencegah polusi udara lintas batas,” kata Zakiy.
Kolaborasi yang dilakukan Indonesia melalui Clean Air Catalyst memiliki beberapa tujuan. Di antaranya untuk melakukan integrasi keahlian teknis yang datang dari beragam negara, berbagi pengetahuan untuk menangkap pergerakan air pollutants yang bersifat lintas-batas, mentransformasi kebijakan menjadi solusi praktis, dan menggerakkan kolaborasi aktif intra-regional dan internasional untuk meningkatkan kapasitas teknis, legal, dan institusional dari negara-negara yang tergabung di dalamnya.
”Di Indonesia, terutama di Jakarta, Clean Air Catalyst berusaha memberikan kontribusi terhadap upaya pemerintah dan masyarakat dalam upaya memecahkan permasalahan kualitas udara melalui pemetaan masalah polusi udara dengan mempertimbangkan perubahan iklim, jender, dan ekuitas,” kata Shidiq.
Ada sejumlah langkah yang dikerjakan. Di antaranya dengan peletakan alat pemantauan kualitas udara di daerah dengan paparan polusi udara tinggi dan dihuni oleh populasi rentan; meluncurkan beberapa pemantauan mobile bekerja sama dengan Google Cars yang menjangkau komunitas rentan; melakukan kajian Information Ecosystem Analysis (IEA) untuk mengetahui persepsi masyarakat tentang polusi udara; dan melakukan seri workshop yang melibatkan akademisi, pemerintah, lembaga masyarakat, dan swasta, untuk memetakan permasalahan polusi udara yang berkaitan dengan perubahan iklim, jender, dan ekuitas.