Melalui Aplikasi, Warga Waspadai Polusi Udara di Jakarta
Salah satu cara melindungi diri dari penyakit pernapasan adalah mengetahui kondisi kualitas udara. Saat ini, beberapa aplikasi di gawai menyediakan informasi mengenai ini.
Oleh
Ayu Nurfaizah
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Selama 2019-2022 kondisi udara di Jakarta tujuh kali lipat lebih buruk daripada ambang batas aman Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO. Sebagian warga memilih menggunakan aplikasi pemantau kualitas udara sebagai antisipasi perlindungan diri dan menghindari wilayah dengan polusi tinggi.
Annisa Gita (24), warga Kebon Kacang, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Selasa (31/1/2023), menceritakan, ia menggunakan aplikasi pemantau kondisi udara Nafas Indonesia selama tinggal di Jakarta satu bulan ini. Menurut ia, mengunduh aplikasi sejenis ini penting untuk memantau kualitas udara karena berhubungan langsung dengan kesehatan.
”Kondisi udara di Jakarta cukup buruk, sedangkan aku punya alergi terhadap debu. Saat terpapar parah, (aku) bisa sesak napas,” kata Annisa.
Selama seminggu ini, aplikasi pemantau udara di gawai Annisa menunjukkan kondisi moderat di area tempat tinggalnya, dengan kandungan PM 2,5 sebesar 12.1-35.4 µg/m³ (mikrogram per meter kubik) atau indeks kualitas udaranya berada di kisaran 51-100. PM 2,5 merupakan polutan udara yang sangat kecil dan berbahaya, dapat menimbulkan penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) hingga kematian.
Aplikasi pemantau kondisi udara turut membantunya memutuskan bentuk perlindungan diri. Hal ini meliputi apa yang perlu dilakukan pada wilayah dengan kondisi udara tertentu meskipun ia selalu menggunakan masker ketika berada di luar ruangan.
”Ketika berada di luar ruangan, sering kali aku melepas masker karena merasa pengap. Namun, ketika aku tahu kondisi udaranya buruk, aku akan menggunakan masker lebih lama. Lagipula, kita tidak benar-benar tahu kondisi udara suatu tempat dengan kasatmata, kecuali sudah parah sampai seperti berkabut. Makanya, alat pendeteksi udara itu penting,” katanya.
Andi Aditya (23), warga Kukusan, Beji, Kota Depok, juga sering mengecek kualitas udara melalui aplikasi pemantau udara miliknya, AccuWeather. Ia juga masih menggunakan masker sebagai antisipasi pencemaran udara walaupun status pembatasan kegiatan masyarakat sudah dicabut.
”Selama bukan kebutuhan yang mendesak, aku tidak akan pergi ke luar ketika indeks kualitas udara di atas 100 atau tidak sehat,” katanya.
Data Nafas Indonesia selama 2019-2022, tren polusi udara di Jakarta tujuh kali lipat lebih buruk daripada batas aman yang ditentukan WHO, yaitu 5 µg/m³. Pada 2020 dan 2021 rata-rata kondisi PM 2,5 di Jakarta sebesar 39 µg/m³ atau tujuh hingga delapan kali lebih tinggi daripada standar WHO.
”Rata-rata polusi PM 2,5 di DKI Jakarta tahun 2022 adalah 37 µg/m³. Namun, di beberapa jaringan sensor Nafas terdapat lokasi yang rata-rata polusi PM 2,5 melebihi angka ini. Seperti mencapai 55 µg/m³ di Cibubur, Jakarta Timur; 52 µg/m³ di Cipayung, Jakarta Timur; dan 51 µg/m³ di Rempoa Permai, Jakarta Selatan,” kata Co-Founder Nafas Indonesia Piotr Jakubowski.
Di Jakarta, Nafas Indonesia memiliki 82 titik sensor udara yang tersebar di lima kota administrasi. Melalui aplikasi pemantau kondisi udara ini, para pengguna bisa melihat kondisi udara di dalam dan luar ruangan. Hal ini diharapkan mampu membantu mereka membuat keputusan terkait gaya hidup.
Tanggung jawab pemerintah
Guru Besar Bidang Ilmu Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Budi Haryanto menyebutkan, kewaspadaan masyarakat terkait polusi udara di Jakarta memengaruhi perilaku mereka. Hal ini termasuk upaya proteksi diri dan menghindari area dengan polutan yang tinggi, seperti di lalu lintas padat kendaraan.
”Cara membangun kewaspadaan terhadap polusi udara adalah dengan memberi informasi terkini kondisi udara di suatu tempat. Di Jakarta, tidak banyak alat pengukur kualitas udara yang dimiliki oleh pemerintah. Adapun sosialisasi mengenai kondisi udara yang buruk seringkali dilakukan oleh pihak swasta karena mereka memiliki data dan jumlah alat yang lebih banyak,” tutur Budi.
Saat ini, Jakarta memiliki lima stasiun pemantauan kualitas udara (SPKU) tetap yang tersebar di lima kota administrasi. Budi menilai, hasil pemantauan alat ini kurang representatif menunjukkan kondisi kualitas udara di Jakarta. Hal ini karena satu alat mencakup area 5 kilometer di sekitarnya.
”Alat pemantauan udara perlu ditambah, tidak perlu yang besar dan mahal. Sekarang sudah banyak yang ukurannya lebih kecil dan relatif lebih murah. Jadi bisa dibeli dengan jumlah banyak dan ditempatkan di mana saja,” kata Budi.
Ia mencontohkan, di Tokyo, Jepang, alat pemantauan kondisi udara dipasang dekat dengan alat pemantau lalu lintas. Alat ini memberi pertimbangan untuk menutup jalan ketika polusinya tinggi dan membuka jalan ketika kondisi sebaliknya.
”Pemerintah bertanggung jawab memberi tahu secara resmi kualitas udara yang dihirup warganya, bahkan perlu disampaikan juga dampaknya terhadap kesehatan,” ujar Budi.