Semua Terdampak Polusi Udara
Polusi merugikan kesehatan dan merusak lingkungan sekitar. Mitigasi harus segera dilakukan untuk mencegah akibat polusi udara yang lebih buruk.
Buruknya kualitas udara Jakarta selama musim kemarau akan terus berulang seiring dengan terus memanasnya suhu Bumi. Upaya mitigasi harus diambil dan dilaksanakan konsisten karena pencemaran udara tidak hanya memengaruhi kesehatan fisik, mental, dan reproduksi manusia, tetapi juga hewan, tumbuhan, dan bangunan.
Seiring datangnya musim kemarau sejak beberapa bulan lalu, polusi udara Jakarta terus memburuk. Berdasarkan pemberitaan Kompas, keluhan atas buruknya udara Jakarta itu setidaknya sudah terjadi sejak Maret 2023. Sejak saat itu, hingga pertengahan Agustus ini, platform informasi kualitas udara milik perusahaan asal Swiss IQAir beberapa kali menempatkan mutu udara harian Jakarta dalam kategori tidak sehat (merah) dan tidak sehat bagi kelompok sensitif (oranye).
Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pun, antara Mei 2023 hingga Agustus 2023, beberapa kali menunjukkan mutu udara di beberapa kota dan tempat melebihi baku mutu yang ditetapkan dan masuk kategori tidak sehat. Sistem dan standar pemantauan yang dilakukan pemerintah ini sedikit berbeda dengan metode IQAir.
Di luar perbedaan tentang cara dan hasil pengukuran udara itu, buruknya kualitas udara Jakarta yang membahayakan kesehatan itu bukan hanya kali ini terjadi. Hampir tiap musim kemarau tiba, kondisi yang sama akan berulang. Fenomena street canyon yang membuat jalan berperan sebagai lembah yang diapit gedung-gedung tinggi menjadikan udara dengan polutan tinggi terjebak di wilayah itu dan memperburuk kualitas udara.
Presiden Joko Widodo, Senin (14/8/2023), akhirnya meminta jajaran terkait mengambil langkah jangka pendek hingga panjang untuk mengatasi persoalan polusi udara Jakarta. Langkah itu meliputi, antara lain, membuat hujan buatan, percepatan penerapan aturan soal batas emisi kendaraan, pemberlakuan sistem kerja hibrida, mendorong penggunaan transportasi massal, hingga pengawasan industri dan pembangkit listrik.
Baca juga: Uang Besar di Balik Pekat Kabut Polusi Udara
Akibat polusi udara
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), 19 Desember 2022, menyebut polusi udara memicu 6,7 juta kematian prematur setiap tahun, dengan 4,2 juta kematian atau 63 persen di antaranya dipicu oleh polusi udara di luar ruangan. Sebanyak 89 persen kematian akibat polusi luar ruangan itu terjadi di negara berpenghasilan menengah dan rendah, terutama di kawasan Asia dan barat Pasifik.
Dari jumlah kematian akibat polusi udara luar ruang itu, 37 persen di antaranya disebabkan oleh penyakit jantung iskemik dan stroke, 23 persen akibat infeksi saluran pernapasan bawah akut, 18 persen kematian dipicu penyakit paru obstruktif kronik, dan 11 persen diakibatkan oleh kanker saluran pernapasan.
Polusi udara memicu 6,7 juta kematian prematur setiap tahun, dengan 4,2 juta kematian atau 63 persen di antaranya dipicu oleh polusi udara di luar ruangan.
Selain itu, Asosiasi Psikiatri Amerika (APA), 12 April 2023, menegaskan pencemaran udara berdampak terhadap kesehatan mental. Polusi udara meningkatkan risiko gangguan kejiwaan, mulai dari depresi, skizofrenia gangguan bipolar, gangguan kepribadian, hingga keinginan bunuh diri. Paparan polutan udara juga meningkatkan risiko alzheimer dan demensia alias pikun.
Mekanisme pasti bagaimana polusi udara memicu berbagai penyakit mental itu belum pasti. Dugaannya, polutan udara memicu peradangan saraf hingga mengubah struktur dan fungsional otak. Kondisi itu memengaruhi bagian otak yang mengendalikan emosi, khususnya hipokampus, amigdala, dan korteks prefrontal hingga memicu banyak gangguan kejiwaan.
Polusi udara juga memicu gangguan kesuburan dan kesehatan reproduksi. The Guardian, 17 Februari 2021, menyebut tingginya polusi udara berkaitan dengan meningkatnya masalah bayi lahir dengan berat rendah, gangguan pertumbuhan janin atau keguguran, kelahiran prematur, hingga kematian bayi. Polutan udara yang memicu peradangan tubuh juga merusak produksi sel telur dan sel sperma hingga menurunkan kesuburan suami-istri.
Bahkan, seperti ditulis The Conversation, 10 Agustus 2023, resistensi antibiotik meningkat seiring dengan naiknya konsentrasi partikel PM 2,5, yaitu partikel berukuran 2,5 mikrometer atau setara rambut dibelah 30. Selama ini, resistensi antibiotik diketahui menyebar melalui makanan dan air yang terkontaminasi. Nyatanya, polutan PM 2,5 dapat memfasilitasi penyebaran bakteri dengan gen yang kebal terhadap antibiotik melalui udara.
Baca juga: Tak Ada Peringatan Dini, Pemerintah Tak Serius Tangani Polusi Udara
Bukan hanya manusia yang terdampak pencemaran udara, flora dan fauna pun juga harus menanggung akibatnya. Aneka satwa, terutama burung dan serangga, harus menghirup udara yang beracun hingga mengalami gangguan pernapasan sampai iritasi kulit. Polutan udara juga membuat binatang menderita sejumlah penyakit, cacat sejak lahir, sampai turunnya tingkat reproduksi mereka.
Sementara itu, Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat (EPA), 9 Maret 2021, menyebut polusi udara juga berdampak buruk pada pertumbuhan tanaman. Saat daun bersentuhan dengan polutan, seperti nitrogen oksida, maka fungsi metabolisme daun terpengaruh serta mengganggu penyerapan karbon dioksida dalam proses fotosintesis.
Polutan udara yang mengendap di tanah, seperti logam berat, akan memengaruhi fungsi akar dan mengganggu penangkapan aneka mineral dan zat hara oleh tanaman. Kondisi itu dipastikan akan mengganggu pertumbuhan tanaman hingga membuat pertumbuhan buah terganggu dan nilai ekonomi tanaman pun berkurang.
Pencemaran udara juga berdampak pada estetika dan struktural bangunan. Polutan tersebut akan memicu reaksi yang menyebabkan perubahan komposisi bahan bangunan hingga mengganggu sifat fisik dan kimia bahan bangunan.
Seperti ditulis Swati Sharma dan rekan dalam Materials Today: Proceedings, 16 Mei 2023, berbagai reaksi pada material bangunan itu bisa memengaruhi kesehatan penghuninya. Terlebih, efek street canyon juga akan membuat paparan polutan udara terhadap material gedung berlangsung makin intensif dan lama hingga bisa memicu kerusakan yang lebih besar.
Selain itu, banyak polutan di permukaan tanah tidak bisa menyebar ke tempat yang lebih tinggi, seperti ke lapisan batas atmosfer (ABL), yaitu lapisan atmosfer hingga ketinggian 2 kilometer (km) yang kondisinya sangat dipengaruhi interaksi dengan permukaan Bumi. Akibatnya, polutan yang bersifat asam akan berada di ketinggian rendah dalam waktu lama dan makin merusak bangunan.
Perlu responsif
Dampak kesehatan polusi udara memang tidak seketika mematikan. Namun, paparan buruknya kualitas udara secara berkepanjangan nyata memicu buruknya kondisi kesehatan masyarakat, menurunkan kualitas hidup, hingga meningkatkan beban ekonomi kesehatan negara. Anak, ibu hamil, dan warga senior merupakan kelompok paling rentan atas kondisi ini.
Di Jakarta, data Ikatan Dokter Anak Indonesia menunjukkan selama tingginya pencemaran udara di Jakarta beberapa bulan terakhir, kasus batuk pilek tanpa disertai demam pada anak meningkat. Kondisi ini dipicu oleh meningkatnya kasus alergi terhadap polutan udara. Karena itu, orangtua diharapkan menghindarkan anaknya dari daerah dengan tingkat polusi tinggi, menggunakan masker, hingga makan sehat, dan tidur cukup.
Baca juga: Mayoritas Sumber Emisi di Jabodetabek Berasal dari Aktivitas Transportasi Lokal
Apa yang dialami warga Jakarta saat ini sejatinya adalah apa yang dirasakan warga Sumatera dan Kalimantan pada beberapa tahun lalu akibat kebakaran hutan dan lahan. Selama berbulan-bulan, mereka menghadapi situasi jauh lebih buruk. Namun, masifnya kebakaran dan lambatnya penanganan membuat masyarakat yang tinggal menetap di wilayah tercemar terdampak paling besar.
Selama beberapa tahun terakhir, dengan kebijakan pencegahan yang ketat, sanksi tegas, dan ditopang kondisi iklim yang mendukung membuat kebakaran hutan dan lahan di Sumatera dan Kalimantan bisa ditekan secara optimal. Artinya, dengan pola kebijakan yang serupa, tingginya pencemaran udara di Jakarta seharusnya juga bisa diantisipasi dan diatasi.
Terlebih, situasi seperti ini pasti akan terjadi lagi di masa mendatang, baik akibat semakin tingginya aktivitas manusia maupun meningkatnya aktivitas ekonomi mereka yang berdampak langsung pada lingkungan hingga terus naiknya suhu akibat pemanasan global.
Meningkatnya suhu Bumi berdampak langsung pada peningkatan polutan udara karena udara hangat akan membuat udara, termasuk polutan yang dikandungnya, mudah bergerak. Kondisi itulah yang membuat buruknya kualitas udara di sejumlah kota dunia umumnya terjadi saat musim panas atau kemarau.
Polusi udara memang dipengaruhi oleh cuaca. Beberapa jenis polutan memburuk saat musim panas atau kemarau, sedangkan yang lain akan meningkat konsentrasinya saat musim dingin atau hujan. Kondisi atmosfer yang dinamis juga akan memengaruhi suhu, tekanan udara, dan kelembaban yang ujungnya akan turut memengaruhi kualitas udara.
Karena itu, sudah selayaknya pemerintah dan masyarakat di pusat dan daerah menyiapkan langkah mitigasi, dalam jangka pendek, menengah, maupun panjang untuk mengatasi pencemaran udara. Tanpa ada kejelasan aturan hukum serta upaya konsisten dan terus-menerus, paparan polutan udara itu akan makin memperburuk kualitas kesehatan dan produktivitas manusia Indonesia.
Ujungnya, masyarakat dan negara pula di masa depan yang akan menanggung beban akibat tingginya kasus-kasus kesehatan akibat pencemaran udara. Pencegahan dan penanganan polusi udara harus dilakukan dari sekarang agar kita tidak mewariskan beban masalah kepada manusia Indonesia masa depan.