Komunitas Punya Modal Sosial Kelola Dana Transisi Energi
Keterlibatan masyarakat atau komunitas lokal perlu terus disuarakan dalam program JETP. Komunitas memiliki modal sosial dan keterampilan untuk melakukan transisi energi di lingkup area terkecil.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia mencanangkan beragam mekanisme kerja sama pendanaan iklim global khususnya untuk mempercepat program transisi energi. Namun, pendanaan transisi energi ini jangan sampai terjebak untuk pengembangan pembangkit listrik skala besar dan masif. Sebaliknya, masyarakat atau komunitas lokal perlu dilibatkan untuk mengelola langsung transisi energi dengan skala yang lebih kecil.
Salah satu mekanisme kerja sama pendanaan transisi energi terbaru yang diinisiasi Indonesia ialah Kemitraan Transisi Energi Berkeadilan (Just Energy Transition Partnership/JETP). Mekanisme kerja sama ini telah disepakati oleh para pemimpin negara dalam Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Bali pada 2022 dan telah dibentuk Sekretariat Tim Kerja JETP.
Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengemukakan, upaya transisi energi melibatkan berbagai aspek, seperti peralihan pekerjaan, ekonomi, dan pendapatan. Oleh karena itu, berbagai negosiasi terkait pendanaan transisi energi khususnya JETP juga harus mengedepankan aspek komunitas, seperti masyarakat lokal atau adat.
Sudah tidak ada alasan lagi komunitas ini dikesampingkan dalam transisi energi. Keahlian masyarakat juga akan semakin terasah bila diberikan kesempatan seperti satu atau dua kali pelatihan.
”Jangan kemudian kita melihat transisi energi ini untuk mengembangkan energi padat modal seperti geotermal (panas ataupun pembangkit listrik tenaga air skala besar). Keuntungan ini justru akan mengalir ke pihak yang terlibat dalam pengembangan energi fosil,” ujarnya dalam diskusi media bertajuk ”Ke Mana Uang JETP Harus Dialirkan?”, Selasa (15/8/2023).
Menurut Bhima, pengembangan proyek transisi energi skala besar kerap tidak dirasakan manfaatnya secara signifikan oleh masyarakat lokal. Hal ini juga ditunjukkan dari program JETP di Afrika Selatan yang tidak melihat dampaknya terhadap masyarakat setelah melakukan pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara.
Sementara dari hasil kajian terbaru dari Celios, petani merupakan kelompok paling banyak menjawab tentang perlunya penutupan PLTU batubara. Akan tetapi, mereka menyepakati bahwa penutupan PLTU batubara ini juga harus diimbangi dengan energi terbarukan.
Selain itu, mayoritas kelompok petani juga menyatakan kesiapannya dalam melakukan peralihan pekerjaan atau menambah keahlian khususnya di sektor energi terbarukan. Hasil kajian ini membuktikan bahwa upaya transisi energi sangat disambut baik oleh komunitas sehingga jangan sampai ada ketidakcocokan narasi di kalangan elite.
”Yang dibutuhkan adalah biaya yang lebih murah untuk teknologi komunitas, pelatihan untuk perangkat desa dan pemuda, serta hibah yang lebih besar terutama dalam JETP. Hibah ini seharusnya dikelola langsung oleh komunitas untuk melakukan transisi di level yang sangat kecil,” ujar Bhima.
Bhima menekankan bahwa konteks keterlibatan masyarakat atau komunitas lokal perlu terus disuarakan dalam program JETP. Sebab, selama ini komunitas sudah memiliki modal sosial dan keterampilan untuk melakukan transisi energi di lingkup area yang paling kecil.
Transisi energi yang dilakukan komunitas lokal berpotensi dikembangkan selama area tersebut memiliki aliran irigasi, sungai, atau matahari. Melalui energi tersebut, komunitas bisa membangun mikrohidro atau panel surya. Pembangunan pembangkit listrik tenaga air atau matahari juga dapat dengan mudah dilakukan seiring dengan biaya instalasi panel surya ataupun teknologi mikrohidro yang akan semakin murah ke depan.
”Jadi, sudah tidak ada alasan lagi komunitas ini dikesampingkan dalam transisi energi. Keahlian masyarakat juga akan semakin terasah bila diberikan kesempatan seperti satu atau dua kali pelatihan. Selanjutnya, merekalah yang akan melakukan perawatan bila ada kerusakan pada teknologi atau alat energi terbarukan di skala komunitas,” tuturnya.
Manfaat untuk masyarakat
Pengampanye 350 Indonesia Suriadi Darmoko mengatakan, dalam implementasi JETP sangat dimungkinkan untuk melibatkan peran komunitas. Bahkan, pendanaan JETP juga berpotensi untuk diarahkan ke komunitas agar turut berkontribusi dalam pencapaian target penurunan emisi dan bauran energi terbarukan pembangkit listrik sebesar 34 persen pada tahun 2030.
”Namun, sejak kesepakatan JETP ini ditandatangani, kita tidak mendengar satu berita atau informasi dari pemerintah terkait porsi pendanaan yang akan diberikan kepada komunitas. Bahkan, Pemerintah Indonesia tidak mempromosikan hal ini,” ucapnya.
Suriadi menyebut bahwa pendanaan JETP untuk masyarakat memiliki banyak manfaat. Manfaat tersebut antara lain untuk memperkuat kemandirian energi, mentransisikan sumber listrik berbasis energi fosil, dan meningkatkan adaptasi terhadap krisis iklim.
Selain itu, pendanaan JETP untuk masyarakat ini secara tidak langsung juga akan melindungi kawasan hutan yang tersisa di Indonesia. Di sisi lain, hal ini turut memicu pengembangan ekonomi lokal dan berkontribusi langsung terhadap peningkatan bauran energi terbarukan serta pengurangan emisi di sektor ketenagalistrikan.