Asesmen Nasional bukan satu-satunya alat untuk mengukur kualitas pendidikan. Dukungan fasilitas, guru berkualitas, dan manajemen satuan pendidikan yang mumpuni juga tak kalah penting untuk meningkatkan pembelajaran.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Asesmen Nasional menjadi program evaluasi untuk memetakan mutu pendidikan yang mencakup kemampuan literasi, numerasi, karakter, dan lingkungan belajar siswa. Namun, hal ini perlu diikuti dengan sejumlah pembenahan untuk mendukung pembelajaran.
Ketua Departemen Penelitian dan Pengembangan Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) Sumardiansyah Perdana Kusuma mengatakan, secara konsep, Asesmen Nasional (AN) sudah cukup ideal dalam memetakan mutu pendidikan. AN harus ditindaklanjuti dengan berbagai upaya perbaikan agar efektif meningkatkan capaian pembelajaran.
”Efektivitas AN akan bisa dirasakan apabila temuan-temuan dalam AN diintervensi oleh pemerintah melalui pembenahan di sekolah, seperti sarana dan prasarana pendukung pembelajaran, guru-guru berkualitas, dan kultur sekolah yang berpihak pada pembelajaran anak didik,” ujarnya di Jakarta, Sabtu (12/8/2023).
Adapun sekolah dengan nilai AN yang baik perlu dipromosikan sebagai model. Dengan begitu, dapat memberikan pengimbasan atau berbagi praktik baik ke sekolah lain.
Sumardiansyah menyebutkan, hal utama yang harus dibenahi dalam AN adalah kesesuaian antara desain kurikulum nasional yang berbasis literasi dan numerasi dengan Kurikulum Operasional Satuan Pendidikan (KOSP). ”Saya melihat masih terjadi bias. Di satu sisi AN ditarget sebagai pencapaian tujuan pendidikan, tetapi di sisi lain antara desain kurikulum nasional, KOSP, pembelajaran, dan penilaian oleh guru, sampai penyelenggaraan AN oleh pemerintah belum benar-benar matching,” ucapnya.
Menurut dia, kurikulum masih dititikberatkan dengan pencapaian akademik yang bertumpu pada hasil penguasaan konten mata pelajaran. Jadi, belum benar-benar diarahkan pada praktik pembelajaran berbasis literasi, numerasi, dan karakter sebagai sebuah proses pengalaman belajar.
”Fokus utamanya adalah skill yang menopang dan mengarahkan penguasaan konten. Bukan sebatas menguasai konten yang dibuktikan dengan hasil belajar berupa angka-angka, tetapi minim penguasaan skill literasi, numerasi, dan karakter,” katanya.
Dari sisi teknis, masih banyak sekolah yang terkendala perangkat serta jaringan listrik dan internet. Hal ini seharusnya menjadi prioritas pemerintah untuk membenahinya.
Sumardiansyah menyampaikan, AN sepatutnya mempertimbangkan dimensi lain untuk diukur, salah satunya aspek kebudayaan. Sebab, kebudayaan merupakan salah satu soft power Indonesia sekaligus sebagai identitas bangsa di mata dunia.
”Kebudayaan, seperti kesenian, ritus, teknologi tradisional, dan lain-lain, adalah alat diplomasi untuk mencairkan hubungan antarnegara yang selama ini terpaku pada bidang politik dan ekonomi. Sudah saatnya dimensi kebudayaan masuk dalam salah satu indikator AN dan terintegrasi dengan kurikulum pendidikan nasional,” ujarnya.
Pengamat kebijakan pendidikan sekaligus Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Cecep Darmawan, menuturkan, pergantian ujian nasional (UN) menjadi AN sejak 2021 patut diapresiasi. Sebab, evaluasi capaian pendidikan tidak lagi hanya bergantung pada beberapa mata pelajaran.
Aspek lain
Akan tetapi, AN bukanlah satu-satunya alat untuk mengukur kualitas pendidikan. Masih terdapat berbagai aspek lain, seperti dukungan fasilitas, guru yang berkualitas, dan manajemen satuan pendidikan yang mumpuni.
”Jadi, jangan sampai hanya semangat memperbaiki instrumen AN, tetapi standar lain tidak diperhatikan,” katanya.
Dari sisi teknis, masih banyak sekolah yang terkendala perangkat serta jaringan listrik dan internet. Hal ini seharusnya menjadi prioritas pemerintah untuk membenahinya.
Oleh karena itu, pemerintah sejak awal mesti memetakan kebutuhan setiap sekolah sehingga tidak menjadi penghambat penyelenggaraan AN. Di sejumlah daerah, siswa terpaksa menumpang ke sekolah lain untuk mengikuti AN karena fasilitas di sekolah asalnya kurang memadai.
Menurut Cecep, hasil AN sangat berguna sebagai landasan dalam menyusun kebijakan pendidikan di tahun berikutnya. Hal ini menuntut inovasi guru, kepala sekolah, dan dinas pendidikan untuk berinovasi mengoptimalkan pembelajaran.
”Yang masih lemah adalah tindak lanjut. Umpan balik dari AN itu seharusnya menjadi pijakan. Kalau masalahnya sudah tergambar, tinggal menyusun strategi memperbaikinya. Apakah itu menyangkut metodologi pembelajaran atau referensi yang kurang,” ujarnya.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Iwan Syahril berharap pelaksanaan AN tahun ini lebih lancar dan lebih baik lagi sehingga bisa menjadi cermin untuk perbaikan sistem pendidikan. Berbeda dengan UN yang berfokus pada kemampuan individu siswa untuk beberapa mata pelajaran, AN lebih menekankan kompetensi literasi, numerasi, dan karakter siswa.
”AN digunakan untuk memperbaiki sistem. Sifatnya sampling, bukan lagi diikuti setiap murid. Hasilnya bisa menjadi data untuk menghasilkan perbaikan-perbaikan yang ditargetkan,” ucapnya.