Teknologi Bantu Lindungi Difabel dari Kekerasan Seksual
Inovasi teknologi dapat mengatasi keterbatasan para penyandang disabilitas merespons ancaman kekerasan seksual. Salah satunya lewat gawai-gawai sistem peringatan dini.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Terbatasnya kemampuan berkomunikasi sebabkan penyandang disabilitas rentan menjadi korban kekerasan seksual. Mereka jadi sulit memahami kejadian hingga bertindak mencari pertolongan atau melapor menjadi tantangan. Itu bisa diatasi lewat inovasi teknologi.
Komisioner Komisi Nasional Disabilitas Deka Kurniawan mengatakan, penyandang disabilitas hadapi hambatan internal dan eksternal, bahkan ganda. Di antaranya keterbatasan fisik, intelektual, sensorik, dan mental. ”Dengan hambatan internal, (penyandang disabilitas) sulit berkomunikasi jika tidak didukung lingkungan yang memadai,” kata Deka saat dihubungi pada Jumat (11/8/2023).
Komunikasi yang dimaksud mestinya terjadi dua arah. Mereka perlu difasilitasi untuk melapor jika mengalami kasus kekerasan seksual. Mereka juga perlu mendapatkan pemahaman tentang kekerasan seksual, kesehatan reproduksi, hingga cara mengidentifikasi ancaman.
Namun, informasi yang mampu dipahami difabel dengan beragam disabilitas belum sepenuhnya tersedia. Ini menghambat mereka dalam memahami dan menyikapi kekerasan seksual.
Kementerian Sosial meluncurkan Gelang untuk Tunagrahita (Grita), yakni gawai sistem peringatan dini, Kamis (10/8/2023). Gelang ini memanfaatkan kecerdasan buatan untuk mendeteksi denyut nadi penggunanya. Jika denyut nadi melebihi batas normal, sirene gelang akan berbunyi. Denyut nadi di atas normal diasosiasikan sebagai situasi rentan bagi penggunanya. Adapun denyut nadi normal rata-rata 100 detak per menit.
”Grita bisa mendeteksi denyut nadi melalui sensor. Apabila denyut nadi atau melonjak drastis, jam ini akan mengeluarkan suara keras yang bisa menarik perhatian orang-orang di sekitarnya,” kata Menteri Sosial Tri Rismaharini di Jakarta. Ia menyebut gelang tersebut telah diujicobakan pada penyandang disabilitas.
Hingga kini, Grita diproduksi sendiri oleh Kementerian Sosial untuk mengantisipasi lonjakan harga jika diproduksi pihak lain. Sebanyak 100 Grita akan diserahkan kepada penyandang disabilitas grahita.
Adapun Kementerian Sosial sebelumnya memproduksi tongkat adaptif untuk penyandang disabilitas netra. Ada pula Gelang Rungu dan Wicara (Gruwi) untuk penyandang disabilitas rungu dan wicara.
Catatan Sentra Advokasi Perempuan, Disabilitas, dan Anak (SAPDA), ada 81 kasus kekerasan berbasis jender disabilitas (KBJD) dilaporkan pada 2022. Mayoritas kekerasan dialami penyandang di beragam jenis disabilitas. Disabilitas rungu-wicara sebanyak 31 kasus, disabilitas intelektual 22 kasus, dan disabilitas mental 14 kasus .
Mayoritas korban adalah perempuan sebanyak 76 orang, sedangkan laki-laki 6 orang. Sebagian besar korban berusia 15-19 tahun. Adapun bentuk kekerasan paling tinggi yang tercatat berupa kekerasan seksual. Jumlahnya 48 kasus (Kompas, 10/4/2023).
Kondisi ekonomi
Deka menambahkan, kondisi ekonomi dapat menempatkan difabel sebagai kelompok rentan kekerasan seksual. Sebagian difabel saat ini hidup dalam kemiskinan. Mereka rentan diancam, dimanipulasi, atau ditipu dengan iming-iming imbalan tertentu.
”Sementara itu, hambatan eksternal penyandang disabilitas adalah stigma (negatif) dari masyarakat dan keluarga. Mereka dianggap sebagai manusia yang tidak berdaya, tidak berguna, bahkan dianggap menyusahkan. Stigma, kan, terjadi dalam waktu lama, mengakar, dan meluas. Jadi, mereka dinilai tak perlu dianggap atau dikasihani. Ini menambah kerentanan mereka (terhadap kekerasan seksual),” kata Deka.
Menurut Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dalam Rumah Tangga dan Rentan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Valentina Gintings, penanganan kekerasan seksual selama ini terkendala layanan terpadu. Tim terpadu dan pelayanan terpadu akan dibentuk untuk memastikan penanganan, perlindungan dan pemulihan korban.
”Saat ini, diskusi untuk memastikan pembentukan aturan turunan, seperti peraturan pemerintah dan peraturan presiden, masih berjalan. Meskipun peraturan pelaksanaan mengatur hal-hal yang sifatnya teknis, secara substansi terkait dengan delik, aparat penegak hukum tentu sudah bisa mengeksekusinya di lapangan,” ujar Valentina (Kompas.id, 22/12/2022).