Pers menanti regulasi ”publisher rights” yang transparan dan adil. Regulasi ini diharapkan mendorong ekosistem media berkelanjutan dan sehat.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Regulasi yang mengatur kerja sama antara penerbit media dan platform digital, yang sering disebut publisher rights, hingga kini belum selesai dibahas. Draf rancangan peraturan presiden terkait hadir dalam beberapa versi. Penyusunan draf pun belum sepenuhnya melibatkan pemangku kepentingan.
Hal ini mengemuka dalam diskusi daring bertajuk ”Untung-Rugi Publisher’s Rights” pada medium Twitter Spaces. Diskusi digelar akun Twitter (kini X) @tempodotco pada Rabu (9/8/2023) malam.
Adapun wacana regulasi publisher rights muncul beberapa tahun silam untuk membuat ekosistem pers Indonesia sehat dan berkelanjutan. Regulasi ini juga mengatur tanggung jawab platform media (misalnya Google dan Facebook) untuk berkontribusi dalam jurnalisme berkualitas.
Publisher rights juga meminta platform digital memastikan keadilan ekonomi bagi media-media di Indonesia. Hal ini mempertimbangkan bahwa sebagian konten platform digital disuplai oleh berita-berita penerbit media (publisher). Draf regulasi berupa rancangan peraturan presiden (perpres) tentang tanggung jawab perusahaan platform digital untuk mendukung jurnalisme berkualitas sudah diserahkan kepada pemerintah.
Walau demikian, Pemimpin Redaksi IDN Times Uni Lubis tak yakin draf perpres versi apa yang ada di tangan pemerintah kini. Penyusunan draf yang tak transparan menimbulkan beragam spekulasi di kalangan pemimpin perusahaan media.
Adapun pada Hari Pers Nasional di Medan, Sumatera Utara, Kamis (9/2/2023), Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa ia menerima dua draf perpres publisher rights. Presiden lantas memberi waktu sebulan untuk merampungkan draf itu.
”Draf awal bahkan dirahasiakan dengan alasan khawatir bocor ke platform digital. Padahal, karena pada akhirnya perpres dimaksudkan untuk mengatur platform, setiap stakeholder (pemangku kepentingan) yang akan terpengaruh mestinya diajak bicara,” kata Uni.
Tekan hoaks
Di sisi lain, regulasi ini pun penting untuk menekan penyebaran hoaks. Regulasi ini dapat memastikan masyarakat mendapat informasi yang benar. Ini penting agar masyarakat bisa membuat keputusan terbaik untuk hidupnya, terlebih Pemilu 2024 sudah di depan mata. Hal ini bisa dicapai dengan peran media massa.
Adapun sebagian perusahaan media di Indonesia mengandalkan platform digital untuk menyebarkan kontennya. Menurut Uni, hal ini sama seperti menjadikan platform digital editor lain atau gatekeeper dalam jurnalisme berkualitas. Padahal, peran ini ada pada media dan peran pengawasan ada di Dewan Pers.
Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers Yadi Hendriana menambahkan, kewenangan jurnalisme berkualitas ada pada pers. Konten-konten yang didistribusikan kepada masyarakat harus sesuai Kode Etik Jurnalistik. Adapun yang berhak menentukan suatu konten merupakan produk jurnalistik atau bukan adalah Dewan Pers.
”Di draf seolah-olah perpres memberi kewenangan ke platform digital untuk melakukan kurasi terhadap konten-konten jurnalis. Itu tidak betul,” ucap Yadi.
Di sisi lain, Google menyatakan keberatan dengan publisher rights. Regulasi ini dinilai mengintervensi penyebaran konten di platform mereka. Jika tak ada jalan terang, Google memilih untuk tidak lagi menayangkan konten dari penerbit-penerbit media Indonesia.
Hal ini bisa berdampak buruk bagi penerbit media yang mengandalkan platform digital untuk penyebaran konten, terlebih penerbit media di daerah. Ketua Indonesia Digital Association (IDA) Dian Gemiano mengatakan, ini bakal berdampak pada bisnis perusahaan media berita.
Potensi kerugian finansial perusahaan mediaonlinedalam setahun kira-kira Rp 1 triliun sampai Rp 1,2 triliun.
Menurut perhitungan IDA, jika konten berita dihilangkan dari platform digital, diperkirakan traffic media-media daring di Indonesia akan turun 80 persen. Jika traffic turun, iklan pun ikut turun. Iklan merupakan salah satu sumber pemasukan penerbit media.
”Potensi kerugian finansial perusahaan media online (yang memproduksi berita) dalam setahun kira-kira Rp 1 triliun sampai Rp 1,2 triliun. Dan jika itu benar, yang terjadi secara alamiah bagi perusahaan media adalah efisiensi atau kemungkinan pengurangan karyawan,” kata Dian.
IDA memperkirakan hal ini bisa berujung pada pemutusan hubungan kerja terhadap sekitar 7.700 karyawan perusahaan media. Ia berharap para pemangku kepentingan dapat duduk bersama dan mencari solusi yang adil dan transparan bagi semua.