Masih Ada Kebuntuan dalam Pengusulan ”Publisher Rights”
Jalan buntu platform yang belum sejalan dengan ketentuan dalam ”publisher rights”, justru berbalik bisa mengancam keberlangsungan industri pers di Tanah Air.
Oleh
NASRUN KATINGKA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Regulasi publisher rights atau hak penerbit yang seharusnya menjadi jalan menciptakan ekosistem pers berkeadilan dan berkualitas jangan sampai menjadi bumerang. Jalan buntu platform yang belum sejalan dengan ketentuan dalam regulasi justru berbalik bisa mengancam keberlangsungan industri pers di Tanah Air.
Pada Senin 24 Juli 2023, Kementerian Komunikasi dan Informatika telah menyerahkan draf regulasi berupa peraturan presiden inikepada Kementerian Sekretariat Negara. Salah satu aturan yang masih buntu adalah kewajiban platform dalam penyesuaian algoritma konten jurnalisme yang sesuai Kode Etik Jurnalistik.
Secara umum, publisher rights mengatur tanggung jawab platform digital, seperti Facebook dan Google, dalam mewujudkan jurnalisme berkualitas. Selain itu, platform digital juga diminta terlibat dalam memastikan keadilan ekonomi bagi industri media-media Indonesia.
Adapun dalam keterangan resminya, Google keberatan dengan regulasi yang memungkinkan intervensi dalam penyebaran konten di platform mereka tersebut. Bahkan, Google lebih memilih untuk tidak lagi menayangkan konten dari penerbit media di Indonesia. Hal ini bisa berdampak buruk bagi media-media yang menggantungkan distribusi konten dan bisnis lewat platform global ini.
”Secara prinsip, aturan intervensi konten sudah tepat, tetapi untuk menjalankannya memang perlu penyesuaian lagi. Perlu mencari solusi bersama di tengah kebuntuan ini,” kata Ketua Asosiasi Media Siber Wenseslaus Manggut saat dihubungi di Jakarta, Sabtu (29/7/2023).
Wenseslaus menilai publisher rights sebagai regulasi untuk memastikan jurnalisme berkualitas, perlu segera diterapkan di Indonesia. Dia berpandangan, regulasi ini akan mengantisipasi konten-konten hoaks, apalagi menjelang penyelenggaraan Pemilu 2024.
”Kami berharap pemerintah bersedia merevisi dan bersedia mendengarkan jalan tengah dari kebuntuan ini,” ucapnya.
Yang memiliki kewenangan untuk menentukan kualitas konten adalah pers itu sendiri. Dengan demikian, kami akhirnya menawarkan poin aturan dengan mekanisme pelaporan melalui Dewan Pers. Dewan Pers yang akan aktif berkomunikasi dengan platform.
Ketua Umum Indonesia Digital Association (IDA) Dian Gemiano berharap agar regulasi ini tidak menjadi langkah mundur untuk industri media digital di Indonesia.
”Kami sangat mendukung regulasi untuk memastikan keberlanjutan jurnalisme berkualitas di Indonesia. Namun, dengan pertimbangan dinamika industri saat ini harus dilihat pula dengan bijak risiko-risiko yang dapat mendisrupsi keberlangsungan bisnis media. Apalagi jika seluruh pemangku kepentingan belum sepakat dengan rancangan regulasi yang ada,” katanya.
Dihubungi terpisah, pemerhati media dan akademisi Universitas Multimedia Nusantara, Ignatius Haryanto, menyampaikan, kebuntuan yang terjadi dalam pembahasan regulasi publisher rights merupakan hal wajar. Platform digital seperti Google tentu tidak ingin mendapatkan intervensi berlebihan yang bisa berpengaruh pada sektor bisnisnya.
Namun, dengan urgensi regulasi untuk menghadirkan jurnalisme berkualitas, semua pemangku kepentingan perlu kembali melihat lagi solusi terbaik.
”Hal yang perlu diingat, Google sebagai platform penyebarluasan konten, tetapi (Dewan Pers) juga perlu memastikan konten yang disebarkan tersebut berkualitas,” tuturnya.
Adapun Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Kominfo Usman Kansong memastikan, draf publisher rights masih terbuka untuk dilakukan pengkajian ulang. Pemerintah ingin memastikan agar aturan tersebut membuat ekosistem digital yang sehat bagi semua pihak.
Dia mengakui salah satu jalan buntu yang masih terjadi, yakni perihal tanggung platform tentang jurnalisme berkualitas. Dia menyebut, platform digital tidak bersedia menyanggupi karena tidak punya kewenangan dan kompetensi untuk memastikan artikel yang sesuai kaidah jurnalistik.
”Yang memiliki kewenangan untuk menentukan kualitas konten adalah pers itu sendiri. Dengan demikian, kami akhirnya menawarkan poin aturan dengan mekanisme pelaporan melalui Dewan Pers. Dewan Pers yang akan aktif berkomunikasi dengan platform,” kata Usman.
Sementara asosiasi pers menganggap, dengan teknologi yang dimiliki platform digital, seharusnya ada parameter untuk mengukur kualitas konten yang muncul. Jika pun hal tersebut sulit dilakukan, kata Wenseslaus, pers bisa membantu proses penyaringan tersebut.
”Dan yang punya kewenangan dalam proses menyaring tersebut, melalui lembaga yang berkompeten, misalnya dibentuk komite atau lembaga bekerja sama dengan platform untuk mengawasi konten yang muncul,” ujar Wenseslaus.
Nantinya, lanjut Wenseslaus, lembaga tersebut akan membantu platform melakukan pemantauan dan memberikan parameter konten-konten yang tersedia di mesin pencarian. ”Dengan parameter yang dihasilkan, konten yang tidak sesuai dengan ketentuan akan dihilangkan dari mesin pencarian,” ucapnya.