Pemerintah Akomodasi Pihak Pro dan Kontra terhadap Rancangan Perpres Tembakau
Isu utama dalam Rancangan Peraturan Presiden tentang Peta Jalan Pengelolaan Produk Hasil Tembakau disebut bukan soal penerimaan cukai, melainkan soal kesehatan.
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Peraturan Presiden tentang Peta Jalan Pengelolaan Produk Hasil Tembakau disusun untuk memberikan kejelasan arah dalam pengelolaan hasil tembakau ke depan. Aspek kesehatan tetap mendapat perhatian utama pemerintah dalam kaitannya dengan hal tersebut.
Demikian, antara lain, disampaikan Deputi III Kantor Staf Kepresidenan Edy Priyono ketika ditemui di Gedung Bina Graha, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (3/8/2023), ketika dimintai tanggapan terkait penolakan 20 organisasi yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perlindungan Masyarakat dari Produk Zat Adiktif Tembakau terhadap upaya penyusunan Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Peta Jalan Pengelolaan Produk Hasil Tembakau.
”Rancangan perpres itu sebenarnya arahan dari Presiden. Sekitar tahun 2021 atau awal 2022, seingat saya sudah pandemi, dalam sebuah rapat terbatas di Istana, Presiden menugasi Menko Perekonomian Airlangga membuat peta jalan tentang industri hasil tembakau," kata Edy.
Waktu itu, Edy menuturkan, arahan Presiden Joko Widodo tersebut dimaksudkan agar ada semacam kejelasan arah ke depan. ”Kita bisa mengerti kemudian ketika Kemenko Perekonomian menyusun draf rancangan perpres tentang road map atau peta jalan industri hasil tembakau," ujarnya.
Terkait penolakan terhadap rancangan perpres tersebut, Edy menuturkan bahwa KSP melihatnya sebagai hal wajar sebagaimana juga pasti ada yang mendukung. Jangankan soal rancangan perpres, kebijakan cukai hasil tembakau pun setiap tahun pasti ada yang pro ataupun kontra.
”Kita terbiasa di sini menerima dari dua kubu, kubu yang pro-tembakau. Artinya, yang menentang kenaikan cukai dan kubu yang prokenaikan cukai,” kata Edy.
Edy mengatakan, pemerintah mencoba mengakomodasi semua pihak. ”Orang-orang prorokok itu arahnya memikirkan industrinya, pekerja, petani tembakau. Sedangkan yang anti, itu arahnya memikirkan aspek kesehatan. Pemerintah harus balance, semua harus dilindungi,” ujarnya.
Masalah penerimaan cukai pasti besar, tetapi sebenarnya itu bukan isu utama. ”Isu utama itu di kesehatan, kan, ada di RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional), terutama untuk perokok pemula usia 10-18 tahun. Ada targetnya, tahun 2024 harus turun menjadi 8,7 persen, yang sekarang masih sekitar 9 persen,” katanya.
Terkait instrumen, Edy melanjutkan, salah satu yang dipakai pemerintah selama ini adalah instrumen fiskal, yaitu cukai tembakau, untuk mengendalikan konsumsi. ”Supaya konsumsi bisa dikendalikan, harga (rokok) harus tinggi, terutama untuk perokok pemula, usia 10-18 tahun, yang masih sensitif terhadap harga karena belum punya duit yang banyak,” ujarnya.
Tak hanya itu, menurut dia, ada pula pembatasan iklan, peraturan tentang tempat-tempat merokok, dan sebagainya. ”Jadi, tidak benar ketika ada tuduhan bahwa untuk meningkatkan pendapatan negara kemudian mengorbankan kesehatan,” katanya.
Sebelumnya, pada 2 Agustus 2023, sebanyak 20 organisasi yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perlindungan Masyarakat dari Produk Zat Adiktif Tembakau menyampaikan sikap tegas menolak upaya penyusunan Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Peta Jalan Pengelolaan Produk Hasil Tembakau.
Forum Warga Kota (FAKTA) Indonesia, yang diketuai Ary Subagyo Wibowo, sebagai salah satu perwakilan koalisi, mengungkap adanya sejumlah alasan penolakan terhadap Rancangan Perpres Peta Jalan Pengelolaan Produk Hasil Tembakau. ”Alasan utama karena substansi dari Perpres Peta Jalan ini sama saja dengan regulasi yang sudah pernah ada, tapi telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku,” ujar Ary Subagyo Wibowo melalui siaran pers, Rabu.
Ary menuturkan, secara substansial Perpres Peta Jalan Pengelolaan Produk Hasil Tembakau sama atau setidaknya bertujuan sama dengan Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 63/M-IND/PER/8/2015 yang telah dinyatakan dicabut dan tidak berlaku oleh Mahkamah Agung berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 16 P/HUM/2016.
Pencabutan permenperin ini karena Mahkamah Agung menilainya bertentangan dengan UU Kesehatan, UU Hak Asasi Manusia, UU Pengesahan International Covenant of Economic, Social, and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya), UU Perlindungan Anak, dan UU Cukai.
”Bagaimana mungkin peraturan yang sebelumnya pernah diajukan dan kemudian sudah dibatalkan mau dibangkitkan lagi. Hal ini seharusnya tidak dilakukan karena seperti mengulang terus kesalahan yang sama,” ucapnya.
Sementara yang menjadi alasan kedua, kata Ary, Rancangan Perpres Peta Jalan Pengelolaan Produk Hasil Tembakau mencerminkan konflik antara dua kepentingan yang tidak mungkin dipertemukan. Kepentingan pertama adalah kepentingan industri tembakau yang ingin meningkatkan produksi dan konsumsi produk tembakau, sedangkan kepentingan kedua adalah kepentingan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat yang seharusnya bisa menurunkan prevalensi konsumsi produk tembakau.