Peserta aksi membawa kertas bertuliskan rasa kecewanya atas pengesahan UU Kesehatan ketika aksi di Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Jumat (14/7/2023). Pengesahan UU itu dinilai tidak berpihak pada masyarakat, di antaranya tidak adanya pembahasan mengenai pengaturan iklan, promosi, dan sponsorship mengenai rokok dalam UU Kesehatan.
JAKARTA, KOMPAS — Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perlindungan Masyarakat dari Produk Zat Adiktif Tembakau menolak penyusunan Rancangan Peraturan Presiden tentang Peta Jalan Pengelolaan Produk Hasil Tembakau tahun 2023-2027. Aturan ini dinilai bertentangan dengan upaya meningkatkan kesehatan masyarakat Indonesia dari bahaya merokok.
Koalisi ini terdiri atas 20 organisasi masyarakat sipil yang menyampaikan penolakannya melalui surat kepada Presiden Joko Widodo dan 10 kementerian atau lembaga terkait pada Rabu (2/8/2023). Ketua Forum Warga Kota (FAKTA) Indonesia Ary Subagyo Wibowo menjelaskan, perpres ini nantinya akan sama dengan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 63 Tahun 2015 tentang Peta Jalan Produksi Hasil Tembakau yang telah sudah dicabut oleh Mahkamah Agung pada 2016.
”Bagaimana mungkin peraturan yang sebelumnya pernah diajukan dan kemudian sudah dibatalkan mau dibangkitkan lagi. Hal ini seharusnya tidak dilakukan karena seperti mengulang terus kesalahan yang sama,” kata Ary dalam siaran pers, Rabu (2/8/2023).
Dalam putusan Nomor 16 P/HUM/2016, Mahkamah Agung menyatakan peraturan yang diterbitkan Menteri Perindustrian Saleh Husin pada Agustus 2015 itu bertentangan dengan lima peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Maka dari itu, Permenperin No 63/2015 dinyatakan tidak sah atau tidak berlaku secara umum.
Kami sudah mengusulkan apa yang harus diatur dalam perpres itu dalam surat dari Sekretaris Jenderal dalam upaya menjaga kesehatan masyarakat.
Adapun kelima aturan yang lebih tinggi itu adalah UU Kesehatan, UU Hak Asasi Manusia, UU Pengesahan, UU Perlindungan Anak, UU Cukai, serta Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Perpres dan kelima aturan ini merupakan dua kepentingan yang tidak bisa dipertemukan.
Penasihat Indonesia Institute for Social Development (IISD), Sudibyo Markus, menambahkan, perpres ini juga bertentangan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. RPJMN mengamanatkan pembangunan harus memprioritaskan kesehatan masyarakat dengan mengendalikan produksi, konsumsi, dan peredaran produk yang memberikan dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat seperti produk hasil tembakau.
”Sudah jelas bahwa rancangan Perpres Peta Jalan Produk Hasil Tembakau bertolak belakang dengan sasaran yang ingin dicapai RPJMN,” ucap Sudibyo.
Selain itu, berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar 2018, prevalensi perokok usia 10-18 tahun justru meningkat menjadi 9,1 persen. Data Global Youth Tobacco Survey (GYTS) 2019 juga menunjukkan prevalensi perokok pelajar usia 13-15 tahun sebesar 19,2 persen dan data Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2021 memperlihatkan prevalensi perokok dewasa sebesar 33,5 persen atau 68,9 juta orang.
Baca juga: Peran Sekolah Memutus Mata Rantai Perokok Anaki
Selain FAKTA dan IISD, organisasi masyarakat sipil lain yang ikut menolak, antara lain, Komnas Pengendalian Tembakau, Tobacco Control Support Center (TCSC) IAKMI, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Yayasan Lentera Anak, Pusat Kajian Jaminan Sosial (PKJS) UI, Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), dan Muhammadiyah Tobacco Control Center (MTCC) Unimma.
Surat kepada Presiden Jokowi ini merupakan langkah kedua yang ditempuh koalisi setelah pada Oktober 2022 mereka juga menyampaikan pernyataan penolakan ke publik. Namun, pernyataan itu tidak menghentikan langkah pemerintah yang terus membahas rancangan peraturan dalam program penyusunan peraturan presiden ini.
Menurut penjelasan dalam situs resmi Kemenko Perekonomian, 26 Mei 2022, tujuan penyusunan Perpres ini untuk memberikan kepastian dan kejelasan arah kebijakan industri hasil tembakau, termasuk kenaikan tarif cukai tembakau, diversifikasi produk tembakau, dan peningkatan kinerja ekspor tembakau.
Baca juga: Mewujudkan Kawasan Tanpa Rokok
Aspek-aspek arah kebijakan yang sudah dibahas, antara lain, dari sisi hulu, sisi industri, sisi fiskal dan penerimaan negara, termasuk dari sisi kesehatan. Nantinya akan ada aturan pengendalian produk tembakau dalam bentuk kebijakan nonfiskal untuk menurunkan tingkat prevalensi merokok yang difokuskan pada penduduk usia 10-18 tahun dengan target sebesar 8,7 persen di tahun 2024.
Sudah mengusulkan
Dihubungi secara terpisah, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Eva Susanti mengatakan, pihaknya sudah menyampaikan sejumlah usulan dari sudut pandang kesehatan kepada Kemenko Perekonomian untuk dimasukkan dalam rancangan Perpres. Dia berharap, ada jalan tengah di antara dua kepentingan tersebut.
”Kami sudah mengusulkan apa yang harus diatur dalam Perpres itu dalam surat dari Sekretaris Jenderal dalam upaya menjaga kesehatan masyarakat, mudah-mudahan akan masuk dalam pengaturan Perpres," kata Eva, Selasa (2/8/2023).
Dalam surat tersebut, Kemenkes mengusulkan pengendalian konsumsi dan peredaran produk hasil tembakau dilakukan dengan cara seperti mencantumkan gambar peringatan kesehatan sebesar 90 persen dari kemasan rokok. Kemudian, rokok dilarang dijual bagi anak, ibu hamil, melalui mesin otomatis, dan secara batangan.
Baca juga: Darurat Perokok Anak
Selanjutnya, Kemenkes juga meminta kawasan tanpa rokok diperluas di setiap daerah, meningkatkan upaya konseling berhenti merokok dan edukasi bahaya merokok, serta larangan iklan, promosi, dan sponsor produk tembakau di ruang terbuka. Perlu juga dilakukan survei prevalensi merokok setiap tahun sebagai upaya evaluasi terhadap perpres tersebut.