Indonesia dalam kondisi darurat perokok seiring meningkatnya prevalensi perokok muda. Itu jadi salah satu alasan 15 organisasi masyarakat sipil menolak rancangan Peraturan Presiden Peta Jalan Industri Hasil Tembakau.
Oleh
RIVALDO ARNOLD BELEKUBUN
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah organisasi masyarakat sipil menolak Rancangan Peraturan Presiden tentang Peta Jalan Industri Hasil Tembakau yang sedang disusun Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Mereka mendesak pemerintah menghentikan penyusunan regulasi itu karena dianggap bertentangan dengan aturan yang ada dan memperparah prevalensi perokok anak yang kini dalam kondisi darurat.
Berdasarkan pemantauan, Sabtu (10/8/2022), perokok anak mudah ditemui di sejumlah tempat umum Ibu Kota. Salah satu tempat yang ramai dikunjungi anak-anak muda adalah Taman Dukuh Atas, Sudirman, Jakarta Pusat. Tempat yang belakangan ini menjadi lokasi Citayam Fashion Week tersebut merupakan tempat anak-anak muda bersantai. Tidak jarang dapat dilihat anak-anak di bawah umur itu merokok di taman tersebut.
Reza (17), siswa sekolah menengah atas (SMA) yang sedang duduk bersantai di Taman Dukuh Atas bersama dua temannya, mengaku sudah merokok sejak awal masuk SMA. Awalnya, ia ditawari oleh teman-temannya untuk merokok bersama, kemudian ia menjadi nyaman mengkonsumsi rokok. Ia berpendapat, beberapa tahun lagi ia akan masuk ke umur dewasa sehingga tidak khawatir lagi untuk merokok.
Kebiasaan merokok di kalangan anak muda itu membuat 15 organisasi masyarakat sipil yang yang mewakili organisasi kesehatan, organisasi perlindungan konsumen, organisasi perlindungan anak, lembaga kajian dan riset, serta organisasi/gerakan kaum muda, Jumat (7/10/2022), dalam siaran pers, menyatakan menolak pembuatan Peraturan Presiden (Perpres) Peta Jalan Industri Hasil Tembakau (IHT). Mereka menganggap IHT hanya berpihak pada kepentingan bisnis dan tidak memperhatikan dampak buruk konsumsi tembakau bagi masyarakat, terutama generasi muda.
Sebanyak 15 organisasi itu meliputi Forum Warga Kota Indonesia (FAKTA), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Yayasan Lentera Anak (YLA), Komite Nasional Pengendalian Tembakau (Komnas PT), Indonesia Institute for Social Development (IISD), Yayasan Pusaka Indonesia (YPI) Medan, Yayasan Kepedulian Untuk Anak (KAKAK) Surakarta, Yayasan Galang Anak Semesta (GAGAS) Mataram, dan Yayasan Ruang Anak Dunia (Ruandu) Sumatera Barat.
Persentase perokok Indonesia Infografik
Beberapa organisasi lainnya adalah Muhammadiyah Tobacco Control Center Universitas Muhammadiyah Magelang (MTCC Unimma), Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), Center of Human & Economic Development Institut Teknologi & Bisnis Ahmad Dahlan (CHED ITB-AD), Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI), Tobacco Control Support Center (TCSC) Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), dan Indonesian Youth Council for Tobacco Control (IYCTC).
Berdasarkan sejumlah data, peningkatan konsumsi rokok meningkat setiap tahunnya. Menurut data Kementerian Kesehatan (Kemenkes), penjualan rokok pada tahun 2021 meningkat 7,2 persen dari tahun 2020, yakni dari 276,2 miliar batang menjadi 296,2 miliar batang. Menurut Kemenkes, perokok dewasa sebanyak 70,2 orang, sedangkan berdasarkan data Badan Pusat Statistik, jumlah perokok berusia di bawah 10-18 tahun kurang lebih 10 juta anak.
Kemenkes memaparkan, prevalensi perokok anak terus naik setiap tahun. Pada tahun 2013 prevalensi perokok anak 7,20 persen, kemudian naik menjadi 8,80 persen tahun 2016, lalu 9,10 persen tahun 2018, dan 10,70 persen tahun 2019. Jika tidak dikendalikan, prevalensi perokok anak akan meningkat hingga 16 persen di tahun 2030.
Darurat perokok anak
Ketua Lantera Anak Lisda Sundari mengatakan, sejumlah data telah membuktikan bahwa Indonesia berada dalam kondisi darurat perokok anak karena prevalensi perokok usia 10-18 tahun terus meningkat. Ia menilai, pemerintah tidak semakin tidak sensitif menanggapi desakan masyarakat untuk melindungi anak dari adiksi rokok.
”Seharusnya pemerintah fokus menurunkan prevalensi perokok anak menjadi 8,7 persen sesuai amanat Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional atau RPJMN 2020- 2024, bukannya justru giat melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan produksi dan konsumsi produk tembakau,” jelas Lisda.
Menurut Global Youth Tobacco Survey (GYTS) pada tahun 2019, sebanyak 19,2 persen pelajar berusia 13-15 tahun aktif mengonsumsi produk tembakau. Di sisi lain, ada 7,9 persen pelajar yang semula tidak merokok dikhawatirkan jadi perokok karena mengikuti ajakan teman (Kompas.id, 5 Agustus 2022). Selain itu, harga rokok yang terjangkau, yaitu rata-rata Rp 20.000 per bungkus dan rata-rata Rp 1.500 per batang, serta kurangnya pengawasan orangtua dan lingkungan masyarakat, menyebabkan mudahnya anak mengakses rokok.
Pada 25 Mei 2022, Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Perekonomian mengadakan diskusi kelompok terfokus tentang Rancangan Perpres Peta Jalan Pengelolaan Produk Hasil Tembakau. Ini adalah salah satu kegiatan perancangan Peta Jalan IHT yang bertujuan memberikan kepastian dan kejelasan arah dari kebijakan IHT ke depan. Hal yang dibahas termasuk kenaikan tarif cukai tembakau, diversifikasi produk tembakau, dan peningkatan kinerja ekspor tembakau.
Selain itu, Rancangan Perpres Peta Jalan IHT memiliki visi berupa peningkatan produksi dan mutu tembakau, peningkatan substitusi impor, peningkatan kesejahteraan dan kualitas petani dan tenaga kerja sektor hulu, optimalisasi kemitraan, dan pengembangan inovasi teknologi.
Dilansir dari siaran pers Kemenko Perekonomian, pada 26 Mei 2022, IHT juga mengatur pengendalian produk tembakau dalam bentuk kebijakan nonfiskal dengan maksud menurunkan tingkat prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun dengan target sebesar 8,7 persen di tahun 2024.
Meski begitu, menurut Advokad Senior FAKTA, Tubagus Haryo Karbiyanto, perancangan Perpres IHT bertentangan dengan regulasi yang ada. Substansi IHT mirip dengan Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) tentang Peta Jalan Industri Hasil Tembakau (IHT) Tahun 2015-2020 yang sudah dicabut melalui Putusan Mahkamah Agung Nomor 16P/HUM/2016.
Infografik Kandungan dalam Sebatang Rokok
Alasan pencabutan itu karena Permenperin tersebut dengan aturan UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan UU Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai.
”Rancangan Perpres Peta Jalan IHT ini menggunakan judul yang sebenarnya sudah dicabut sebelumnya oleh Mahkamah Agung, dan secara substansi sama saja dengan Permenperin tentang Peta Jalan IHT karena sama-sama fokus untuk meningkatkan produksi tembakau,” kata Tubagus.
Ketua Umum Komnas PT Hasbullah Thabrany mengatakan, tren regulasi yang dibentuk di negara-negara lain di dunia adalah membuat peta jalan untuk menurunkan prevalensi perokok di negaranya, bukan malah sebaliknya.
Pemerintah harus kembali fokus untuk melanjutkan proses amendemen Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. ”Kami mewakili 23 organisasi anggota dan mitra, menolak rencana Perpres Peta Jalan IHT dan mendesak Pemerintah untuk kembali fokus melanjutkan proses amendemen PP 109/2012,” ujarnya.
Kompas telah menghubungi Sekretaris Kemenko Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso untuk meminta konfirmasi serta tanggapan tentang penolakan tersebut, tetapi hingga Sabtu (8/10/2022) malam belum merespons.