Produk Daur Ulang Sampah Plastik Berlapis Belum Bernilai Tinggi
Pusat Riset Ekonomi Perilaku dan Sirkuler Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) akan meneliti potensi dari sampah plastik kemasan berlapis agar layak daur ulang dan bisa bernilai tinggi.
Oleh
Stephanus Aranditio
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Jenis sampah plastik kemasan berlapis seperti bungkus mi instan belum menjadi pilihan utama dalam proses daur ulang sampah di Indonesia. Plastik jenis itu dianggap sulit didaur ulang dan bernilai ekonomi rendah. Padahal, jenis sampah ini menempati urutan kedua terbanyak setelah sampah organik dalam timbulan sampah. Perlu peningkatan teknologi daur ulang agar sampah jenis ini menjadi barang yang bernilai tinggi.
Oleh sebab itu, Pusat Riset Ekonomi Perilaku dan Sirkuler (PR EPS) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bekerja sama dengan PT Standardisasi Sertifikasi Nasional dan PT Sendang Bumi Wastama (Sustainable Waste Indonesia) untuk meneliti pengembangan sistem ekonomi sirkuler berbasis plastik berlapis. Selama lima bulan ke depan mereka akan meneliti potensi ekonomi, sosial, dan lingkungan, dari proses produksi plastik berlapis layak daur ulang, serta membuat skenario-skenario pengembangan rantai nilai.
Kepala PR EPS BRIN Umi Karomah Yaumidin mengatakan, selain mengurangi timbulan sampah, daur ulang yang maksimal dari sampah plastik berlapis ini juga berpotensi meningkatkan perekonomian masyarakat. Hal ini dimulai dari meningkatkan kesadaran pelaku bisnis persampahan agar tidak lagi menganggap murah sampah plastik berlapis.
Plastik berlapis yang tidak layak daur ulang saat ini jumlahnya mencapai 90 persen.
”Perilaku masyarakat terutama para pelapak ini untuk bisa memilah sampah lebih baik dan juga perubahan pasarnya. Ini akan kami telusuri. Bagaimana plastik berlapis ini bisa masuk secara reguler di pasar sehingga pemanfaatannya lebih bernilai tinggi,” kata Umi di Gedung BRIN, Jakarta, Kamis (3/8/2023).
Riset akan menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif dengan mengumpulkan data melalui studi pustaka, wawancara, diskusi kelompok, dan observasi lapangan di tiga lokasi penelitian, yakni Jabodetabek, Surabaya, dan Solo. Ketiga wilayah ini dianggap memiliki industri pengelolaan sampah plastik yang berpotensi dimanfaatkan lebih.
”Wilayah ini juga menjadi pusat pertumbuhan ekonomi bagi wilayah di sekitarnya,” kata peneliti PREPS BRIN, Achsanah Hidayatina.
Dalam menganalisis peta rantai nilai nantinya peneliti akan melalui enam tahap. Mulai dari menentukan fungsi atau bagan dalam rantai nilai, menentukan tipe aktor, menentukan alur produk, mengidentifikasi saluran utama, menyediakan informasi data pada tiap rantai nilai, terakhir mengindikasi titik pengungkit nilai tambah paling tinggi.
Meluruskan definisi plastik berlapis
Direktur PT Standardisasi Sertifikasi Nasional Kristono M Widjaja mengatakan, definisi sampah plastik berlapis perlu dibakukan. Hal ini diperlukan karena setiap daerah memiliki pandangan yang berbeda terhadap jenis sampah plastik berlapis. Pemilahan jenis sampah penting dalam rantai bisnis persampahan agar tepat dalam melakukan daur ulang.
”Para pelaku daur ulang itu menganggap plastik berlapis tidak bisa didaur ulang karena dianggap plastik PE-Sablon, misalnya bungkus mi instan itu tidak dianggap berlapis, padahal sebenarnya berlapis,” kata Kristono.
Selama ini, menurut Asosiasi Industri Aromatik, Olefin, dan Plastik Indonesia (Inaplas), sebanyak 65 persen di antara sampah nonorganik merupakan sampah plastik kemasan atau jenis plastik berlapis. Plastik berlapis yang tidak layak daur ulang saat ini jumlahnya mencapai 90 persen.
Riset ini diharapkan bisa menekan angka tersebut agar lingkungan hidup juga bisa diselamatkan dari timbulan sampah. Hasil dari riset ini juga akan menjadi acuan bagi Badan Standardisasi Nasional (BSN) untuk membuat pedoman pengelolaan sampah yang berprinsip ekonomi sirkuler di Indonesia.