Menjaga Hutan, Menyelamatkan Kehidupan Orang Papua
Di tengah tekanan investasi berbasis lahan, masyarakat adat di Sorong Selatan berjuang melindungi hutan demi menyelamatkan kehidupan. Bagi mereka, hutan merupakan sumber penghidupan dan titipan leluhur.
Perahu bermesin 30 tenaga kuda (PK) membawa Yohanis Mabruaru (70) menyusuri muara Sungai Kaibus di Kampung Konda, Distrik Konda, Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat Daya, Kamis (27/7/2023). Setelah 15 menit berlayar, tokoh masyarakat suku Yaben itu tiba di hutan mangrove di kawasan pesisir barat Konda.
Sepotong papan bertuliskan kata ”Saima” ditempelkan di sebatang pohon mangrove. Saima merupakan nama yang diberikan oleh suku Yaben untuk menandai tempat itu.
Hutan mangrove salah satu lokasi yang didatangi masyarakat suku Yaben dalam pemetaan hutan secara partisipatif pada Maret-Juni lalu. Yaben merupakan suku besar yang terdiri dari subsuku Yaben Simora, Yaben Demen, dan Yaben Onipia.
Pemetaan ini difasilitasi oleh Konservasi Indonesia, yayasan yang berfokus pada pelestarian lingkungan. Warga menyaksikan langsung batas-batas wilayah adat, baik secara suku maupun marga.
Batas alam, seperti sungai, jurang, dan pohon tertentu dipakai sebagai tanda. Pemetaan itu bukan untuk menetapkan kepemilikan lahan secara pribadi, melainkan pemanfaatan secara bersama atau komunal berdasarkan aturan adat masing-masing.
Yohanis menyebutkan, perairan di sekitar hutan mangrove merupakan sumber penghidupan masyarakat adat. Kawasan itu menjadi tempat mencari ikan, udang, dan kepiting.
Masyarakat suku Yaben juga memanfaatkan hutan atau dusun sagu, hutan berburu, serta hutan yang ditumbuhi buah-buahan, seperti langsat, cempedak, dan durian. Hasilnya digunakan untuk makan sehari-hari dan dijual ke pasar.
Baca juga: Masyarakat Adat Berinisiatif Melindungi Hutan
”Kami hidup dari hutan dan laut. Jadi, harus terus dijaga untuk menyelamatkan kehidupan,” ujarnya.
Anak-anak muda pun dilibatkan dalam pemetaan hutan agar mereka mengetahui batas-batas wilayah adat. Hal ini juga untuk meminimalkan potensi konflik tenurial ataupun sosial di masa mendatang.
Menurut Yohanis, pemetaan hutan menjadi langkah awal melindungi kawasan adat. Oleh karena itu, hal itu membutuhkan dukungan regulasi penetapan dari pemerintah sebagai pengakuan terhadap masyarakat adat dalam mengelola hutan.
Mereka membutuhkan regulasi itu karena ancaman kerusakan hutan selalu mengintai, salah satunya lewat investasi berbasis lahan. Sejak awal 2000-an, hutan-hutan di Sorong Selatan menjadi incaran perusahaan kelapa sawit.
Warga Konda yang mayoritas terdiri dari suku besar Yaben dan Tehit sudah beberapa kali menolak rencana pembukaan kebun kelapa sawit. Mereka khawatir rencana itu merusak lingkungan dan merampas ruang hidup masyarakat adat.
”Kalau sawit masuk, hutan akan habis. Terus anak cucu kami mau makan apa dan tinggal di mana? Jika hutan dijaga, berkat dari Tuhan tidak akan ada habisnya,” ucapnya.
Status hutan adat akan melindungi hutan mereka dari berbagai ancaman, salah satunya alih fungsi lahan akibat pembukaan kebun kelapa sawit. Warga sudah berkali-kali menolaknya, bahkan sejak tahapan sosialisasi.
Di Kampung Bariat, Distrik (Kecamatan) Konda, pemetaan hutan secara partisipatif melibatkan warga suku Tehit yang terdiri dari subsuku Gemna, Afsya, dan Nakna. Pemetaan dilakukan dengan menggunakan batas alam serta jejak-jejak permukiman leluhur mereka.
Masyarakat menandai batas wilayah adat serta sejumlah lokasi penting, seperti kampung awal suku tersebut dan lokasi makam leluhur mereka. Pemetaan diikuti ratusan warga pada Oktober-Desember 2022.
Hutan menjadi sumber penghidupan utama bagi warga suku Tehit. Selain sagu, mereka juga menjual kayu merbau, getah damar, dan buah-buahan dari hutan.
”Hasil dari hutan itu sudah cukup untuk kehidupan kami, mulai dari makan sampai untuk membiayai sekolah anak,” ujar Kepala Kampung Bariat, Adrianus Kemeray.
Dalam pemetaan partisipatif, terdapat beberapa lokasi yang diakui sebagai wilayah adat oleh lebih dari satu suku. Sungai di pinggir jalan utama Konda, misalnya, sama-sama diklaim sebagai kawasan adat suku Tehit dan Yaben.
Baca juga: Pemetaan Hutan Melibatkan Masyarakat Adat
Kedua suku sepakat untuk menandai lokasi itu, tetapi dengan nama berbeda. Suku Tehit menamainya Fmar, sementara suku Yaben menamainya Tejipia.
Berharap penetapan hutan adat
Pemetaan partisipatif membawa harapan bagi masyarakat adat suku Tehit dan Yaben untuk mendapatkan pengakuan dari pemerintah dalam mengelola kawasan hutan. Oleh sebab itu, Adrianus berharap hal ini ditindaklanjuti dengan menetapkan kawasan itu sebagai hutan adat.
”Status hutan adat sangat penting untuk menjaga hutan kami agar tidak rusak karena pemanfaatan yang tidak baik,” katanya.
Adrianus menegaskan, status hutan adat akan melindungi hutan mereka dari berbagai ancaman, salah satunya alih fungsi lahan akibat pembukaan kebun kelapa sawit. Warga sudah berkali-kali menolaknya, bahkan sejak tahapan sosialisasi.
Investasi perkebunan memang memberikan tawaran menggiurkan dengan mendapatkan uang dari melepaskan tanah adat. Namun, hal ini hanya memberikan keuntungan jangka pendek.
”Sementara dusun sagu dan hutan memberikan manfaat jangka panjang. Selama dipertahankan, kami yakin tidak akan kekurangan makanan,” ujarnya.
Sahul Papua Local Partner Engagement Coordinator Konservasi Indonesia, Charles Tawaru, menuturkan, pemetaan partisipatif merupakan langkah inisiatif masyarakat adat untuk melindungi hutan. Pihaknya memfasilitasi inisiatif itu untuk mendapat pengakuan dari pemerintah.
Pihaknya terlebih dahulu menjelaskan skema-skema perhutanan sosial kepada masyarakat adat di Distrik Konda. Kemudian masyarakat menginginkan status hutan adat.
”Hal ini sangat penting demi mendukung pengelolaan hutan secara berkelanjutan,” katanya.
Menurut Charles, menyelamatkan hutan Papua bukan hanya melindungi sumber pangan bagi masyarakat adat. Sebab, di kawasan hutan juga banyak ditumbuhi gambut yang berperan penting sebagai penyimpan karbon penting.
”Kami berharap usulan status hutan adat di Distrik Konda dapat diajukan pada Oktober-November 2023. Beberapa bulan lalu, perwakilan warga adat telah menghasilkan deklarasi komitmen pengelolaan hutan berbasis masyarakat,” jelasnya.
Pemetaan hutan partisipatif ditindaklanjuti Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Sorong Selatan dengan membentuk panitia masyarakat hukum adat. Panitia ini juga melibatkan tokoh-tokoh adat.
Baca juga: Arkilaus Kladit Menjaga Hutan untuk Masa Depan
Wakil Bupati Sorong Selatan Alfons Sesa mengatakan, pembentukan panitia itu untuk menghasilkan pemetaan kawasan adat dengan mencantumkan batas-batas hak ulayat. ”Kami mengapresiasi karena ini inisiatif masyarakat adat untuk melindungi hutan,” ujarnya.
Saat ini belum ada hutan adat di Papua Barat Daya. Jika penetapan hutan adat di Distrik Konda terwujud, hal itu diharapkan menjadi contoh bagi pengelolaan wilayah adat di distrik-distrik lainnya.
”Saya akan lapor ke Bupati untuk memberikan dukungan. Kami pasti dukung inisiatif masyarakat,” ucapnya.
Kesadaran warga Distrik Konda melindungi hutan menjadi napas segar bagi pelestarian alam Papua. Status hutan adat yang dinanti tidak hanya untuk berdaulat atas lahan, tetapi juga memastikan ruang hidup bagi generasi selanjutnya tetap terjaga.