Pemerintah menargetkan eliminasi hepatitis bisa tercapai pada 2030. Berbagai upaya pencegahan hingga pengobatan perlu diperkuat untuk mewujudkan target tersebut.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hepatitis perlu menjadi perhatian serius sebab orang dengan hepatitis berisiko mengalami penyakit kronis yang dapat menimbulkan beban kesehatan yang besar. Saat ini, diperkirakan 18 juta penduduk di Indonesia menderita hepatitis B dan 2,5 juta penduduk menderita hepatitis C.
Upaya pencegahan dan pengendalian penyakit hepatitis harus terus diperkuat. Strategi penanganan juga mesti dilakukan secara tepat, salah satunya dengan memperkuat integrasi layanan hepatitis di fasilitas pelayanan kesehatan.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin saat membuka acara peringatan Hari Hepatitis Sedunia Ke-14 di Jakarta, Jumat (28/7/2023), mengatakan, hepatitis merupakan penyebab utama kanker hati yang merupakan jenis kanker dengan angka kematian tertinggi nomor empat di Indonesia. Penanganan hepatitis di masyarakat kini masih menjadi tantangan serius yang harus dihadapi.
”Untuk itu, kita perlu kembali menekankan pentingnya deteksi dini dan pengobatan hepatitis yang terintegrasi. Tidak ada cukup alasan bagi penderita hepatitis untuk tidak terdiagnosis dan tidak diobati ketika intervensi yang efektif sebenarnya sudah tersedia,” katanya.
Budi mengungkapkan, pemerintah telah berkomitmen untuk mengeliminasi hepatitis di Indonesia pada 2030. Upaya itu dilakukan dengan mengadopsi strategi komprehensif yang direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), antara lain dengan meningkatkan akses deteksi dini hepatitis, menyediakan pengobatan dan vaksin yang memadai, serta menguatkan penanganan pada ibu hamil dan kelompok berisiko tinggi.
”Kerja sama lintas sektor dan pemangku kepentingan menjadi kunci untuk mencapai hasil yang positif. Pemerintah akan pastikan tes dan pengobatan hepatitis tersedia untuk semua. Jadi, sekarang adalah waktunya untuk bergerak bersama menangani hepatitis,” tuturnya.
Kita perlu kembali menekankan pentingnya deteksi dini dan pengobatan hepatitis yang terintegrasi. Tidak ada cukup alasan bagi penderita hepatitis untuk tidak terdiagnosis dan tidak diobati ketika intervensi yang efektif sebenarnya sudah tersedia.
Hepatitis merupakan peradangan hati yang disebabkan oleh infeksi virus, bakteri, atau parasit; konsumsi obat atau alkohol; perlemakan; dan penyakit autoimun. Namun, sebagian besar kasusnya disebabkan oleh virus hepatitis.
Hepatitis B dan C perlu menjadi perhatian sebab jumlah kasusnya semakin tinggi di masyarakat. Hepatitis ini juga berisiko menjadi penyakit kronis yang bisa berujung pada sirosis dan kanker hati.
Hepatitis B bisa menular melalui darah atau cairan tubuh dari seseorang yang terinfeksi. Namun, sekitar 90 persen penularan hepatitis B terjadi secara vertikal dari ibu kepada anak di masa kehamilan dan persalinan. Sementara hepatitis C biasanya menular dari penggunaan jarum suntik yang tidak aman serta hubungan seksual yang tidak aman.
Ketua Komite Ahli Hepatitis dan Infeksi Saluran Pencernaan Kementerian Kesehatan David Handojo Muljono menuturkan, Indonesia telah aktif melakukan upaya penanggulangan hepatitis dengan spektrum yang luas, mulai dari pencegahan hingga pengobatan. Namun, sejumlah intervensi masih harus diperkuat.
Menurut dia, diagnosis dan pengobatan hepatitis sudah dilakukan secara aktif. Akan tetapi, upaya itu belum dilakukan secara optimal sebab pembiayaan diagnosis yang mahal masih ditemui di masyarakat. Selain itu, diagnosis hepatitis juga masih terpusat di kota-kota besar sehingga sebagian kasus belum terdeteksi.
”Ketersediaan obat juga terkadang bermasalah sehingga penanganan penyakit menjadi tidak optimal. Keterlambatan penyediaan dan distribusi obat pada penderita akan berdampak pada kekambuhan dan perburukan. Risiko penularan ke orang lain pun bisa terjadi,” kata David.
Ia mendorong agar upaya diagnosis dan pengobatan hepatitis bisa dilakukan pada waktu dan tempat yang sama dalam konsep point of care. Layanan hepatitis perlu tersedia sedekat mungkin dengan masyarakat yang menjadi sasaran.
Selain itu, pelayanan untuk hepatitis juga bisa dilakukan di tempat yang sama, mulai dari diagnosis sampai pengobatan. Pelayanan hepatitis juga bisa dilakukan secara terintegrasi dengan program kesehatan lain, seperti pada layanan kesehatan ibu dan anak serta posyandu.
”Perlu juga dilakukan penyederhanaan atau simplifikasi pada cara diagnostik hepatitis seperti yang sekarang sudah berkembang. Simplifikasi ini juga perlu diterapkan pada administrasi layanan.” ujar David.