Penyebaran hepatitis di kalangan pengguna narkoba suntik terus meluas. Karena itu, penanganan penyakit tersebut mulai diintegrasikan dengan layanan pengurangan dampak buruk narkoba.
Oleh
EVY RACHMAWATI
·4 menit baca
MELBOURNE, KOMPAS — Penyebaran hepatitis di sejumlah negara terus meluas, bahkan merenggut banyak korban jiwa. Namun, pengendalian penyakit ini masih terkendala keterbatasan akses warga terhadap layanan pemeriksaan dan perawatan, termasuk pengurangan dampak buruk penggunaan narkoba suntik.
Koordinator Teknis pada Pencegahan Inovatif dan Populasi Kunci Departemen Program Global HIV dan Hepatitis WHO Annette Verster memaparkan hal itu dalam Harm Reduction Pre-Conference mengenai hepatitis di Auditorium Peter Doherty Institute for Infection and Immunity, Melbourne, Australia, Sabtu (15/4/2023).
Laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2021 mencatat, angka kasus hepatitis B mencapai 296 juta orang dan kasus hepatitis C sekitar 58 juta orang. Sementara kasus baru hepatitis B dan hepatitis C sekitar 3 juta orang. Adapun 23-39 persen dari jumlah total kasus baru hepatitis C merupakan pengguna narkoba suntik.
Berdasarkan laporan perkembangan global terkait HIV, hepatitis, dan infeksi menular seksual tahun 2021 yang diterbitkan WHO, dari 58 juta penderita hepatitis C kronik, hanya 21 persen yang telah didiagnosis pada tahun 2019. Selain itu, hanya 13 persen dari jumlah total penderita hepatitis kronik yang mendapat perawatan.
Bahkan, di kawasan Asia Tenggara, hanya 7 persen dari jumlah total kasus penderita hepatitis C kronik yang telah terdiagnosis serta 5 persen dari angka total kasus yang mendapat penanganan medis. Hal ini menunjukkan rendahnya akses masyarakat terhadap layanan pemeriksaan dan perawatan hepatitis.
Para pengguna narkoba suntik rentan terpapar sejumlah penyakit infeksi. Angka kasus baru hepatitis C per tahun di antara pengguna narkoba suntik 8 per 100 orang pada tahun 2020 dan ditargetkan turun jadi 3 per 100 orang pada tahun 2025. Sementara angka kematian akibat hepatitis C per tahun dari 290.000 kasus atau 5 per 100.000 pada tahun 2020 ditargetkan turun jadi 240.000 kasus atau 3 per 100.000 pada 2025.
Perluas akses
Untuk mencegah komplikasi dan kematian akibat hepatitis C, menurut Annette, WHO merekomendasikan untuk memperluas jangkauan layanan pemeriksaan dan perawatan hepatitis C di fasilitas kesehatan tingkat primer atau berbasis komunitas hingga daerah pinggiran. Hal ini untuk meningkatkan akses layanan diagnosis dan pengobatan pasien.
Fasilitas kesehatan ini meliputi layanan kesehatan dasar, program pengurangan dampak buruk narkoba, klinik HIV seperti yang dikelola organisasi masyarakat, dan layanan penjangkauan. ”Layanan testing dan perawatan di fasilitas kesehatan yang ada di daerah pinggiran perlu diintegrasikan dengan pengurangan dampak buruk penggunaan narkoba (harm reduction),” ujarnya.
”Testing sebaiknya sukarela dan bisa secara mandiri serta tidak digunakan untuk stigmatisasi terhadap populasi yang berisiko. Pemeriksaan juga sebaiknya menjadi bagian dari layanan pencegahan primer yang berbasis bukti dan mengurangi risiko penularan. Ini dikombinasikan dengan peningkatan akses pengobatan,” kata Annette.
Selain itu, seseorang yang didiagnosis terinfeksi harus memiliki pilihan apakah segera memulai terapi atau menundanya. ”Penanganan medis perlu disertai dengan intervensi berbasis bukti ilmiah untuk mengurangi risiko penularan hepatitis C dan layanan pencegahan primer lainnya,” ungkapnya.
Layanan testing dan perawatan di fasilitas kesehatan yang ada di daerah pinggiran perlu diintegrasikan dengan pengurangan dampak buruk narkoba ( harm reduction).
Senior Technical Officer Innovation in Global Health (Unitaid) Karin Timmermans menuturkan, pencegahan penularan hepatitis C, terutama pada populasi kunci, mesti jadi bagian dari upaya eliminasi penyakit tersebut. Salah satunya, mengintegrasikan upaya pencegahan dan pemeriksaan hepatitis C dengan pengurangan dampak buruk narkoba suntik di komunitas.
Direktur Medis Ruangan Injeksi yang Disupervisi Medis North Richmond Community Health Nico Clark mencontohkan, di Victoria, Australia, model perawatan hepatitis C di ruang injeksi yang disupervisi tenaga kesehatan telah diterapkan. ”Layanan ini terintegrasi dengan konseling atau dukungan kesehatan mental dan layanan kesehatan lainnya," ujarnya.
Menurut Clark, layanan ini untuk mencegah kematian dan dampak buruk akibat pengguna narkoba mengalami overdosis. Pelayanan tersebut juga bertujuan untuk mengurangi layanan gawat darurat di rumah sakit akibat overdosis serta mengurangi penyebaran virus yang ditularkan melalui darah, seperti hepatitis C dan HIV.
Di Indonesia, menurut Direktur Program dan Kemitraan The Hepatitis Fund Capucine Peniaud, sejumlah program penanggulangan hepatitis telah berjalan melalui kolaborasi sejumlah pihak. Akan tetapi, pengendalian penyakit tersebut menghadapi sejumlah kendala, termasuk kesenjangan akses layanan pemeriksaan dan pengobatan antardaerah.
”Sebagian masyarakat kesulitan mengakses layanan tes dan pengobatan hepatitis C karena tinggal di daerah yang jauh dari fasilitas kesehatan. Hal ini membuat banyak warga tidak terdiagnosis menderita hepatitis C sehingga tidak segera mendapat penanganan yang tepat,” tuturnya. Kendala lain adalah mahalnya biaya pengobatan penyakit tersebut.