Kesadaran Masyarakat Melindungi Mangrove Terbangun Saat Merasakan Manfaatnya
Saat masyarakat merasakan manfaat mangrove, partisipasi mereka untuk melindungi ekosistem pesisir tersebut akan turut terbangun.
Oleh
NASRUN KATINGKA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS —Ekosistem mangrove bagi wilayah pesisir memiliki peranan penting dalam memitigasi bencana alam, seperti abrasi dan rob. Untuk meningkatkan partisipasi perlindungan dan rehabilitasi mangrove, masyarakat pesisir bisa dilibatkan dalam pemanfaatan ekosistem tersebut.
”Masyarakat di kawasan mangrove tidak hanya didorong dalam perlindungan, tetapi juga bisa dilibatkan dalam pemanfaatan secara efektif dengan tata kelola yang baik,” kata National Coordinator for Marine Science and Knowledge Management Yayasan WWF Indonesia Muhammad Erdi Lazuardi dalam sebuah forum diskusi secara daring, Jumat (28/7/2023).
Erdi mengungkapkan, meski Indonesia memiliki wilayah mangrove yang luas, ternyata baru sedikit yang telah dilindungi negara. Data kawasan konservasi perairan (marine protected area/MPA) dari Kementerian Kelautan dan Perikanan menunjukkan, dari total 1,9 juta hektar mangrove di wilayah pesisir, baru sekitar 2 persen yang masuk dalam MPA.
Wilayah mangrove yang tidak masuk dalam kawasan konservasi tersebut rawan dialihfungsikan. Selama ini, kata Erdi, masyarakat pesisir belum teredukasi secara maksimal. Ekosistem mangrove kerap hanya dimanfaatkan ranting/batangnya menjadi kayu bakar dan bahan bangunan serta dibabat sebagai tempat budidaya perikanan.
”Pelibatan masyarakat dengan kegiatan yang lebih produktif akan membuat kesadaran menjaga lingkungan semakin tumbuh,” ucapnya.
Paspha Ghaishidra dari Yayasan Ikamat mengatakan, untuk membangun kepedulian dan edukasi masyarakat pada ekosistem perlu waktu. Yayasan Ikamat, organisasi nirlaba yang menaruh perhatian pada ekosistem mangrove, membutuhkan waktu panjang untuk menyadarkan masyarakat akan arti penting mangrove.
Masyarakat di kawasan mangrove tidak hanya didorong dalam perlindungan, tetapi juga bisa dilibatkan dalam pemanfaatan secara efektif dengan tata kelola yang baik.
Paspha menuturkan, sekitar tahun 2009, masyarakat di sejumlah daerah di kawasan pantai utara Jawa beramai-ramai mengeksploitasi wilayah mangrove menjadi lahan budidaya udang. Hutan mangrove dibabat dan menjadi lahan budidaya.
”Kemudian kesadaran itu muncul ketika mereka melihat pesisir mangrove yang gundul tidak bisa lagi menahan abrasi dan rob,” katanya.
Kesadaran masyarakat, lanjut Paspha, diwujudkan dengan berbagai sosialisasi, edukasi, dan kampanye berkelanjutan. Tidak hanya sebatas edukasi, masyarakat juga diarahkan pada pemanfaatan lain kawasan mangrove tanpa eksploitasi berlebihan.
Dia mencontohkan sebagai kawasan wisata yang sudah banyak diterapkan di sejumlah daerah. Ada pula pemanfaatan dari produk mangrove nonkayu, misalnya buah bakau (propagul) yang mengering.
”Di Semarang, propagul ini digunakan sebagai pewarna batok pilihan, diambil yang jatuh di bawah sehingga tidak merusak ekosistem mangrove,” ujarnya.
Mangrove pesisir NTT
Di sejumlah daerah pesisir Nusa Tenggara Timur, ekosistem mangrove berperan dalam mitigasi bencana, seperti abrasi, rob, dan pencemaran lingkungan. Kepala Cabang Dinas Kelautan dan Perikanan NTT Wilayah Kerja Manggarai, Manggarai Timur, dan Manggarai Barat Robertus Eddy Surya mengatakan, mangrove yang sehat mampu mengendapkan berbagai limbah kapal serta tumpahan oli ke dalam lumpur.
Hal ini dialami pesisir Manggarai Barat yang sebagai kawasan destinasi wisata prioritas rentan terhadap ancaman limbah dari industri hingga limbah dari kapal muatan barang dan pesiar. Selain itu, mangrove akan menjadi tameng dari ancaman abrasi hingga rob di tengah bencana iklim yang menerpa kawasan pesisir.
Adapun di NTT, kelompok masyarakat mulai terbentuk meskipun dengan jumlah terbatas. Salah satunya, Kelompok Alam Sejati di Kabupaten Manggarai Barat yang diketuai Ahmad Burhan.
Burhan mengungkapkan, pengetahuan masyarakat pesisir tentang mangrove, apalagi di kawasan Indonesia timur, memang masih rendah. Sosialisasi pun dilakukan di lembaga pendidikan sebagai bentuk edukasi sejak dini. Selain itu, masyarakat dilibatkan dalam kegiatan yang bersifat ekonomi, seperti budidaya kepiting bakau.
”Selain itu, ekowisata trekking mangrove juga mulai dibangun dan diberdayakan oleh masyarakat setempat,” ucapnya.
Berbagai upaya perlindungan dan rehabilitasi tersebut telah menunjukkan perbaikan ekosistem. Namun, menurut dia, gerakan seperti ini perlu dukungan banyak pihak. Apalagi, masih banyak masyarakat, khususnya di kawasan Indonesia bagian timur, belum teredukasi dengan merata akan pentingnya mangrove.
”Kami berharap upaya seperti ini dapat perhatian dari banyak pihak, pemerintah, masyarakat, swasta, yayasan, sehingga bisa semakin masif dan berkelanjutan,” katanya.