Mangrove Kini Tak Lagi Dianggap Mengganggu
Sebagian masyarakat masih memandang mangrove sebagai tanaman yang mengganggu aktivitas tambak. Namun, kini masyarakat mulai mengetahui beragam manfaat mangrove baik dari sisi ekologi maupun ekonomi.
Sebagian besar masyarakat di pesisir Demak, Jawa Tengah, dan sekitarnya telah mafhum dengan kondisi wilayahnya. Jalanan di desa-desa pesisir, khususnya di Kecamatan Sayung, yang terendam banjir rob saat musim hujan seolah bukan lagi bencana bagi mereka.
Informasi tentang kondisi beberapa desa di pesisir Demak yang diprediksi akan tenggelam telah diketahui masyarakat. Mereka mengetahui informasi tersebut baik dari pemberitaan media, pemangku kebijakan, maupun akademisi yang datang untuk melakukan penelitian. Mayoritas narasi yang disampaikan pun sama, bahwa beberapa desa sulit diselamatkan.
Sudah tak terhitung berapa kali Slamet (68) membantu berbagai program pemerintah dan proyek penelitian di wilayahnya di Desa Timbulsloko, Sayung, Demak. Sebagian besar program dan proyek tersebut berkaitan dengan abrasi yang terjadi di Timbulsloko. Namun, tidak sedikit juga ia membantu proyek yang berhubungan dengan upaya adaptasi dan mitigasi masyarakat dalam menanggulangi dampak perubahan iklim.
Ekosistem mangrove dapat mempertahankan karbon yang telah diserap dari atmosfer, bahkan secara permanen bila kita menjaga dan melestarikannya.
Beberapa proyek yang sering Slamet bantu ialah pemasangan teknologi pemecah gelombang dan rehabilitasi mangrove. Dari informasi dan pengalamannya selama ini, kedua proyek tersebut sangat membantu dalam mencegah air rob yang semakin menenggelamkan rumah warga.
Sebelum mengetahui manfaatnya, Slamet dan sebagian masyarakat memandang mangrove sebagai tanaman yang mengganggu, khususnya pada kegiatan tambak. Namun, pandangan itu berubah ketika tambak yang menjadi salah satu sumber penghidupan masyarakat justru hancur dan tak tersisa akibat gelombang abrasi yang terus meninggi setiap tahun.
”Beberapa proyek penanaman mangrove dilakukan tahun 2012 dan sekarang sudah banyak yang tumbuh. Selain memecah gelombang, adanya mangrove juga membuat stok ikan semakin banyak dan berkembang. Masyarakat kini lebih mudah menjala ikan di sekitar mangrove,” ujar Slamet, warga asli Timbulsloko, pertengahan Mei lalu.
Pernyataan Slamet terkait manfaat mangrove baik dari aspek ekologi maupun ekonomi memang sejalan dengan berbagai hasil penelitian selama ini. Hasil kajian peneliti dari Tohoku University, Jepang, hutan mangrove dengan ketebalan sekitar 200 meter dengan kerapatan 60 batang dan diameter 15 sentimeter bahkan dapat meredam ganasnya energi tsunami hingga 50 persen.
Baca juga : Perkembangan RPP Mangrove Signifikan
Dari sisi jasa ekosistem, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencatat, mangrove dapat menyerap karbon hingga 11 miliar ton setara karbon dioksida. Sementara dari sisi ekonomi atau moneter, valuasi mangrove mencapai Rp 1.000 triliun per tahun. Angka ini hampir dua kali lipat dari valuasi padang lamun yang sebesar Rp 525 triliun per tahun.
Dalam webinar Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) tentang penguatan aset kawasan mangrove beberapa waktu lalu, Koordinator Restorasi Direktorat Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil KKP Hery Gunawan Daulay menyebut, ekosistem mangrove memiliki banyak sekali jasa lingkungan untuk pemanfaatan secara langsung ataupun tidak langsung.
Khusus untuk pemanfaatan langsung, ekosistem mangrove dapat mendukung perikanan subsistem, pemancingan, rekreasi, dan usaha perikanan tangkap. Sementara pemanfaatan tidak langsung meliputi siklus hara, perlindungan pesisir, pengikat karbon, pengembangan kegiatan rekreasi, hingga penjaga keanekaragaman hayati.
Mangrove menjaga karbon
Ekosistem mangrove telah diketahui memiliki kemampuan menyimpan karbon lebih besar daripada hutan tropis daratan. Hasil studi terbaru yang dilakukan para peneliti dari University of California-Riverside (UCR) dan University of California-San Diego, Amerika Serikat, menunjukkan bahwa mangrove juga mampu menjaga karbon hingga 5.000 tahun.
Kemampuan mangrove dalam menjaga karbon selama ribuan tahun ini diketahui setelah peneliti mengidentifikasi ekosistem mangrove di lepas pantai La Paz, Meksiko. Identifikasi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana mangrove dapat melakukan siklus biogeokimia atau menyerap dan melepaskan unsur-unsur seperti nitrogen ataupun karbon.
Selain mengidentifikasi siklus biogeokimia, dalam studi ini para peneliti juga ingin mempelajari berbagai jenis bakteri dan jamur yang berkembang biak di ekosistem tersebut. Hal ini dilakukan karena sebagian besar siklus biogeokimia didorong oleh mikroba.
Dari kajian selama ini, telah diketahui terdapat lebih dari 1.100 jenis bakteri yang hidup di bawah mangrove. Bakteri tersebut mengonsumsi dan mengeluarkan berbagai unsur kimia. Banyak dari jenis bakteri yang dapat hidup di lingkungan ekstrem dengan oksigen rendah atau tanpa oksigen. Namun, bakteri ini tidak efisien dalam memecah karbon.
Dalam laporannya, peneliti juga menjelaskan bahwa mikroorganisme akan semakin sedikit ditemukan di tanah gambut dengan kedalaman tertentu. Minimnya mikroorganisme ini membuat karbon sulit dipecah. Kondisi inilah yang juga membuat karbon di ekosistem mangrove dapat terus dijaga hingga ribuan tahun.
Baca juga : Plastik, Limbah, dan Alih Fungsi Lahan Masih Jadi Ancaman Mangrove
Matthew Costa, ahli ekologi pesisir UC San Diego dan penulis pertama laporan tersebut, menekankan bahwa merusak ekosistem mangrove akan membuat kenaikan emisi karbon sulit diatasi dalam waktu dekat. Oleh karena itu, salah satu cara mencegah kenaikan suhu Bumi dan mengatasi krisis iklim ialah dengan menjaga ekosistem mangrove.
”Tempat-tempat ini melindungi karbon yang telah ada selama ribuan tahun.Ekosistem mangrove dapat mempertahankan karbon yang telah diserap dari atmosfer, bahkan secara permanen bila kita menjaga dan melestarikannya,” ungkapnya.
Berbagai ancaman pada mangrove
Terlepas dari kemampuan dan manfaatnya, ekosistem mangrove di Indonesia juga masih menghadapi sejumlah ancaman. Berdasarkan Peta Mangrove Nasional tahun 2021, ekosistem mangrove di Indonesia mencapai 3,36 juta hektar. Dari jumlah tersebut, lebih dari 630.00 hektar atau sekitar 19 persen mangrove di sejumlah wilayah masuk kondisi kritis.
Sementara menurut hasil penelitian Lembaga Riset Kehutanan Internasional (Cifor), saat ini ekosistem mangrove Indonesia mengalami tekanan dengan ancaman degradasi tinggi yang mencapai 52.000 hektar per tahun. Ancaman ini diakibatkan alih fungsi lahan, pencemaran limbah berbahaya dan domestik, penebangan liar, serta peningkatan laju abrasi.
Hasil kajian lain juga mencatat bahwa perubahan dari mangrove menjadi nonmangrove didominasi oleh tambak dengan luasan mencapai 631.802 hektar. Perubahan fungsi mangrove menjadi tambak ini paling banyak terjadi di area penggunaan lain (APL) seluas 393.623 hektar atau 62 persen dan sisanya di kawasan hutan seluas 238.179 hektar.
Sekretaris Utama Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) Ayu Dewi Utari beberapa waktu lalu menyatakan, pihaknya melibatkan sejumlah pihak, termasuk akademisi, untuk merehabilitasi mangrove yang telah menjadi tambak. Namun, upaya ini tidak bisa dilakukan dengan cara langsung menutup tambak karena akan mematikan perekonomian masyarakat.
”Dalam posisi ini, kami melakukan pendekatan pola silvofishery atau pola menanam mangrove bersama tambak. Intinya, kami akan mengembalikan kawasan tambak tersebut menjadi tambak yang ramah lingkungan,” katanya.
Melalui pendekatan ini, kata Ayu, produktivitas tambak tersebut nantinya masih bisa terjaga untuk budidaya ikan, kepiting, atau udang. Meski tidak akan langsung berhasil 100 persen, pola yang dilakukan bersama masyarakat dan pemerintah ini tetap bisa merehabilitasi mangrove sekaligus mengembalikan fungsi kawasan tambak tersebut.
Baca juga : Perubahan Mangrove Jadi Tambak Didominasi di Areal Penggunaan Lain
”Karakter masyarakat di daerah pantai berbeda dengan pegunungan sehingga rehabilitasi mangrove dianggap tidak memberikan dampak positif atau mengganggu keberadaan tambak. Oleh karena itu, kita perlu diskusi dan melakukan pendekatan dengan masyarakat,” ucapnya.
Rehabilitasi mangrove dengan skema pemberdayaan masyarakat ini pada akhirnya tidak hanya berdampak pada sisi ekonomi, tetapi juga sosial. Sebab, rehabilitasi mangrove ini dilakukan oleh semua jender, baik pria maupun wanita. Di sisi lain, pemberdayaan juga akan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya mangrove.