Festival Sastra LIFEs Refleksikan Sastra Perancis ke Seni
Literature and Ideas Festival (LIFEs) oleh Komunitas Salihara kembali diadakan pada 5-12 Agustus 2023. Festival ini mengkaji sastra Perancis dan negara frankofon.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Festival seni dua tahunan yang diselenggarakan Komunitas Salihara, Literature and Ideas Festival atau LIFEs, kembali diadakan pada 5-12 Agustus 2023 di Jakarta. Festival ini mengajak publik mengenal sastra Perancis, kemudian merefleksikannya ke seni teater, musik, serta pameran komik dan arsip.
Menurut Direktur LIFEs Ayu Utami, kesusastraan Perancis menarik dibahas karena Perancis kerap jadi acuan Indonesia di berbagai aspek hidup, misalnya mode dan demokrasi. Filsafat Perancis, kata Ayu, juga beberapa kali dikutip oleh para pemikir, seniman, juga sastrawan Indonesia.
Adapun festival ini serupa ajakan bagi masyarakat untuk menggali khazanah intelektual para pemikir dan penulis Perancis. Selain Perancis, sastra negara-negara frankofon (penutur bahasa Perancis) juga disertakan.
LIFEs yang berlangsung selama seminggu akan menyelenggarakan sejumlah diskusi, pemutaran film, pertunjukan musik, dan acara kuliner.
Salah satu pandangan yang berkembang di Perancis (yang kemudian juga berkembang di Indonesia) adalah pesimisme seni. Hal ini dimaknai sebagai seni yang menerima dengan jujur bahwa dunia punya sisi gelap dan bahwa kehidupan tidak selalu bisa diprediksi manusia atau bisa jadi hidup tak selalu ideal. Dengan kata lain, seni adalah media untuk berekspresi sejujur mungkin dan tidak hanya merepresentasikan hal yang indah-indah saja.
Hal ini merupakan negasi dari pemikiran bahwa seni adalah media propaganda atau seni adalah mitra kelompok tertentu untuk mencapai kondisi yang dianggap ideal. Di kondisi ini, seni harus sejalan dan merepresentasikan ideologi tertentu.
”Akibatnya, sastra atau seni tidak bisa mengeksplorasi sisi-sisi yang mungkin tidak cocok dengan ideologi itu. Padahal, ada ’suara-suara gelap’ (di dunia). Pemikiran ini cukup jadi kiblat para seniman Indonesia sampai sekarang,” ucap Ayu Utami di Jakarta.
”Suara gelap” yang dimaksud Ayu antara lain soal erotisme. Erotisme kerap dianggap sebagai sekadar pornografi. Tidak ada diskusi lebih lanjut tentang erotisme, seperti hubungan seksual, di masyarakat. Isu ini dianggap tabu. Ada juga yang menganggap seksualitas sebagai sumber masalah di masyarakat.
Padahal, manusia juga punya sisi seksual. Menolak berdiskusi atau berpikir kritis soal seksualitas bisa membuat individu sulit memahami dirinya sebagai manusia yang utuh.
Pemikiran ini pun direfleksikan menjadi teater di LIFEs. Teater bertajuk Erotika Feminin itu menghadirkan empat penampil yang membaca empat naskah karangan penulis-penulis perempuan Perancis, salah satunya Anaïs Nin.
Naskah-naskah itu berkisah soal erotisme antara laki-laki dan perempuan. Ada yang membahas hubungan seksual konvensional, ada pula yang mengisahkan sadomasokisme. Menurut Ayu, teater ini diharapkan memicu audiens untuk berpikir soal makna seksualitas. Seni jadi ruang yang dinilai layak untuk membicarakan ini. ”Kalau (erotisme) dibacakan secara tidak pantas, jadinya norak dan jorok,” ucap Ayu.
Salah satu aktris penampil teater tersebut, Asmara Abigail, mengatakan, seni menyediakan ruang aman untuk berekspresi bagi orang yang punya pemikiran berbeda, termasuk soal erotisme. Adapun perempuan dirasa masih sulit bicara soal erotisme secara merdeka.
Festival
Adapun LIFEs yang berlangsung selama seminggu akan menyelenggarakan sejumlah diskusi, pemutaran film, pertunjukan musik, dan acara kuliner. Ada lebih dari 30 program yang dapat diikuti publik dengan reservasi di laman Lifes.salihara.org.
Ada pula pameran sastra terjemahan, komik Perancis, serta arsip-arsip penelitian sosial-budaya oleh Indonesianis dari Perancis. Salah satu arsip berupa surat-surat persahabatan antara arkeolog Perancis yang kemudian jadi penduduk Indonesia dengan sejarawan Amerika Serikat. Dari surat itu, publik bisa melihat kondisi Indonesia di masa revolusi.
Kurator pameran, Asikin Hasan, mengatakan, sejumlah komik, seperti Tintin dan Asterix turut dipamerkan. Komik yang populer di Indonesia beberapa dekade lalu itu dinilai turut memengaruhi dunia komik dalam negeri dari segi artistik, misalnya goresan pena komik. “Di komik Perancis ada goresan yang sangat ekspresif. Pengaruhnya besar, misalnya, ke komik di koran Kompas oleh Dwi Koen,” katanya.