Isu seksualitas masih tabu dibahas di kalangan masyarakat. Kondisi itu mengakibatkan persoalan seksualitas atau kesehatan reproduksi sulit dibicarakan secara gamblang dan tuntas.
Oleh
MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
·4 menit baca
Saat mendengar kata seks, apa yang muncul di kepala kita? Sebagian besar orang pasti akan membayangkan tentang hubungan badan. Padahal, makna dasar kata seks dalam bahasa aslinya adalah jenis kelamin. Kuatnya penabuan di masyarakat membuat isu seksualitas sulit dibicarakan secara gamblang dan tuntas.
Apa jadinya jika seorang anak berusia enam tahun menanyakan, ”Apa itu seks?” kepada ayah dan ibunya. Sebagian orangtua pasti akan langsung bilang, ”Psttt... enggak boleh omong itu.” Ada pula yang akan berusaha menjelaskan secara panjang lebar tentang seks dengan penuh kehati-hatian, tetapi tetap menimbulkan kebingungan kepada sang anak. Padahal, bisa jadi yang dimaksud anak itu tentang seks adalah tentang jenis kelamin, laki-laki atau perempuan.
”Jarang orangtua yang akan bertanya balik kepada anak, apa yang mereka maksudkan dengan pertanyaan itu. Orangtua cenderung menumpahkan pengetahuannya kepada anak tanpa ingin tahu apa yang sebenarnya dimaui anak,” kata dosen Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia, Jakarta, yang juga anggota Asosiasi Seksologi Indonesia, Bona Simanungkalit, dalam webinar bertema ”Pahami Gaya Hidupmu, Hindari Masalah Kesehatan Reproduksi”, di Jakarta, Selasa (25/5/2021).
Penabuan soal seks membuat pembahasan tentang kesehatan seksualitas masih terfokus pada persoalan biologis semata. Akibatnya, obrolan soal seksualitas sering kali terjebak pada isu pornografi semata. Padahal, kesehatan seksualitas merupakan keadaan fisik, mental emosional, dan sosial yang berhubungan dengan seksualitas.
Bona mengatakan, faktor biologis dalam pembahasan seksualitas, seperti alat kelamin atau organ reproduksi, tidak bisa berdiri sendiri. Ada faktor psikologis, seperti rasa senang, nyaman, dan erotisme, yang terlibat dalam seksualitas. Demikian pula ada aspek sosial yang membuat manusia ingin bersosialisasi dengan orang lain, baik sesama jenis maupun berlawanan jenis.
Bahkan, faktor ekonomi juga tidak bisa dilepaskan dari pembahasan persoalan seksualitas. Banyak orangtua tak sadar, keterbatasan ekonomi yang membuat orangtua ataupun anak tidak memiliki kamar pribadi bisa membuat anak melihat dan memahami persoalan seksualitas jauh sebelum usia yang tepat. Persoalan ini sering kali juga membawa anak pada masalah pelecehan dan kriminalitas tanpa mereka paham dengan apa yang sedang diperbuatnya.
Pendidikan seksualitas
Situasi itu membuat pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas penting dilakukan sejak dini sesuai umur anak. Sejak lahir hingga meninggal, persoalan seksualitas akan selalu melekat pada setiap manusia, demikian pula dengan hak seksual dan reproduksinya. Karena itu, pemenuhan atas hak seksualitas itu juga harus dilakukan secara komprehensif dengan melibatkan berbagai aspek.
Sejak lahir hingga meninggal, persoalan seksualitas akan selalu melekat pada setiap manusia, demikian pula dengan hak seksual dan reproduksinya.
”Pendidikan seksualitas harus dilakukan di dalam dan luar sekolah,” kata Bona. Selain itu, harus disediakan layanan konseling dan kontrasepsi modern, layanan kehamilan dan persalinan yang memadai, hingga layanan aborsi yang aman. Pencegahan dan pengobatan HIV-AIDS serta layanan pencegahan hingga pemulihan korban kekerasan berbasis jender juga perlu disediakan.
Terkait topik pendidikan seksualitas, lanjut Bona, materi yang diberikan sesuai usia itu perlu mencakup soal hubungan sosial, penghargaan atas nilai, hak, dan budaya seksualitas, serta pemahaman atas jender. Ada pula isu pencegahan kekerasan seksual, keterampilan dalam menjaga kesehatan jiwa raga, pemahaman soal tubuh manusia dan perkembangannya, serta soal perilaku seksual dan seksualitas.
Sementara itu, dosen Politeknik Karya Husada Jakarta, Sugiharti, mengatakan, pemahaman yang baik mengenai kesehatan reproduksi pada remaja, secara fisik, mental, ataupun sosial, penting untuk mempersiapkan calon ibu sehingga memiliki kehamilan dan persalinan yang sehat. Lebih dari itu, mereka pun akan mampu membesarkan anaknya dengan baik.
Kurang memadainya pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi membuat banyak remaja terjebak dalam perilaku seksual berisiko, terutama seks di luar nikah. Perilaku ini memiliki dampak panjang, mulai dari kecemasan akibat takut diketahui orang lain atau takut hamil di luar nikah, risiko aborsi, paparan sejumlah penyakit menular seksual, dikucilkan dari lingkungan sosial, hingga hilangnya kesempatan untuk mendapat pendidikan yang baik.
”Banyak remaja yang mengalami kehamilan tidak diinginkan terpaksa harus putus sekolah bukan karena kehamilannya, melainkan rasa rendah diri akibat kehamilan tersebut,” katanya.
Untuk mencegah berbagai dampak buruk dan panjang akibat seks di luar nikah pada remaja itu, Sugiharti mengajak masyarakat untuk tidak lagi menabukan upaya untuk membicarakan soal seksualitas kepada anak melalui pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas.
”Kaum ibu, khususnya anggota Penggerak PKK (Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga), bisa memberikan edukasi kesehatan reproduksi kepada remaja. Jangan tabu untuk mengenalkan persoalan seksulitas pada anak-anak kita,” ujarnya.