Angka Kemiskinan Ekstrem Turun, Konvergensi Program Perlu Diperkuat
Konvergensi program perlu diarahkan pada kelompok-kelompok sasaran. Konvergensi tersebut termasuk pada pendanaan yang sudah disiapkan, baik melalui APBD maupun APBN, serta dukungan nonpemerintah berupa CSR filantropi.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Angka kemiskinan ekstrem berhasil diturunkan. Per Maret 2023 tercatat angka kemiskinan ekstrem sebesar 1,12 persen. Angka ini menurun 0,62 persen dibandingkan dengan September 2022. Meski begitu, berbagai upaya masih harus dilakukan untuk memastikan target nol persen angka kemiskinan ekstrem bisa dicapai pada 2024.
Angka kemiskinan ekstrem dihitung Badan Pusat Statistik (BPS) dengan menggunakan standar paritas daya beli (PPP), yakni sebesar 1,9 dollar AS per hari atau sekitar Rp 11.571 per hari atau Rp 351.957 per kapita per bulan. Dari jumlah itu, angka kemiskinan ekstrem di Indonesia pada Maret 2023 sebesar 1,12 persen.
Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kesejahteraan Sosial Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) R Nunung Nuryartono dalam Forum Konsolidasi Nasional Upaya Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem 2023-2024 di Jakarta, Senin (24/7/2023), mengatakan, program penanganan kemiskinan, terutama kemiskinan ekstrem, dilakukan oleh berbagai kementerian/lembaga. Untuk itu, konvergensi dari berbagai program tersebut harus diperkuat dengan menyasar target yang tepat.
”Konvergensi program perlu diarahkan pada kelompok-kelompok sasaran yang memang sudah ditetapkan. Konvergensi tersebut termasuk pada pendanaan yang sudah disiapkan, baik melalui APBD maupun APBN, serta dukungan nonpemerintah berupa CSR (tanggung jawab sosial perusahaan) filantropi,” ujarnya.
Nunung menuturkan, setidaknya ada tiga syarat utama yang perlu dilakukan untuk mencapai target penurunan kemiskinan ekstrem pada 2024. Syarat itu meliputi peningkatan kualitas program, pengembangan dan pemutakhiran basis data untuk penentuan sasaran program, serta konvergensi program antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan nonpemerintah. Dalam konvergensi program tersebut harus memastikan kelompok miskin ekstrem dan kelompok rentan memperoleh bantuan sosial dan komplementaritas dalam program yang dijalankan.
Pemerintah juga telah menyiapkan insentif fiskal bagi daerah sebagai instrumen konvergensi pendanaan untuk percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem.
Berdasarkan hasil perhitungan BPS per Maret 2022 tercatat ada 150 kabupaten/kota yang sudah mencapai angka kemiskinan ekstrem kurang dari 1 persen. Sementara itu, 220 kabupaten/kota memiliki angka kemiskinan ekstrem sebesar 1-3 persen, 81 kabupaten/kota dengan angka kemiskinan ekstrem berkisar 3-5 persen, dan 63 kabupaten/kota dengan angka kemiskinan ekstrem lebih dari 5 persen.
Pelaksana Tugas Direktur Sinkronisasi Urusan Pemerintahan Daerah III Kementerian Dalam Negeri Wahyu Suharto mengatakan, Kementerian Dalam Negeri telah menerbitkan Permendagri Nomor 53 Tahun 2020 yang terkait dengan penanggulangan kemiskinan ekstrem di provinsi dan kabupaten/kota. Dalam aturan tersebut, pemerintah daerah harus menyusun rencana penanggulangan kemiskinan daerah (RPKD).
”Periode RPKD ini bersamaan dengan periode RPJMD (rencana pembangunan jangka menengah daerah) sehingga harapannya seluruh program penurunan kemiskinan ataupun kemiskinan ekstrem bisa tertuang dalam RPJMD,” katanya.
Ia menambahkan, Kementerian Dalam Negeri bersama dengan Kementerian Keuangan juga telah melakukan tagging atau penandaan anggaran dalam APBD (anggaran pendapatan dan belanja daerah). Dari penandaan tersebut, pemerintah pun dapat memantau penggunaan anggaran di daerah untuk upaya penghapusan kemiskinan ekstrem. Upaya ini dilakukan sekaligus untuk memastikan konvergensi program dan anggaran antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.
Direktur Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan Kementerian Keuangan Jaka Sucipta menyampaikan, pemerintah juga telah menyiapkan insentif fiskal bagi daerah sebagai instrumen konvergensi pendanaan untuk percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem. Insentif ini diharapkan dapat memacu pemerintah daerah dalam meningkatkan kinerja dalam menghapuskan kemiskinan ekstrem.
Ia menuturkan, Kementerian Keuangan telah menyiapkan setidaknya Rp 8 triliun untuk insentif fiskal tahun anggaran 2023. Anggaran itu digunakan untuk insentif atas kinerja tahun sebelumnya sebesar Rp 4 triliun dan insentif atas kinerja tahun berjalan sebesar Rp 4 triliun.
Secara detail, insentif fiskal atas kinerja tahun sebelumnya diberikan pada daerah dengan kinerja baik dan daerah tertinggal dengan kinerja baik. Adapun indikator daerah dengan kinerja baik, antara lain, adanya penurunan kemiskinan, penurunan tingkat pengangguran, dan peningkatan indeks pembangunan manusia.
Sementara insentif atas kinerja tahun berjalan diberikan untuk daerah dengan kinerja pengendalian inflasi yang baik dan daerah dengan kinerja peningkatan kesejahteraan masyarakat yang baik. Indikator kinerja peningkatan kesejahteraan masyarakat yang digunakan, yakni penurunan tengkes, penghapusan kemiskinan ekstrem, dan peningkatan investasi.
”Menurut rencana, akan dikeluarkan peraturan atau keputusan menteri keuangan pada Agustus ini untuk pengalokasian insentif fiskal atas kinerja peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah, salah satunya atas penghapusan kemiskinan ekstrem,” kata Jaka.