Agenda Penurunan Kemiskinan Ekstrem
Bank Dunia menilai Indonesia ada di jalur yang tepat dalam penurunan angka kemiskinan ekstrem. Presiden Joko Widodo menargetkan Indonesia akan mampu menghapus kemiskinan ekstrem pada tahun 2024, enam tahun lebih cepat.
Bank Dunia dalam laporannya yang bertajuk ”Indonesia Poverty Assessment: Pathways towards Economic Security” (2023) menilai bahwa Indonesia berada di jalur yang tepat dalam penurunan angka kemiskinan ekstrem.
Bank Dunia menyebutkan, kemiskinan ekstrem turun dari 2,16 persen pada 2021 menjadi 1,52 persen pada 2022 (”Poverty and Inequality Platform”, Bank Dunia, 2023).
Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan rilis Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyebutkan kemiskinan ekstrem pada 2022 sebesar 2,04 persen, atau turun 0,1 poin persen dari level 2021 sebesar 2,14 persen. Jika dilacak lebih ke belakang berdasarkan data Bank Dunia, pada 2014 kemiskinan ekstrem masih bertengger di angka 6,18 persen dan pada 2019 telah turun menjadi 2,7 persen.
Rilis Bank Dunia ini tentu saja menjadi angin segar bagi Indonesia. Sebab, di tengah kecamuk pandemi Covid-19, program yang dijalankan oleh pemerintah tetap dapat menurunkan angka kemiskinan ekstrem. Hal ini menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang stabil dan implementasi program perlindungan sosial merupakan motor utama dari penurunan kemiskinan ekstrem, terlepas dari adanya perbedaan angka yang dirilis oleh Bank Dunia dan BPS.
Baca juga : Data Pertanian dan Kemiskinan di Desa
Penghapusan kemiskinan ekstrem
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) menargetkan penghapusan kemiskinan ekstrem harus terjadi pada 2030. Tantangan ini dijawab oleh Presiden Joko Widodo dengan menargetkan Indonesia untuk mampu menghapus kemiskinan ekstrem pada tahun 2024, enam tahun lebih cepat daripada konsensus global.
Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2022 tentang Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem.
Harus diakui target ini cukup berat karena Indonesia hanya memiliki kurang dari dua tahun tersisa untuk menghapuskan kemiskinan ekstrem.
Namun, keberhasilan negara lain, seperti China, Kazakhstan, dan Malaysia, dalam menghapuskan kemiskinan ekstrem dalam waktu singkat menjadi motivasi tersendiri.
Hal ini tentu saja memerlukan upaya yang luar biasa dari seluruh elemen, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, swasta, maupun masyarakat. Ikhtiar ini juga membutuhkan strategi yang komprehensif dan holistik.
Peraih Nobel Ekonomi, Abhijit Banerjee et al (2015), mendokumentasikan bukti bahwa program kemiskinan yang komprehensif guna menarget semua dimensi kemiskinan telah berhasil mengentaskan penduduk miskin ekstrem.
Hal yang sama ditunjukkan dari pengalaman negara lain yang berhasil dalam mengatasi kemiskinan ekstrem.
Dari pengalaman itu, terdapat lima langkah kebijakan yang diambil dalam penghapusan kemiskinan ekstrem yang mencakup: (1) peningkatan ekonomi agar tercipta lapangan kerja, (2) relokasi orang miskin dari wilayah yang tidak kondusif, (3) pemberian kompensasi atas kerugian ekologis, (4) peningkatan pendidikan, serta (5) pemberian uang tunai bagi orang miskin ekstrem.
Secara teoretis, orang miskin ekstrem adalah warga yang pendapatan per harinya kurang dari garis kemiskinan ekstrem, yaitu sebesar 1,9 dollar AS berdasarkan paritas daya beli (purchasing power parity/PPP). Saat ini, Pemerintah Indonesia secara konsisten tetap mengacu pada garis kemiskinan ekstrem lama, yaitu sebesar 1,9 dollar AS berdasarkan PPP hingga tahun 2024 untuk mengurangi kerancuan dalam pengukuran.
Implikasi penetapan garis kemiskinan ini cukup jelas, yaitu program bantuan sosial harus mampu menutup celah (kedalaman kemiskinan) antara pendapatan per hari dan garis kemiskinan ekstrem (1,9 dollar AS berdasarkan PPP).
Pemerintah Indonesia menetapkan tiga kebijakan besar secara bersamaan dalam mencapai target penghapusan kemiskinan ekstrem pada tahun 2024.
Pertama, program yang bersifat langsung untuk mengurangi beban orang miskin ekstrem. Kebijakan ini berbentuk pemberian bantuan sosial dan subsidi yang hakikatnya akan mengisi celah antara pendapatan per hari dan garis kemiskinan ekstrem.
Kedua, program yang lebih bersifat sebagai pengaman agar orang yang bukan miskin ekstrem tidak terjerumus ke dalam garis kemiskinan ekstrem. Salah satu contoh berupa pemberian kredit usaha rakyat yang bertujuan mendorong masyarakat miskin agar mampu berusaha secara mandiri.
Pemerintah Indonesia secara konsisten tetap mengacu pada garis kemiskinan ekstrem lama, yaitu sebesar 1,9 dollar AS berdasarkan PPP hingga tahun 2024 untuk mengurangi kerancuan dalam pengukuran.
Ketiga, perbaikan dan peningkatan kualitas infrastruktur di lingkungan tempat tinggal orang miskin ekstrem yang ditujukan untuk mengurangi kantong-kantong kemiskinan. Kebijakan ini didasari oleh fakta bahwa orang miskin ekstrem hanya mampu tinggal di lingkungan kumuh dengan akses sanitasi dan air bersih yang sangat terbatas.
Ketiga program dan kebijakan ini bekerja secara utuh dan simultan sehingga diharapkan menjadi titik ungkit yang kuat dalam menerobos pengurangan kemiskinan ekstrem secara lebih cepat.
Syarat keberhasilan program
Ketiga kebijakan di atas tak akan terwujud bila pemerintah dan para pemangku kepentingan tak mampu memperbaiki kekurangan dan kelemahan pada pelaksanaan program yang ada kini.
Di sini diperlukan tiga syarat yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan program ke depan. Pertama, perbaikan penyasaran program agar tidak terjadi kesalahan inklusi dan kesalahan eksklusi, yang artinya harus selalu dipastikan bahwa individu/keluarga/kelompok masyarakat miskin yang menerima program adalah yang benar-benar berhak atas program tersebut.
Kedua, konvergensi program untuk memastikan bahwa jumlah bantuan yang diterima oleh orang miskin ekstrem sesuai dengan kebutuhannya, atau dengan kata lain mampu mengisi celah kedalaman kemiskinan.
Sebagai contoh, nilai bantuan sosial (bansos) sembako sebesar Rp 300.000 per keluarga per bulan dinilai tak mencukupi untuk menutup jarak antara pendapatan terhadap garis kemiskinan, yaitu sebesar Rp 1,1 juta per bulan per keluarga. Jadi, perlu adanya tambahan manfaat dari program bansos dan subsidi lain untuk memperbesar nilai manfaat yang diterima individu/keluarga/kelompok masyarakat miskin ekstrem itu.
Ketiga, memastikan pelaksanaan program sesuai dengan mekanisme yang telah ditetapkan. Sebagai contoh, keluarga penerima Program Keluarga Harapan (PKH) yang tidak lagi memiliki komponen PKH, seperti ibu hamil, anak usia dini dan sekolah, difabel berat, dan warga lansia di dalam keluarganya, harus diganti dengan keluarga miskin ekstrem yang memiliki komponen PKH, tetapi belum mendapatkan bantuan.
Menjaga momentum
Momentum yang baik ini perlu dipertahankan oleh kementerian/lembaga dan pemerintah daerah untuk memastikan pencapaian target penghapusan kemiskinan ekstrem pada 2024.
Peran serta pihak lain juga penting dan diperlukan dalam menjaga momentum yang baik ini. Di sini juga dibutuhkan sinergitas antara pemerintah dan pihak swasta, antara lain melalui program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) yang diharapkan dapat mendukung penghapusan kemiskinan ekstrem di Indonesia.
Kalangan akademisi dan perwakilan perguruan tinggi memiliki peranan yang penting pula dengan menghasilkan inovasi program yang sesuai dengan kebutuhan lokal di setiap daerah, di antaranya melalui program kuliah kerja nyata (KKN) untuk membangun desa-desa tertinggal.
Selain itu, kerja sama antara pemerintah dan lembaga sosial, seperti Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), juga diperlukan untuk menjangkau masyarakat miskin ekstrem di tingkat akar rumput, baik di wilayah perkotaan maupun perdesaan.
Melalui upaya yang dibangun secara kolaboratif dengan melibatkan berbagai pihak, diharapkan penghapusan kemiskinan ekstrem dapat terjadi pada 2024.
Ma’ruf AminWakil Presiden Republik Indonesia